NASIONAL
Darurat Pendidikan: Siswa SMP Tidak Bisa Membaca, Pemerintah Bisa Apa?
"Dan sebagian mereka adalah murid-murid yang memang dalam masa pandemi COVID-19 itu tidak mendapatkan layanan pendidikan yang sebaik-baiknya,"

KBR, Jakarta- Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menanggapi temuan ratusan siswa SMP di Buleleng, Bali, yang tidak bisa membaca. Ia menyebut rendahnya motivasi siswa sebagai salah satu faktor utama.
"Mereka adalah yang berasal dari keluarga yang tidak baik-baik saja begitu. Kemudian memang mereka yang rendah motivasi," ujar Mu'ti kepada wartawan di Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Selain motivasi, Mu'ti menjelaskan latar belakang siswa yang beragam turut berkontribusi. Faktor-faktor seperti disleksia, kebutuhan khusus, dan kondisi keluarga yang kurang baik juga menjadi penyebab.
"Dan sebagian mereka adalah murid-murid yang memang dalam masa pandemi COVID-19 itu tidak mendapatkan layanan pendidikan yang sebaik-baiknya," jelasnya.
Mendikdasmen Abdul Mu'ti mengungkapkan telah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan setempat dan mengupayakan langkah-langkah perbaikan. Sekitar 400 siswa SMP diidentifikasi memiliki kemampuan membaca yang rendah.
“Mereka yang memiliki kemampuan yang rendah itu mendapatkan layanan pendidikan khusus. Jadi mereka diberikan semacam remedial atau layanan pendidikan tambahan agar mereka dapat membaca,” ungkapnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, I Made Sedana mengungkapkan data dari Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Buleleng yang menunjukkan adanya sekitar 400 siswa SMP kesulitan membaca. Sedana menduga kebijakan naik kelas otomatis tanpa mengukur kompetensi dasar siswa menjadi salah satu penyebab utama persoalan ini.
Darurat pendidikan
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai pemahaman literasi dan numerasi siswa di Indonesia yang merosot harus menjadi peringatan darurat bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri mengatakan, data dan analisis yang mengindikasikan situasi darurat dalam hasil skor Program Penilaian Pelajar (PISA). PISA merupakan penilaian tingkat internasional yang diselenggarakan oleh OECD untuk mengevaluasi sistem pendidikan di dunia dengan mengukur performa akademik pelajar sekolah berusia 15 tahun pada bidang matematika, sains, dan literasi membaca.
"Secara akumulatif, sejak tahun 2000-an, jadi literasi, matematika dan sains anak kita terus menurun dari penyelenggaraan PISA sejak 2000-an hingga yang terakhir 2022. Itu memang sempat naik sedikit di eranya SBY, tapi semakin ke sini, 2018, 2022 dites lagi hasilnya turun drastis,” ucap Iman kepada KBR, Selasa, (22/4/2025).
Iman menambahkan, penurunan ini merupakan akumulasi masalah yang belum mendapatkan intervensi signifikan. Ia mencontohkan temuan ratusan siswa SMP tidak bisa membaca di Buleleng, Bali sebagai potret buram kondisi nasional.
"Apa yang terjadi di Buleleng saya kira itu sebuah potret ya, kalau dilakukan secara nasional mungkin hasilnya akan lebih banyak lagi. Tapi kami memang menduga ini pastinya akan terjadi di beberapa tempat, karena berita bahwa anak SMP, anak SMA tidak bisa membaca itu sekarang sangat umum," jelasnya.
Efisiensi anggaran
Iman menilai, penyebab merosotnya kemampuan pemahaman siswa itu karena inkonsistensi dalam penanganan masalah, termasuk adanya pemangkasan anggaran untuk literasi dengan alasan efisiensi.
"Dalam rapat antara Kemendikdasmen dengan Komisi X, kami melihat salah satu dampak efisiensi itu dana literasi. Padahal itu masalah fundamental kita. Jadi sangat gawat sebetulnya masalah literasi kita ini,” ucapnya.
Lebih lanjut, Iman juga menyinggung polemik penghapusan kewajiban baca, tulis, hitung (calistung) sebagai syarat masuk SD. Meskipun mengakui adanya potensi pengaruh kebijakan tersebut, ia menekankan bahwa sekolah dasar seharusnya menjadi tempat utama bagi anak untuk belajar kemampuan dasar tersebut.
P2G mengkritisi struktur kurikulum yang dinilai kurang mendukung guru untuk menahan siswa yang belum kompeten di kelas bawah.
"Dengan struktur kurikulum yang ada ini tidak memungkinkan guru untuk tidak menaikkan gitu. Nah ini yang menjadi persoalan di tingkat sekolah dasar," ujarnya.

P2G mendesak pemerintah untuk memprioritaskan perbaikan fundamental seperti literasi dan numerasi, sebelum fokus pada program-program yang lebih lanjut seperti coding dan AI.
"Bagaimana mungkin kita bisa memahami dan meningkatkan skill AI dan coding atau memahami AI dan juga kemampuan coding, kalau matematika dan literasinya rendah? Karena matematika itu kan dasar dari teknologi. Apalagi teknologi digital itu kan ada teknik dan matematika. Bagaimana mungkin kita punya jaminan anak-anak kita akan siap menghadapi era digital?" kata Iman.
Iman mencontohkan kebijakan Swedia yang melarang penggunaan gawai dan kembali ke tulisan tangan serta buku cetak sebagai langkah antisipatif.
"Seperti kejadian di Buleleng, mereka bisa pakai gadget, tapi mereka tidak bisa baca. Ini kan paradoks. Karena semestinya mereka bisa baca tulis dulu, tapi ini kebalik. Berarti mereka sudah main gadget sebelum bisa baca tulis dan menurut saya ini akan menjadi problem serius," imbuhnya.
Iman juga menyoroti tantangan guru dalam meningkatkan literasi siswa, termasuk minimnya dukungan pendidikan keluarga dan lingkungan masyarakat.

Iman menjelaskan pendidikan anak dipengaruhi oleh tiga pusat pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yakni sekolah, keluarga, dan masyarakat.
"Di mana sih mereka mendapatkan pendidikan? pertama sekolah, yang kedua di lingkungan keluarga orang tua di rumah, dan yang ketiga lingkungan masyarakat. Tapi hari ini kita menghadapi empat dunia, ada tambahan dunia digital," ucapnya.
Beban administrasi guru
Iman mengungkapkan tantangan yang dihadapi guru dalam mengajarkan para siswa. Menurutnya, model pembelajaran yang tidak menyesuaikan tuntutan zaman, sehingga siswa dibebani tugas yang menumpuk. Selain itu, para guru juga menghadapi beban administrasi.
“Survei kami di P2G di era pak Nadiem 2024, 200 guru menyatakan beban administrasi mereka itu sampai mengganggu pembelajaran mereka di kelas. Ada lagi survei di Jawa Barat oleh seorang psikolog, guru-guru itu menggunakan 70 aplikasi dalam setiap mengajar, meskipun sekarang menuju perbaikan saya lihat ada efisiensi,” jelas Iman.
Iman juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap minimnya peran pendidikan keluarga di Indonesia.
"Jujur saja bahwa pendidikan keluarga di Indonesia itu sangat minim dan dianggap tidak begitu penting seolah-olah punya power yang bersifat memaksa yang bersifat darurat untuk menyelamatkan anak-anak kita supaya tidak mengalami buta aksara ini yang harusnya menjadi fokus pemerintah," tegasnya.
“Kita menghadapi dunia industri, apalagi orang yang tua pekerja pulang sore hari, sampai rumah sudah lelah. Bagaimana mereka sampai rumah mengajarkan anak sekolah?” ucapnya.
Baca juga:
Iman mempertanyakan prioritas pemerintah yang dinilainya kurang tepat sasaran.
"Dibandingkan makan bergizi gratis, dibandingkan sekolah rakyat Untuk apa sekolah kalau tidak belajar untuk apa makan kalau mereka tidak membaca gitu?"
Lebih lanjut, Iman menekankan perlunya kesadaran reflektif dari seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, orang tua, dan guru, untuk mengatasi masalah literasi ini.
"Jadi itu yang menurut kami diperlukan kesadaran reflektif dari pemerintah dan juga semuanya ada masyarakat orang tua dan juga guru itu sendiri jadi ini adalah gerakan yang menurut kami sifatnya darurat dan tidak bisa ditunda-tunda gitu kalau pemerintah punya komitmen Mari kita selesaikan bersama-sama," pungkasnya.
Kemunduran sistemik
Pengamat pendidikan, Doni Koesoema melihat kasus ratusan siswa tidak bisa membaca di Buleleng sebagai representasi kemunduran sistemik dalam kemampuan literasi, membaca, menulis, dan berhitung siswa secara umum di Indonesia.
"Skor literasi di PISA kita memang sangat terpuruk ya, karena skor kita mundur ya 20 tahun ke belakang, skor kita 269 ya. Skor kita pernah 271, itu 20 tahun lalu. Jadi selama 20 tahun kita tidak meningkat,” ucapnya kepada KBR, Selasa, (22/4/2025).
Doni mendorong adanya evaluasi total untuk memastikan anak Sekolah Dasar sudah lancar membaca. Dia menegaskan, kondisi saat ini bukan semata-mata kesalahan siswa.
“Ini bukan semata-mata, tapi ada kesalahan di dalam sistem pengembangan profesi gurunya, sistem kurikulum kita, sehingga sampai SMP tidak terlacak bahwa anak ini tidak bisa membaca. Oleh karena itu harus ada evaluasi total," tegas Doni.
Doni menegaskan, pemerintah daerah, khususnya bupati dan wali kota bertanggung jawab atas kondisi ini dan harus mengevaluasi sistem pendidikan di daerahnya.
"Kalau dalam UU Otonomi Daerah, SD dan SMP itu kan tanggung jawab kabupaten/kota jadi itu pemerintah daerah. Maka kalau di suatu daerah itu siswa SD yang tidak bisa membaca itu pasti salah bupati dan wali kotanya. Bukan salah guru, bukan salah siswa, bukan salah orang tuanya, tapi salah Bupati dan walikotanya. Salah mereka di dalam mengevaluasi sistem pendidikan di daerahnya dan mengontrol kualitas pelayanan pendidikan dasar di daerahnya," jelas Doni.
Baca juga:
- Respons Aksi Indonesia Gelap, Istana Tegaskan Efisiensi Tidak Ganggu Pendidikan
- Mendikdasmen: Akses Pendidikan Meningkat, Kualitas Membaik
Terkait rencana Dinas Pendidikan Buleleng memberikan tambahan pembelajaran bagi siswa yang bermasalah, Doni mempertanyakan efektivitas solusi tersebut jika akar masalah tidak ditangani.
"Tambahan kelas itu hanya akan efektif berdasarlan evaluasi dari sekolah. Kalau saya lihat kan kurangnya motivasi yang bisa memotivasi itu bapak ibu guru, tidak bisa menyalahkan siswa. Lalu pembelajaran tidak tuntas yang tidak menuntaskan itu bapak ibu guru, tetapi yang harus mendapat perhatian itu adalah ketika ada anak penyandang kebutuhan khusus, maka harus ada intervensi khusus," jelasnya.
Doni menekankan pentingnya membangun kesadaran bersama akan isu ini, mengingat dampaknya terhadap masa depan bangsa.
"Kemampuan membaca dan menulis dasar adalah cara untuk kita belajar untuk kita lebih lanjut. Kalau ini saja tidak terpenuhi, maka anak ini akan menjadi beban bagi negara karena dia menganggur, tetapi tidak bisa menyerap informasi, memanfaatkan informasi bagi diri dan ini jelas akan mempengaruhi kondisi geografi mereka juga, pengangguran orang yang merepotkan karena apa-apa kualitas sumber daya manusia," ucap Doni.
Doni mendesak pemerintah daerah dan orang tua untuk memberikan dukungan penuh kepada guru dalam mengatasi masalah ini.
"Jadi ini harus dibuat dan memang harus pemerintah daerah dan orang tua," pungkasnya.
Pemerintah Kabupaten Buleleng tengah melakukan langkah-langkah intensif untuk menangani krisis literasi dan numerasi di jenjang pendidikan menengah pertama.
Program intervensi
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng, sebanyak 363 siswa SMP dari 60 sekolah tercatat mengalami kesulitan dalam membaca dan menghitung. Dari jumlah tersebut, 155 siswa dikategorikan sebagai Tidak Bisa Membaca (TBM), sementara 200 siswa lainnya masuk dalam kategori Tidak Lancar Membaca (TLM).
Menanggapi kondisi tersebut, Bupati Buleleng Nyoman Sutjidra menyiapkan serangkaian program intervensi. Salah satunya adalah rencana pembangunan sistem pendidikan jarak jauh di setiap kecamatan untuk menjangkau siswa yang menghadapi kesulitan dalam belajar, terutama dalam aspek membaca. Selain itu, pendataan lanjutan akan dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kesulitan tersebut, apakah berkaitan dengan ketidakmampuan, kurangnya pengetahuan, atau minimnya motivasi.
Pemkab Buleleng juga melihat potensi tingginya angka putus sekolah dari kelompok siswa yang tidak menguasai kemampuan dasar tersebut. Untuk itu, pemerintah daerah akan mengarahkan mereka ke program penyetaraan. Siswa yang terkendala secara ekonomi akan mendapatkan beasiswa, sementara mereka yang tidak memahami pentingnya pendidikan akan menjadi target sosialisasi lebih lanjut.
Upaya lain yang sedang dirancang adalah penambahan jam belajar bagi siswa yang kesulitan membaca dan menghitung. Pemerintah juga berencana membentuk relawan pendidikan yang akan fokus memberikan intervensi khusus, termasuk bagi siswa dengan hambatan disleksia. Rencana ini melibatkan kolaborasi dengan perguruan tinggi di wilayah tersebut guna memastikan pendekatan yang berbasis data dan keilmuan.
Tak hanya di Buleleng
Fenomena ratusan siswa SMP di Buleleng yang belum lancar membaca bukanlah kasus tunggal di Indonesia. Sebanyak 29 siswa SMP Negeri 1 Mangunjaya, Pangandaran, Jawa Barat, teridentifikasi belum mampu membaca pada tahun 2023. Guru sekaligus Koordinator Gerakan Literasi Sekolah (GLS) SMPN 1 Mangunjaya, Dian Eka Purnamasari mengatakan siswa tersebut terdiri dari 11 siswa kelas VII, 16 siswa kelas VIII, dan 2 siswa kelas IX.
Dian menduga kesulitan membaca ini disebabkan oleh terganggunya proses belajar-mengajar saat pandemi Covid-19 di tingkat SD. Bahkan, seorang siswa memutuskan keluar sekolah karena merasa minder, meski sekolah berupaya menahan siswa tersebut dan menawarkan latihan membaca.
Viralnya Video Siswa Tak Bisa Hitung
Masalah ini juga menjadi perhatian warganet di media sosial. Beberapa video menunjukkan siswa sekolah menengah pertama dan menengah atas tak mampu menjawab soal matematika dasar.
Salah satu video yang diunggah oleh akun @julaehaju memperlihatkan sejumlah siswa kelas 12 SMA yang kebingungan saat diminta menghitung soal pembagian dua dan satu digit.
Kualitas pendidikan tidak merata
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai ketidakmampuan siswa dalam menguasai kemampuan dasar itu merupakan bukti adanya jurang kualitas pendidikan yang signifikan antar wilayah. Sementara siswa di daerah perkotaan memiliki akses lebih besar ke sumber belajar dan bimbingan tambahan, termasuk lembaga kursus, siswa di daerah lain, terutama dengan kondisi sosio-ekonomi yang terbatas, seringkali tertinggal.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji, menegaskan masalah literasi yang merajalela di berbagai daerah ini diperparah oleh lemahnya data pemetaan kemampuan siswa yang akurat dan komprehensif.
"Kita tidak punya data itu. Sehingga terkesan masalah ini dibiarkan, tidak ada intervensi strategis, dan tidak menjadi program prioritas," ucapnya kepada KBR, Kamis, (25/4/2025).
Ketimpangan ini memiliki akar penyebab yang kompleks. Ubaid menyoroti kurangnya perhatian dan intervensi strategis dari pemerintah dalam mengatasi masalah mendasar ini.
Ketimbang fokus pada penguatan fondasi literasi dan numerasi, pemerintah dinilai lebih sibuk dengan program-program tambahan dan perubahan kurikulum yang tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas guru secara merata.
"Jangan sibuk ganti kurikulum. Kalau guru-gurunya tidak kompeten, tidak ada perubahan apa-apa," tegasnya.
Akibatnya, menurut dia siswa di daerah dengan kualitas guru dan fasilitas pendidikan yang kurang memadai berpotensi terus tertinggal.
Dampak dari ketidakmerataan kualitas pendidikan ini juga dinilai sangat mengkhawatirkan, terutama dalam menghadapi bonus demografi dan persaingan global. Ubaid memperingatkan rendahnya kemampuan literasi dan numerasi akan menghasilkan sumber daya manusia yang kurang berkualitas, yang pada akhirnya akan menghambat kemajuan bangsa.
"Jika kualitasnya buruk, negara ini akan dikelola oleh pemimpin-pemimpin yang kualitasnya buruk. Di era serba digital dan kompetisi global, kemampuan membaca kita bahkan paling rendah di Asia Tenggara," imbuhnya.
Ketidakmampuan menguasai literasi dan numerasi akan menjadi hambatan besar bagi generasi muda untuk bersaing dan berkontribusi secara optimal di era digital dan global.
Oleh karena itu, JPPI mendesak pemerintah untuk memprioritaskan pemerataan kualitas pendidikan, terutama dengan fokus pada peningkatan kompetensi guru di seluruh pelosok negeri, sebelum mengejar program-program yang lebih ambisius.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!