NASIONAL

Dosen S2 dan Pejabat Polri Saja Jadi Korban, Perlu Edukasi Masif untuk Cegah Penipuan Online

“Hal paling konyol yang banyak terjadi apa? Bagaimana bisa kita orang pintar ngirim OTP ke orang lain? Itu kan paling sering terjadi."

AUTHOR / Ardhi Ridwansyah

penipuan online
Ilustrasi. (Foto: Creative Commons)

KBR, Jakarta - Semakin gandrungnya masyarakat menggunakan jaringan internet memunculkan banyak penipuan online dengan beragam modus. Korban bahkan mencakup orang berpendidikan tinggi.

Jutaan warga Indonesia kini mulai terbiasa menggunakan jaringan internet untuk melakukan berbagai transaksi seperti belanja online, transaksi keuangan lewat mobile banking hingga pembayaran digital.

Situasi ini dimanfaatkan para penipu untuk memperoleh data pribadi pengguna internet dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. 

Salah satunya melalui modus sniffing (penyadapan untuk mencuri data). Modus ini biasanya dilakukan pelaku dengan mengirim link (tautan) lewat aplikasi WhatsApp ke korban.

Pelaku menggunakan dalih tautan berformat APK itu sebagai resi pengiriman paket atau undangan pernikahan. Bila pengguna lengah, maka dia akan membuka tautan itu. Tanpa disadari rekening di kartu debit berkurang bahkan terkuras.

Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika di Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengimbau masyarakat jeli dan berhati-hati sebelum membuka link.

“Jadi kalau mau harusnya lewat aplikasi, jangan APK, APK itu ada script-nya, kalau aplikasi kan kita tahu siapa yang harus bertanggung jawab. Dia (pelaku) menyembuyikan itu di dalam undangannya jadi seolah-olah dia masuk. Kan sekarang juga ada undangannya, masuk ke aplikasi khusus malah ada website khusus dibuatkan ke pengantennya itu, nah itu lebih terpercaya. Kalau APK itu kita pasti download, nah pas download itu kita enggak tahu ada apa di dalamnya,” kata Semuel dalam sebuah webinar tentang keamanan data di Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika di Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangherapan juga meminta masyarakat tidak memberi kode one time password (OTP) ke orang lain, apapun alasannya. 

Jika OTP diberikan, maka data pribadinya bisa dibobol dan berpotensi disalahgunakan oleh pelaku untuk melakukan tindak kejahatan lainnya.

Baca juga:

Dosen S2 Jadi Korban

Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat ada 130 ribu kasus penipuan online di tahun lalu.

Korban tidak hanya orang dengan pendidikan rendah, tapi juga berpendidikan tinggi. Padahal, orang berpendidikan tinggi mestinya lebih kritis menghadapi situasi yang mencurigakan atau janggal.

Penyidik Badan Reserse Kriminal Polri, Burkan Rudy Satria mengatakan pernah mendapat laporan penipuan jual beli handphone secara online yang ternyata korbannya adalah seorang dosen S2 universitas ternama di Yogyakarta.

“Ini cerita nyata nih dua tahun yang lalu ada satu orang laporan polisi di Polda DIY. Saya tanya, ‘Pak, kenapa Pak?’. ‘Saya ketipu, Pak, beli IPhone enam biji.’ ‘Ditawarin berapa?’. ’30 juta.' Saya ketawa kan. Mana ada enam biji IPhone harganya Rp30 juta? Enggak masuk akal. ‘Terus kok Bapak mau?’. ‘Ya kan soalnya murah, Pak’. Terus saya tanya, ‘Bapak kerjanya apa?’ ‘Waduh saya malu, Pak, nyebutin.' ‘Enggak apa-apa, Pak kan cuma sama saya doang.’ ‘Saya tuh dosen S2 UGM Pak’. Ketawa saya,” ucap Burkan dalam seminar yang digelar di Universitas Negeri Yogyakarta, Rabu (2/8/2023).

Burkan Rudy Satria mengatakan perlu ada edukasi lebih masif guna mencegah praktik penipuan online.

Burkan menyebut kasus penipuan online modus sniffing lewat kode OTP juga marak terjadi. 

Lagi-lagi korbannya juga menyasar orang berpendidikan tinggi. Padahal, OTP sudah jelas-jelas tidak boleh dibagikan ke pihak manapun termasuk ke petugas bank.

“Hal paling konyol yang banyak terjadi apa? Bagaimana bisa kita orang pintar ngirim OTP ke orang lain? Itu kan paling sering terjadi. Ini kan sama, karena kasus online scamming ini sama, ada yang begitu juga minta OTP. Kan sudah jelas aturannya, OTP jangan diberikan ke orang lain bahkan ke petugas bank. Tapi ya itu tadi, kita latah,” ucap Burkan.

One Time Password (OTP) merupakan kode verifikasi atau kata sandi sekali pakai yang umumnya terdiri dari enam digit karakter berupa angka unik. Biasanya OTP dikirimkan melalui SMS atau e-mail dan umumnya hanya berlaku singkat sekitar dua menit.

Jika pelaku penipuan berhasil mendapat kode OTP, maka keamanan perbankan atau aplikasi yang dimiliki seseorang tidak lagi terjamin keamanannya.

Baca juga:

Pejabat tinggi Polri Jadi Korban

Kepala Departemen Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Rudy Agus Raharjo mengatakan penipuan online utamanya bermodus sniffing (penyadapan untuk mencuri data) bahkan menyasar ke pejabat tinggi Polri.

“Modus sniffing ini banyak sekali ini kasusnya, yang korbannya itu bukan hanya masyarakat biasa, mungkin teman-teman OJK juga ada ya, dan kemarin pun ada pejabat tinggi Polri pun juga ada yang kena. Jadi sebenarnya modus ini bisa terkena oleh siapa saja karena memang sering kita tanpa sadar langsung membuka, padahal itu aplikasi-aplikasi yang intinya untuk melakukan sniffing,” jelas Rudy dalam Webinar Waspada Modus Penipuan Gaya Baru, Kamis (3/8/2023).

Rudy memberikan tips menghindari penipuan online modus sniffing. Pertama, jangan sembarang mengunduh aplikasi atau mengeklik tautan yang dikirim melalui SMS, WhatsApp, atau surat elektronik.

Kedua, cek keaslian telepon, SMS atau WhatsApp dengan menghubungi call center resmi perusahaan. Ketiga, unduh aplikasi dari sumber resmi seperti dari situs perusahaan, App Store, dan Play Store.

Kepala Departemen Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Rudy Agus Raharjo juga mengingatkan agar pengguna mengaktifkan notifikasi transaksi rekening, cek histori rekening dan mengganti password (kata kunci) secara berkala serta tidak guna jaringan Wi-Fi publik untuk transaksi keuangan.

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!