indeks
Desakan Reformasi Polri, Sembilan Masalah Sistemik Harus Dibenahi

“Kalau kapolri ganti, tetapi rekomendasi tiga hal yang kami sampaikan tadi enggak direspons, ya, enggak ada gunanya."

Penulis: Hoirunnisa, Naomi Lyandra

Editor: Sindu

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Desakan Reformasi Polri, Sembilan Masalah Sistemik Harus Dibenahi
Aksi kekerasan polisi saat aksi demo. Foto: ICJR.or.id
TL;DR
  • Desakan reformasi Polri menguat setelah brutalitas penanganan demonstrasi dan kasus kekerasan berulang yang menelan korban jiwa.
  • Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti sembilan masalah sistemik, termasuk budaya kekerasan, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang Polri.
  • Presiden Prabowo setuju membentuk tim reformasi independen guna merombak sistem dan kultur Polri agar lebih humanis.

KBR, Jakarta- Reformasi Polri mendesak dilakukan. Mengapa? Penanganan aksi demonstrasi akhir Agustus hingga awal September jadi satu dari sekian contoh kebrutalan aparat yang berulang.

Data per Minggu, 8 September 2025, ada 5.444 orang ditangkap selama demonstrasi. Dari jumlah itu, 4.800 sudah dipulangkan Polri. Tercatat, ribuan demonstran terluka, dan sepuluh nyawa melayang, salah satunya pengemudi ojol Affan Kurniawan yang tewas dilindas kendaraan taktis polisi.

Prahara Agustus membuat desakan reformasi Polri menguat lagi. Ini bukan desakan pertama. Sudah ke sekian kali.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) mendesak sembilan hal mendasar yang harus dibenahi. Mulai dari akuntabilitas dan pengawasan, budaya kekerasan, tata kelola organisasi tidak transparan, sistem kepegawaian yang tidak berbasis meritokrasi, terlalu luasnya tugas dan fungsi Polri.

Selanjutnya, Koalisi RFP juga menyoroti penggunaan kekuatan berlebih termasuk dalam penanganan demonstrasi, serta buruknya komitmen pemenuhan HAM.

Dalam poin tuntutan ke delapan, Koalisi RFP menyoroti kultur tebang pilih (cherry picking), penelantaran perkara (undue delay), serta perilaku koruptif dalam penegakan hukum. Ke sembilan, keterlibatan kepolisian sebagai alat maupun aktor dalam ruang bisnis dan politik (kekuasaan).

red
Rilis Pers RFP dan desakan perubahan 9 masalah sistemik di Polri
advertisement


Salah satu bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil RFP, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan, pergantian kapolri tak jadi solusi berarti jika reformasi Polri hanya sebatas kosmetik tanpa menyentuh akar masalah.

Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, menekankan substansi reformasi lebih penting daripada siapa yang memimpin Polri.

“Kalau kapolri ganti, tetapi rekomendasi tiga hal yang kami sampaikan tadi enggak direspons, ya, enggak ada gunanya. Yang saya paling mau highlight, tunjukkanlah komitmen perbaikan lewat revisi KUHAP yang benar. Di draft RKUHAP 2025 ini enggak ada rekomendasi perbaikan sistem yang diperkenalkan. Justru malah dia melegitimasi tindakan-tindakan sewenang-wenang polisi,” ujar Maidina kepada KBR, Selasa, (16/9/2025).

Maidina mencontohkan praktik penangkapan sewenang-wenang yang masih marak dilakukan tanpa ada mekanisme habeas corpus untuk menguji keabsahannya.

“Polisi bisa main tangkap dulu tanpa ada kewajiban menghadapkan ke hakim dalam 48 jam. Harusnya ada mekanisme habeas corpus untuk memastikan penangkapan sah atau tidak. Kalau salah tangkap, negara wajib memberi kompensasi. Sekarang hal itu tidak ada, makanya praktik sewenang-wenang dibiarkan,” jelasnya.

Menurutnya, akar masalah dalam tubuh Polri bersumber dari sistem yang memberi kewenangan luas tanpa pengawasan memadai. Ia mencontohkan, praktik penyelidikan dan penyidikan yang tidak menghadirkan mekanisme check and balances.

Maidina juga menyinggung rencana pembentukan tim reformasi Polri. Kata dia, tim itu harus bebas dari konflik kepentingan. Koalisi tidak ingin ada anggota Polri maupun Kompolnas dilibatkan, karena berpotensi menghambat perubahan.

“Tim harus diisi akademisi, aktivis HAM, dan masyarakat sipil, bukan pihak yang punya kepentingan langsung dengan Polri,” tegasnya.

red
Konferensi Pers Koalisi RFP tuntut presiden bentuk tim independen reformasi Polri dan menyasar 9 masalah sistemik, Selasa, 16 September 2025. Foto: icjr.or.id
advertisement


Reformasi Polri: Desain Ulang Jati Diri

Dalam keterangan resmi Koalisi RFP menyebut, reformasi harus dimaknai tuntutan pembenahan menyeluruh institusi kepolisian, baik pada aspek sistem, kewenangan, struktur, hingga kultur.

"Buruknya kinerja kepolisian selama ini menunjukkan persoalan Polri berakar multiaspek. Alhasil, Polri tidak kunjung berbenah meski diterpa skandal berulang, mulai dari korupsi, brutalitas, hingga arogansi kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, harus dirumuskan peta jalan reformasi kepolisian yang jelas dan terukur," bunyi rilis Koalisi RFP yang diterima KBR, Senin, (15/9/2025).

Koalisi RFP berpandangan agenda reformasi kepolisian sudah saatnya dimaksudkan agar mampu meredefinisi ulang jati diri Polri yang sipil (civilian police).

"Mendesain jalan depolitisasi, demiliteritasi, desentralisasi, dan dekorporatisasi kepolisian secara mendasar dan signifikan. Semua situasi ini disebabkan karena pascatransisi reformasi 1998, agenda reformasi kepolisian hanya berhenti pada pemisahan Polri dari dwifungsi ABRI, tanpa benar-benar merombak tata kelola, struktur dan kultur institusi Polri," bunyi rilis.

red
Grand Strategi Polri. Sumber: siapsespimpolri.id
advertisement


Prabowo Setuju Bentuk Tim Reformasi Kepolisian

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menyetujui pembentukan tim reformasi kepolisian usai bertemu Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di Istana Kamis, (11/9/2025).

Keputusan ini disebut langkah awal merespons kritik publik terhadap institusi Polri yang dinilai semakin jauh dari prinsip demokrasi dan akuntabilitas. 

Eks Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia atau PGI, Gomar Gultom menyebut, dalam pertemuan itu mereka menyampaikan kepada Presiden Prabowo tentang perlunya mengevaluasi dan mereformasi Polri.

"Tadi juga disampaikan Gerakan Nurani Bangsa perlunya evaluasi dan reformasi kepolisian, yang disambut juga oleh Pak Presiden, (yang) akan segera membentuk tim atau komisi reformasi kepolisian. Saya kira ini juga atas tuntutan dari masyarakat yang cukup banyak," ujar Gomar kepada wartawan, Kamis, (11/9/2025).

Dalam kesempatan berbeda, Gomar menyoroti budaya represif di tubuh Polri yang hingga kini belum hilang.

“Ini memang tidak mudah karena kepolisian kita sangat besar. Kalau enggak salah hampir 500 ribu jumlahnya dan itu cukup besar. Anggarannya sangat besar, bidang tugas sangat besar ... masih budaya militeristik masih dipakai dalam pendekatan-pendekatan yang selama ini,” tegasnya.

Karena itu, ia menilai, nantinya tim reformasi Polri harus beranggotakan figur independen.

“Kita semua menginginkan orang-orang yang berintegritas, independen untuk duduk di sini. Tetapi, tidak lupa juga harus ada orang-orang dari masyarakat yang independen ... Karena, ini GNB hanya gerakan moral,” ucapnya.

Menteri Agama, Nasarudddin Umar mengklaim, reformasi Polri telah direncanakan dan dirumuskan Prabowo sejak lama.

"Jadi, istilahnya tadi itu gayung bersambut, ya. Apa yang dirumuskan teman-teman ini justru itu yang sudah akan dilakukan oleh Bapak Presiden terutama menyangkut masalah reformasi dalam bidang kepolisian," lanjut Nasaruddin yang ikut mendampingi presiden saat menemui GNB.

GNB adalah gerakan kepedulian yang diinisiasi tokoh-tokoh bangsa dan pemimpin lintas agama. 

red
Presiden Prabowo menerima para tokoh Gerakan Nurani Bangsa di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 11 September 2025. Foto: BPMI Setpres
advertisement


Cetak Biru Reformasi Polri Sudah Ada

Di parlemen, Anggota Komisi Hukum DPR, Benny K Harman mengingatkan, cetak biru reformasi Polri sebenarnya sudah ada sejak lama, tetapi tak pernah dijalankan.

“Kita mendukung rencana Bapak Presiden untuk melakukan reformasi institusi kepolisian. Menurut saya, itu sangat tepat. Cetak birunya, kan, sudah ada, pelaksanaannya yang belum,” ujar Benny saat kunjungan ke Polda Sulsel, Makassar, Jumat, (12/9/2025), seperti dikutip dari ANTARA.

Namun, Benny belum mengetahui apakah kerja-kerja dari tim untuk mengevaluasi dan mereformasi Polri akan berbenturan dengan Kompolnas.

Sementara itu, Polri belum banyak bicara soal rencana tim reformasi. KBR telah berupaya menghubungi Kepala Divisi Humas Polri, Sandi Nugroho, namun hingga berita ini naik, belum ada respons dari yang bersangkutan.

Kompolnas: Reformasi Kepolisian Tak dari Nol


Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengingatkan, tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam mereformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), yakni instrumen digital, hak asasi manusia (HAM), hingga pengawasan.

Komisioner Kompolnas Muhammad Choirul Anam mengatakan, reformasi Polri sejatinya tidak dimulai dari nol. Menurut dia, ketiga instrumen tersebut penting untuk memaksimalkan upaya perbaikan yang telah berjalan di tubuh Polri.

“Ini bisa jadi modalitas, mana yang diperkuat, mana yang diperbaiki, mana yang harus diganti. Itu yang mungkin bisa jadi semacam roadmap (peta jalan) penguatan kepolisian untuk memastikan polisi profesional dan humanis yang tetap memegang prinsip HAM,” kata Anam mengutip Antara, Minggu, (14/9/2025).

Anam mengatakan, perlu pengecekan ulang instrumen kepolisian yang sudah tidak sesuai perkembangan zaman. Dalam hal ini, dia menyoroti semakin luasnya ruang digital.

Menurut dia, di tengah perkembangan ruang digital saat ini, instrumen kepolisian harus tetap mengedepankan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul sebagaimana yang dimandatkan konstitusi.

red
Aksi mendesak Reformasi Polri di Jakarta saat Hari Bhayangkara. Foto: icjr.or.id
advertisement


Instrumen HAM dan Menunggu Presiden

Anam mengakui, masih ada tindakan represif dari aparat ketika menghadapi masyarakat. Oleh sebab itu, instrumen HAM di tubuh Polri perlu ditingkatkan.

Ia menyebut, salah satu sektor penting untuk membentuk kepolisian yang humanis adalah pendidikan. Menurut dia, nilai-nilai HAM perlu diajarkan secara lebih masif dalam kurikulum pendidikan kepolisian.

“Kalau masih ada budaya kekerasan atau penggunaan kewenangan berlebihan dan sebagainya, harus diperkuat di level mengubah kultur. Mengubah kulturnya salah satu yang paling mendasar adalah di level pendidikan,” kata Anam.

Gufron Mabruri, anggota Kompolnas lainnya mengatakan, saat ini komisi masih menunggu arah kebijakan dari presiden soal reformasi Polri.

“Penting kita garis-bawahi bersama, yaitu semuanya untuk membangun kepolisian, kita menjadi lebih profesional, akuntabel, in line dengan sistem dan masyarakat yang demokratis, kemudian lebih berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat, bukan paradigma keamanan yang represif,” katanya dalam diskusi Ruang Publik KBR, Selasa, 16 September 2025.

Dua puluh lima tahun sejak reformasi 1998, agenda perubahan di tubuh Polri masih menghadapi banyak hambatan. Gufron Mabruri mengingatkan, aspek kultural budaya kekerasan, penyalahgunaan wewenang, hingga perilaku koruptif menjadi pekerjaan rumah terbesar.

Dalam 17+8 Tuntutan Rakyat, reformasi institusi Polri juga masuk agenda mendesak yang disuarakan demonstran dari berbagai kalangan. Penyebabnya, brutalitas aparat dan kesewenang-wenangan yang ditampilkan terhadap masyarakat, semisal saat aksi demonstrasi belum lama ini.

Mengutip rilis pers KontraS saat Hari Bhayangkara tahun ini disebutkan, dalam Laporan Tahunan Komnas HAM RI menyebut, Polri konsisten menduduki peringkat paling atas sebagai institusi paling banyak diadukan terkait pelanggaran HAM, yakni 4.485 kasus.

Baca juga:

Polri
Reformasi Polri
GNB
RFP

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...