indeks
Desakan Revisi UU Peradilan Militer Usai Tragedi Deli Serdang

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pun menyebut dalam proses pemeriksaan ini, jumlah anggotanya yang terlibat masih bisa berubah.

Penulis: Shafira Aurel

Editor: Muthia Kusuma

Google News
kekerasan
Aksi Kamisan memprotes kekerasan aparat terhadap jurnalis di Medan, Sumatera Utara, Kamis (22/8/2024). (Foto: ANTARA/Fransisco Carolio)

KBR, Jakarta- Panglima TNI Agus Subiyanto menanggapi insiden sekelompok prajurit TNI AD yang menyerang warga Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-Biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara pada 8 November lalu.

Panglima mengatakan tak segan-segan untuk memberikan sanksi tegas kepada prajuritnya jika memang terbukti bersalah.

"Ya Pangdam sudah ambil langkah. Ke rumahnya yang meninggal, yang di RS diobati. Anggota pun sekarang sedang kita proses ya menurut BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Ya kita selalu menyampaikan reward and punishment. Kayak tadi kan, berhasil membantu penanggulangan bencana alam di luar negeri, ya kita kasih reward. Tapi kalau yang melanggar, ya punishment," ujar Agus di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (11/11/2024).

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pun menyebut dalam proses pemeriksaan ini, jumlah anggotanya yang terlibat masih bisa berubah.

"Ya nanti dari hasil pengembangan BAP itu akan bisa bertambah, bisa berkurang," ucapnya.

Sebelumnya, puluhan prajurit TNI yang diduga menyerang warga sipil di Desa Cinta Adil, Kecamatan Biru-Biru di Deli Serdang. Peristiwa bermula ketika dua prajurit bersenjata itu menegur pemuda yang kebut-kebutan dengan sepeda motor, hingga berujung pada kericuhan maut.

Penyerangan tersebut mengakibatkan satu orang meninggal atas nama Raden Barus yang berusia 61 tahun dan puluhan orang luka serius akibat penganiayaan diduga dengan senjata tajam.

Masalah dasar sistem peradilan

Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mengecam keras tindakan brutal tersebut dan mendesak agar pelaku diadili melalui peradilan umum. Mereka menilai, peristiwa itu telah menguak permasalahan mendasar dalam sistem peradilan militer di Indonesia.

Berdasarkan catatan Imparsial, sepanjang tahun 2024 (Januari – November 2024) terdapat 25 peristiwa kekerasan anggota TNI terhadap warga sipil. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut antara lain; penganiayaan atau penyiksaan terhadap warga sipil, kekerasan terhadap pembela HAM dan jurnalis, intimidasi dan perusakan properti, penembakan, dan KDRT.

Baca juga:

Anggota Koalisi sekaligus Ketua PBHI, Julius Ibrani mengatakan, kejadian ini menunjukkan masih kuatnya arogansi dan kesewenang-wenangan anggota TNI terhadap warga sipil.

"Koalisi menilai, penyerangan terhadap warga yang dilakukan oleh anggota TNI di Kabupaten Deli Serdang tersebut menunjukan kecenderungan masih kuatnya arogansi dan kesewenang-wenangan hukum (above the law) anggota TNI terhadap warga sipil. Para anggota TNI yang diduga melakukan serangan brutal tersebut tidak boleh dibiarkan tanpa proses hukum dan harus dihukum sesuai dengan perbuatannya," ucapnya dalam rilis tertulis yang diterima KBR, Senin, (11/11/2024).

Koalisi menilai, salah satu akar masalahnya adalah UU Peradilan Militer yang dinilai masih lemah dan menjadi sarana impunitas bagi anggota TNI yang melakukan pelanggaran hukum.

Baca juga:

Koalisi mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera memasukkan agenda revisi UU Peradilan Militer ke dalam Prolegnas 2024-2029. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota TNI, termasuk kekerasan terhadap warga sipil, dapat diproses secara adil dan transparan melalui peradilan umum.

"Umumnya, pelaku kekerasan tersebut juga tidak mendapatkan hukuman atau sanksi sebagaimana mestinya (impunitas). Koalisi menilai, langgengnya budaya kekerasan aparat TNI terhadap warga sipil di sejumlah daerah salah satunya disebabkan oleh belum direvisinya UU tentang Peradilan Militer (UU NO. 31 tahun 1997). Sistem Peradilan Militer yang berjalan selama ini tidak urung menjadi sarana impunitas bagi aparat TNI yang melakukan kekerasan," jelasnya.

Koalisi juga mendesak agar pelaku penyerangan di Desa Selamat segera diadili melalui peradilan umum.

"Korban dan keluarga mereka berhak mendapatkan keadilan. Pelaku harus bertanggung jawab atas perbuatannya," tegas Julius.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty Internasional Indonesia, ELSAM, HRWG, WALHI, SETARA Institute, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Aliansi Masyrakat Adat Nusantara (AMAN), Public Virtue, dan ICJR.

TNI
penganiayaan
impunitas
Sumatra Utara
Deli Serdang
reformasi TNI
UU Peradilan Militer

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...