NASIONAL

Gandeng Polri, Badan Perfilman Indonesia Blunder?

MoU itu hanya membuka akses informasi dan penguatan kapasitas SDM, baik dari pihak Polri maupun para pekerja film.

AUTHOR / Siska Mutakin

EDITOR / R. Fadli

Google News
Polri, BPI
Rapat kerja sama Badan Perfilman Indonesia dengan Divisi Humas Polri, Senin, 21 April 2025. (Foto: Instagram @badan_perfilman_indonesia)

KBR, Jakarta - Badan Perfilman Indonesia (BPI) bersama Divisi Humas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Divhumas Polri) tengah menjalin kerja sama formal melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) yang bertajuk "Sinergisitas Pengawasan Pembuatan, Pengedaran, Pertunjukan Film Kepolisian Negara Republik Indonesia".

Rencana kerja sama ini memicu beragam reaksi dari kalangan masyarakat, terutama insan perfilman. Postingan BPI melalui akun Instagram @badan_perfilman_indonesia pada Senin, 21 April 2025 pun menerima banyak kritik dan opini miring masyarakat.

Postingan itu memuat foto suasana pertemuan BPI dengan Divisi Humas Polri, dan diberi keterangan: 

"Kemarin BPI bersama Divisi Humas POLRI membahas MoU dalam rangka pengembangan kapasitas SDM."

Hingga Rabu (23/4/2025) pukul 08.58 WIB, postingan itu mendapat 527 likes dan 181 komentar.

Salah satu komentar dikirim akun @rizariri yang mengeklaim sebagai Film Director. Ia mempertanyakan judul MoU tersebut:

"Kenapa ya judul suratnya: Pengawasan Pembuatan, pengedaran dan pertunjukan film? Bisa dijelaskan ini apa? Bpk @paggaru @judith_dipodiputro?"

Diketahui, akun @paggaru adalah milik Ketua Umum BPI Gunawan Paggaru. Sedangkan akun @judith_dipodiputro adalah milik Judith Jubilina Dipodiputro yang merupakan bekas Direktur Utama Perum Produksi Film Negara (PFN).

Mendapat 'colekan' @rizariri, Ketua Umum BPI Gunawan Paggaru melalui akun @paggaru menjawab: 

"@rizariri oh iya bukan judul itu yang disepakati karena tujuan dari MoU adalah memberi ruang kepada pelaku film jika membutuhkan informasi apakah itu riset atau yang lain-lain maka humas POLRI membuka ruang itu. Begitu juga BPI membuka ruang informasi untuk POLRI dalam pengembangan kapasitas SDM. Itu penjelasannya."

Jawaban @paggaru dinilai kurang sreg buat akun @fida_rachman253 yang kemudian justru balik mempertanyakan: 

"SDM siapa? Pemerintah dan kepolisian saja kagak dukung industri film Indonesia lol. Kita nih penonton yang banyakan dukung industri film. Pengembangan kapasitas SDM apa? Informasi apa? Informasi bisa membredel film kalau ada yang kritik issue sosial dan pemerintah yang jelek dibuang dan diganti yang baik-baik saja gitu."

Diksi "memberi ruang kepada pelaku film" yang disampaikan @paggaru juga dipersoalkan akun @sarangberangberang yang juga balik mempertanyakan: 

"Memberi ruang? Emangnya selama ini ruangnya siapa yang punya ya? Bukankah sudah ada UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik? Itu harusnya udah cukup ndak perlu MOU dan pengawasan. Benar ndak sih yang barusan saya tanggapi, mas @rizariri ?"

Membalas komen netizen yang kritis itu, @paggaru akhirnya membuka poin pertemuan dengan Divhumas Polri itu. Katanya: 

"Ini lingkup MoU yang dibahas kemarin, a. peningkatan kapasitas dan pemanfaatan sumber daya manusia; dan, b. pemanfaatan sarana dan prasarana. Silahkan dikomentari, dan kasih masukan."

Di bagian lain, @paggaru kembali memberi penjelasan: 

"Dalam UU perfilman tidak ada perizinan itu menandakan bahwa tidak ada pengawasan, jadi bukan pengawasan, itu sebabnya perlu kami bahas secara terbuka, dan kedua belah pihak menyetujui itu. Lingkup MoU adalah pengembangan kapasitas SDM. Contoh karena kurangnya ruang untuk para pekerja film melakukan riset apalagi penggunaan atribut maka POLRI membuka ruang untuk pekerja film berkomunikasi. Jadi muncul kata pengawasan karena itu, bukan oengawasan kreatifitas, karena itu sudah dijamin UU. Bikin film jika atribut aja salah, maka saya yakin substansinya bisa diragukan validitasnya. Makanya yang disepakati pengembangan kapasitas SDM. Dan itu juga kenapa BPI MoU nya sama Humas, bukan yang lain. Semoga bermanfaat."

Tapi lagi-lagi, netizen masih belum mau sepenuhnya percaya. Akun @rifandi.g bahkan menyatakan: 

"Apa gak bakal intervensi proses kreatif dari film yang diproduksi? Film Indonesia lagi bagus-bagusnya loh! kalian mau rusak industri film kita dengan intervensi dari polisi?"

Hal yang sama disampaikan akun @fathurrozakjek yang menegaskan: 

"Ngapain kudu ada pengawasan pembuatan, pengedaran dan pertunjukan film?"

Begini, Klarifikasi Badan Perfilman Indonesia

Redaksi KBR Media mewawancarai Ketua Umum BPI Gunawan Paggaru melalui sambungan telepon , Selasa (22/4/2025) terkait komentar negatif netizen.

Empunya akun Instagram @paggaru itu menjelaskan, rencana kerja sama BPI bersama Divhumas Polri tidak berkaitan dengan pengawasan terhadap industri film.

red

Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI) Gunawan Paggaru (30/02/2023). (Foto: ANTARA/Rizka Khaerunnisa)

MoU itu diklaim hanya untuk membuka akses informasi dan penguatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), baik dari pihak Polri maupun para pekerja film.

"Karena selama ini, sebetulnya kita banyak sekali, untuk mau mengakses informasi-informasi terhadap apa saja terkait dengan Polri, apalagi kalau itu biasanya kalau kita mau bikin film yang ada kaitannya dengan Polisi, itu sulit sekali. Sehingga kita kadang-kadang suka risetnya enggak bagus. Sehingga semuanya enggak ada dan itu pernah saya alami waktu saya bikin film isu, itu saya ada ledakan itu nyari akses SOP-nya apa dan segala macam, itu sulit sekali. Karena sulit untuk kita mengakses data itu, informasi itu," ungkap Ketua Umum BPI Gunawan Paggaru kepada KBR Media, Selasa (22/04/2025).

Gunawan menegaskan, tidak ada bentuk dan upaya "pengawasan" apapun dari pihak Polri dalam kerja sama atau MoU itu. Karena, kebebasan berekspresi sudah dijamin undang-undang. Dalam hal ini, Pasal 28E UUD 1945.

Ia juga menyampaikan kegaduhan yang muncul di media sosial terkait isu "pengawasan" oleh Polri terhadap perfilman nasional, mungkin disebabkan kesalahpahaman terhadap materi MoU yang memang masih dalam bentuk draft.

"Sebetulnya (kebebasan berekspresi) itu enggak perlu dikhawatirkan, sudah dijamin undang-undang. Terus kemudian, kenapa itu kita hubungannya dengan Humas Polri dan bukan dengan yang lain? Karena Humas Polri kan tidak punya kewenangan untuk mengawasi," tegasnya.

Selain itu, Gunawan menekankan, MoU tersebut juga tidak bersifat mengikat, dan malah bisa menjadi pegangan bagi para pekerja film, terutama saat berhadapan dengan aparat di daerah yang kerap kali "menyulitkan" proses produksi.

Ia juga menyatakan, peran Humas Pori itu hanyalah sebagai fasilitator agar ruang komunikasi antara para sineas atau asosiasi perfilman dengan Kepolisian bisa terbuka.

Baca juga:

LBH Jakarta Sebut Penundaan Pameran Lukisan Yos Suprapto Langgar HAM!

Gunawan menyebut, proses penyusunan materi MoU masih berjalan, dan akan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders).

"Jadi enggak ada hal-hal yang lain, cuma memang kan ini persoalannya Polri lagi sedang ini dan muncul itu, akhirnya masyarakat film lihatnya, wah ini jangan-jangan kita mau diawasi, ya tidaklah. Orang dijamin undang-undang kok, kalau ada apa-apa yang kayak gitu, Polri mengintervensi, maka saya yang paling maju duluan. Saya kan sutradara," ujarnya.

red

Suasana saat Yos Suprapto menurunkan lukisannya di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Senin (23/12/2024). (Foto: ANTARA/ Putri Hanifa)

Untuk itu, Gunawan pun mengajak seluruh sineas atau asosiasi perfilman melihat MoU itu sebagai peluang, bukan sebagai bentuk intervensi.

"Orang dijamin undang-undang kok, kalau ada apa-apa yang kayak gitu, Polri mengintervensi, maka saya yang paling maju duluan. Saya kan sutradara," ujarnya.

Ia juga menegaskan kembali, tidak ada niatan dari pihak manapun untuk mengawasi kreativitas dalam dunia film.

"Kenapa kami berpikir sebaiknya ada MoU? Karena biasanya keterbukaan ini tergantung siapa yang lagi menjabat, ya kan? Bisa saja pada saat ganti pejabat, keterbukaan, udah enggak ada lagi. Nah kalau ada MoU kan kita bisa jadi ada pegangan. Ini kan yang terjadi di negeri kita kan, seperti itu, setiap ganti pejabat, kebijakan berubah. Ya kan? Capeklah," tegasnya.

Peraturan Kepolisian Awasi Jurnalis Asing?

Sebelumnya, Polri juga mendapat sorotan ketika menerbitkan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian Terhadap Orang Asing.

Aturan yang ditandatangani Kapolri Listyo Sigit Prabowo pada 10 Maret 2025 ini mengatur tentang pengawasan kepolisian kepada orang asing di Indonesia, salah satunya adalah jurnalis asing.

Beleid ini pun langsung menuai sorotan publik. Sebab, beredar narasi, Perpol itu akan membuat jurnalis asing diwajibkan mengantongi surat keterangan dari Kepolisian bila meliput di wilayah hukum Indonesia. ⁠

⁠Mengomentari kecurigaan Polri akan mengawasi jurnalis asing melalui Perpol tersebut, Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho memberikan penjelasannya.

Sandi mengatakan, dasar penerbitan aturan yang diteken pada tanggal 10 Maret 2025 itu adalah bentuk tindak lanjut dari Revisi UU Keimigrasian Nomor 63 tahun 2024.

Ia menyebut, tujuan Perpol itu agar jurnalis asing mendapat perlindungan, terutama bila bertugas di area rawan konflik.⁠

⁠Baca juga:

LBH Jakarta Sebut Penundaan Pameran Lukisan Yos Suprapto Langgar HAM!

Sandi menjelaskan, fungsi Polri dari Perpol ini adalah melakukan fungsi pengawasan administratif dan operasional kepada WNA, terkhusus jurnalis asing.

Itu tertuang pada Pasal 4. Untuk bentuk pengawasannya secara administratif, baru dapat dilakukan apabila diminta oleh penjamin jurnalis asing terkait. Aturan ini ada di Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 8 ayat 1 Perpol tersebut.⁠

⁠Sandi memastikan, apa yang beredar terkait isu Polri akan mengawasi jurnalis asing dan mewajibkan memiliki Surat Keterangan Kepolisian adalah sesuatu yang tidak benar. Begitupun dalam urusan penerbitannya, pihak yang berhubungan dengan Polri adalah penjamin, dan bukan jurnalisnya. Peraturan ini menjadi sorotan, usai dianggap sebagai upaya aparat Kepolisian membatasi arus informasi yang terjadi di Indonesia hingga ke mancanegara.⁠

Dewan Pers Sesalkan Perpol Jurnalis Asing

Di sisi lain, Perpol Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian Terhadap Orang Asing, memicu kritik dari berbagai pihak termasuk Dewan Pers. Lembaga independen itu menilai, Perpol tersebut dapat membatasi ruang gerak kehidupan pers.

Baca juga:

Polda Jateng Akui Minta Band Sukatani Klarifikasi Lagu Berjudul Bayar Bayar Bayar

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menyampaikan, penerbitan Perpol itu tidak partisipatif karena tidak melibatkan Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Organisasi Jurnalis dan Perusahaan Pers.

”Mengingat salah satu klausula yang diatur adalah kerja-kerja jurnalistik yang kami yakini organisasi tersebut dapat berkontribusi dalam penyusunan yang sesuai dengan pengalaman pers dan ketentuan perundang undangan,” tutur Ninik melalui keterangan resminya, Kamis (10/4/2025).

Ninik juga menilai, Perpol tersebut juga bertentangan dengan pengaturan yang lebih tinggi yaitu pada bagian pertimbangan tidak mempertimbangkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Sukatani, Korban Duet "Pengawasan dan Intimidasi"

Masih terkait kebebasan berekspresi dan "pengawasan" oleh pihak Kepolisian, publik pasti masih ingat kasus yang menimpa grup band beraliran punk asal Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah yakni Sukatani.

red

Aksi panggung Band Sukatani. (Foto: ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/agr)

Band yang digawangi vokalis Novi Citra Indriyati alias "Twister Angel" dan Muhammad Syifa Al Lufti sebagai gitaris sekaligus produser sempat menyatakan mendapat tekanan dan intimidasi. 

Ya, pada 1 Maret 2025, Band Sukatani dalam keterangannya ke publik, melalui akun @sukatani. band di kanal Instagram mengakui adanya tekanan dan intimidasi atas adanya lagu “Bayar, Bayar, Bayar” oleh aparat Kepolisian. 

Bahkan intimidasi sudah dialami Band Sukatani sejak Juli 2024.

Baca juga:

Kasus Band Sukatani, Kompolnas Minta Polisi Hormati HAM

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!