BERITA

Indonesia Masih Terseok Terapkan Kawasan Tanpa Rokok

Baru 5 kota yang dianggap menerapkan aturan KTR dengan baik.

AUTHOR / Sindu Darmawan

Indonesia Masih Terseok Terapkan Kawasan Tanpa Rokok
Kawasan Tanpa Rokok, KTR, rokok

KBR, Jakarta – Dari 500 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, ternyata baru sekitar 120 kota yang telah memiliki Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Karena itulah, desakan untuk terus menambah jumlah kabupaten/kota yang menerapkan KTR terus bergulir. 


Tubagus Haryo Karbianto dari Divisi Advokasi Komnas Pengendalian tembakau mengatakan, salah satu kendala pembuatan Perda KTR di daerah adalah intervensi dari pengusaha atau industri rokok dalam pembuatan Perda tersebut. 


“Beberapa kota, pernah didatangi oleh pengusaha industri rokok, bahkan menyurati biro hukum yang ada di daerah-daerah. Saya tidak perlu sebutkan namanya,” jelas Tubagus dalam program Daerah Bicara KBR. “Ujung-ujungnya mereka ingin campur tangan, meski bukan bagian dari stakeholder isu kesehatan masyarakat. Mereka punya kekuatan untuk mempengaruhi. Mereka ingin ikut di dalam penyusunan perda. Padahal mereka bagian dari masalah.” 


Tak heran, jumlah daerah yang sudah punya dan memberlakukan Perda Kawasan Tanpa Rokok masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan total jumlah kabupaten/kota yang ada di Indonesia. 


“Jika dirinci 120 kab/ kota tadi sebetulnya tidak semuanya berbentuk perda, tapi ada juga yang bentuknya Peraturan Bupati, Peraturan Walikota, bahkan ada yang cuma berupa surat edaran yang hanya berlaku internal dari birokrasi,” kata Tubagus. 


Menurut UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, mandat yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah adalah menetapkan Kawasan Tanpa Rokok. “Hanya itu yang bisa mengatur sanksi, beda dengan edaran,” keluhnya. 


Dari 120 kabupate/kota yang sudah punya Perda KTR pun hanya lima kota yang dianggap maksimal melaksanakan kebijakan ini. 


“Pemerintah harus mencanangkan kota-kota tertentu yang bisa dijadikan contoh bagi kota lain, misalnya di Jawa Timur, Balikpapan atau Sumatera. Itu yang saat ini sedang kami coba usulkan kepada Kemenkes dan Kemendagri.”


Kemendagri dan Kemenkes, kata Tubagus, sebenarnya sudah mengeluarkan surat edaran kepada daerah untuk segera menerapkan aturan itu. Namun, semua kembali lagi kepada kebijakan pemerintah daerah.


“Ini adalah sebuah ironi ketika sebuah kebijakan kesehatan itu di-otonomi daerah-kan, karena masing-masing pemda itu tentu punya prioritas berbeda-beda,” kata Tubagus. “Tentang apakah pemda itu mau atau tidak melindungi warganya dari ancaman paparan asap rokok atau tidak. Salah satu faktor subyektifnya adalah jika kepala daerahnya adalah perokok berat. Adanya perda itu bisa jadi membuat kepala daerah itu tidak bisa merokok di dalam kantor dan sebagainya.”


Ketika isu soal Kawasan Tanpa Rokok ini diterapkan atau disuarakan, sektor bisnis dinilai menjadi sektor yang paling terakhir punya keberatan.


“Para pebisnis biasanya punya ketakutan, kalau saya terapkan aturan ini mereka akan kabur dan sebagainya. Tapi dari beberapa survey tidak ditemukan itu. Dan saya kira beberapa hotel dan mall sudah menerapkan itu, seperti Hotel Atlet Century dan Mall Atrium Senen.”


Hambatan soal penerapan aturan KTR ini, kata Tubagus, kadang datang dari internal sendiri. Polemik yang mendalam adalah tentang adanya tempat khusus untuk merokok. Semisal di Medan, di sana Biro Hukum menilai wajib ada tempat khusus untuk merokok.


“Itu sebenarnya tidak perlu menjadi polemik kembali, karena ada putusan MK nomor 57 yang menyebutkan, bahwa tempat umum, tempat kerja dan tempat lainnya menyediakan tempat khusus untuk merokok. Ada namanya peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan tentang pedoman pelaksana Kawasan Tanpa Rokok. Di putusan MK itu tidak disebutkan tempat merokok itu harus bagaimana, di luar atau di dalam. Tetapi dalam konteks UU Kesehatan, kalau toh ada tempat khusus merokok, maka tempat khusus itu tidak akan menghalangi tujuan dari UU Kesehatan itu sendiri.”


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!