NASIONAL

JPPI Tolak Rencana Pemerintah Bangun Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat

"Pelayanan pendidikan itu ya harusnya bersifat inklusif, jangan malah diskriminatif."

AUTHOR / Ardhi Ridwansyah

EDITOR / Muthia Kusuma

Google News
siswa
Siswa mencoba seragam baru SD di toko seragam (FOTO: ANTARA/Ardiansyah)

KBR, Jakarta- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menegaskan layanan pendidikan seharusnya bersifat inklusif, tanpa membedakan siswa berdasarkan latar belakang sosial ekonomi. Menurut Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, pembeda-bedaan semacam itu dapat berpotensi menciptakan diskriminasi dalam dunia pendidikan. Hal itu ia sampaikan menanggapi rencana pemerintah yang akan membangun dua jenis sekolah, yakni Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat.

Sekolah Garuda, yang direncanakan oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) diperuntukkan bagi siswa SMA yang dipersiapkan untuk masuk ke perguruan tinggi di luar negeri. Sedangkan Sekolah Rakyat, yang akan dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos), khusus untuk anak-anak dari keluarga yang sangat miskin.

"Pelayanan pendidikan itu ya harusnya bersifat inklusif, jangan malah diskriminatif. Dengan memisahkan siswa berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi, diskriminasi dalam layanan pendidikan dapat terjadi. Anak-anak dari keluarga miskin mungkin tidak mendapatkan layanan pendidikan yang setara dengan anak-anak dari keluarga kaya," ujar Ubaid dalam konferensi pers pada Kamis (16/1/2025).

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji menambahkan, kondisi ini berisiko menciptakan perbedaan kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa dari berbagai kelompok sosial-ekonomi, serta peluang masa depan yang tidak setara. Ia menyebutkan saat ini saja sudah terdapat perbedaan layanan pendidikan di berbagai model sekolah dan madrasah, baik untuk siswa maupun para guru.

Baca juga:

Menurutnya, dengan adanya sekolah-sekolah baru yang memisahkan berdasarkan kondisi ekonomi, hal ini justru akan memperburuk diskriminasi dalam pendidikan.

“Dengan sistem yang saat ini berjalan, ada model sekolah dan model madrasah, ini saja banyak layanan pendidikan yang dibeda-bedakan, baik untuk peserta didiknya maupun guru-gurunya. Apalagi ada model sekolah baru lagi, pasti menambah daftar masalah diskriminasi dalam pelayanan pendidikan,” ujarnya. 

Lebih lanjut, Ubaid juga mengkritik penamaan "Sekolah Rakyat untuk anak miskin", yang menurutnya bisa menimbulkan labelisasi dan stigmatisasi negatif terhadap siswa yang belajar di sekolah tersebut. Ia khawatir siswa yang belajar di Sekolah Rakyat akan dianggap sebagai siswa "kelas dua" dan dianggap tidak sebaik siswa di sekolah unggulan. Stigma ini, kata Ubaid, dapat memengaruhi kepercayaan diri dan prestasi akademis siswa, serta persepsi masyarakat terhadap mereka.

“Mereka pasti dianggap sebagai siswa “kelas dua” atau tidak sebaik siswa di sekolah unggulan. Stigma ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri dan prestasi akademis siswa, serta persepsi teman sebaya dan masyarakat terhadap mereka. Stigmatisasi ini akan memperkuat stereotip dan bias yang merugikan, dan semakin memarjinalkan kelompok anak miskin yang sudah rentan dan memperpetuasi siklus diskriminasi,” jelasnya. 

Ubaid mengatakan, pemerintah seharusnya menciptakan sekolah unggulan yang dapat diakses secara merata di seluruh wilayah, bukan hanya di sekolah-sekolah dan wilayah tertentu. Menurutnya, gagasan tentang sekolah unggulan harus diterapkan di semua sekolah di Indonesia, dan kebijakan ini harus berbasis data dan pemetaan di berbagai daerah.

“Gagasan sekolah unggulan itu jangan hanya diterapkan di sekolah dan wilayah tertentu, tapi harus bisa diterapkan di seluruh sekolah yang tersebar di Indonesia. Ini harus berbasis data dan pemetaan di berbagai wilayah, sebab terkait dengan strategi intervensi yang berbeda-beda. Jadi mestinya semua sekolah adalah unggulan untuk semua rakyat,” tuturnya.

Lebih lanjut, Ubaid menekankan bahwa pendidikan harus inklusif untuk semua anak, tidak hanya untuk mereka yang berprestasi secara akademik. Ia menegaskan setiap anak memiliki potensi yang berbeda-beda, dan semua anak memiliki hak untuk berprestasi sesuai dengan kemampuan mereka.

“Jangan hanya yang berprestasi secara akademik saja. Sebab, semua anak adalah berprestasi berdasarkan potensinya yang berbeda-beda, jangan hanya diukur dari sisi akademik belaka. Karena itu, konsep unggulan jangan dipisah dengan rakyat. Sebab semua rakyat adalah berprestasi dan tugas pemerintah adalah menyediakan sekolah yang inklusif dan berkualitas unggulan untuk semuanya,” pungkasnya.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!