NASIONAL

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Stagnan, Terburuk Sejak Era Reformasi

Indonesia merosot ke posisi 115 dari 180 negara.

AUTHOR / Hoirunnisa, Ardhi Ridwansyah

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Stagnan, Terburuk Sejak Era Reformasi
Ilustrasi: Aktivis antikorupsi menggelar aksi memperingati Hari Antikorupsi Sedunia di depan Gedung KPK, Jakarta, Rabu, 8/12/2021. Foto: Antara/Indrianto Eko

KBR, Jakarta- Pemberantasan korupsi di Indonesia dalam kondisi buruk. Ini tergambar dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang mencapai skor 34 atau stagnan.

Deputi Transparency Internasional Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko, mengatakan skor 34 itu sama dengan tahun sebelumnya. Sedangkan dari segi peringkat, Indonesia merosot ke posisi 115 dari 180 negara. Padahal di 2022, masih berada di peringkat 110.

"Ini menjadi catatan dengan skor yang stagnan, ranking bisa turun ini berarti menjadi satu pertanda buruk kalau kita ingin menuju negara dengan demokrasi yang penuh dan akses keadilan yang merata,” ucap Wawan dalam acara “Peluncuran Indeks Persepsi Korupsi 2023” dipantau YouTube Transparency Internasional Indonesia, Selasa, (30/1/2024).

Data tersebut disampaikan Deputi Transparency Internasional Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko, dalam acara Peluncuran Indeks Persepsi Korupsi 2023, kemarin.

Wayan menambahkan, di Asia Tenggara, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia berada di peringkat enam, kalah dari Singapura, Malaysia, hingga Timor Leste.

IPK Indonesia 2023 menjadi terburuk sejak era reformasi, lantaran skornya stagnan di 34, dan peringkatnya anjlok ke posisi 115. Indikator IPK Indonesia mengacu pada delapan data. Antara lain indeks hukum demokrasi, korupsi sistem politik, hingga konflik kepentingan antara politisi.

Harus Diperbaiki

Pada kesempatan yang sama, pimpinan KPK 2015-2019, Laode M Syarif berpandangan skor IPK di 2023 harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah. Ia meminta pemerintah tidak lari dari kenyataan dan harus segera memperbaikinya di tahun ini.

"Tidak adil kalau pemerintah berkomentar itu hanya persepsi, Ini kenyataan, persepsi lahir dari kenyataan praktik hari-hari. Oleh karena itu, kita perlu menunggu komitmen, kerja keras para capres. Memperbaiki demokrasi dan akuntabilitas partai politik, karena yang paling dinilai itu adalah kualitas demokrasi. Makanya kalau setiap survei, parlemen itu yang paling bawah, yang kedua menghilangkan politik uang dan penyakit demokrasi," kata Laode dalam rilis IPK di kanal YouTube TII, Selasa (30/1/2024)

Eks Pimpinan KPK, Laode M Syarif menyebut pemerintahan di masa depan punya tantangan besar dalam mengatasi korupsi, khususnya di ranah aparat hukum dan militer. Ia mendorong pengembalian independensi KPK lewat revisi Undang-Undang KPK.

Konflik Kepentingan Menguat

Sementara itu, Ekonom senior INDEF, Faisal Basri menyebut skor IPK yang stagnan menunjukkan makin kuatnya konflik kepentingan dari segala lini dan sektor. Menurutnya, kini pengusaha dan penguasa sudah menyatu sehingga membuat kebijakan yang kerap menguntungkan kelompok.

"Conflict of interest yang menjadi acuan pada peluncuran tahun lalu, akar dari korupsi di Indonesia yang menjadi-jadi bukan lagi conflict of interest. Kalau dulu Pak Harto memberi fasilitas kepada Tommy Soeharto, misalnya. Dua orang yang berbeda, kalau di Indonesia sekarang, saya memfasilitasi diri saya dengan membuat kebijakan untuk diri saya. Jadi, pengusaha dan penguasa sudah bersatu dalam satu tubuh. Inilah PR kita, jadi harus kita lawan di kemudian hari," kata Faisal dalam rilis IPK, di kanal YouTube TII, Selasa, (30/1/2024).

Gejala Korupsi Menguat

Sedangkan menurut Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, skor IPK Indonesia yang stagnan memperlihatkan gejala korupsi yang makin meluas.

Ia mencontohkan salah satu yang menjadi sorotan dalam pemilu adanya praktik politik uang, yang mendominasi kasus-kasus pelanggaran dalam proses Pemilu.

“Ternyata persoalan politik uang dari sisi pemidanaan yang formal, yang bisa ditegakkan, itu merupakan persoalan yang dominan dalam pemilu kita. Padahal pengaturan pemilu kita susah sekali untuk menegakkan politik uang. Di dalam sistem yang susah penegakkan terhadap politik uang, ternyata politik uang jadi kasus tertinggi di 2019,” kata Titi dalam acara “Peluncuran Indeks Persepsi Korupsi 2023” dipantau lewat kanal YouTube TII, Selasa (30/1/2024).

Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini mendorong adanya penegakan hukum yang konsisten untuk praktik politik transaksional.

Respons Pemerintah

Kantor Staf Kepresidenan merespons Indeks Persepsi Korupsi IPK 2023 yang stagnan. Menurut Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Yusuf Hakim Gumilang, mengatakan nilai turun pada aspek anggapan berinvestasi. Banyak yang menganggap berinvestasi di Indonesia sulit karena masih ada bekingan pejabat.

“Jadi, bagi kami yang turun itu harus diperbaiki, yang stagnan dari sisi perizinan kita akan terus gempur dengan digitalisasi, untuk yang naik akan kita terus tingkatkan, dan kita bisa melihat penindakan sudah cukup on the track tapi memang di sisi pencegahan (korupsi) mesti lebih kencang khususnya untuk perizinan memulai bisnis dan juga pencegahan konflik kepentingan dalam tata kelola pemerintahan,” ucap Yusuf kepada KBR, Selasa, (30/1/2024).

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Yusuf Hakim Gumilang juga menyinggung pentingnya penguatan regulasi pemberantasan korupsi. Seperti, diperlukannya RUU Pembatasan Uang Kartal. Ia menyebut skor IPK Indonesia 2023 akan menjadi bahan koreksi bersama bagi pemerintah.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!