NASIONAL
BPJS Kesehatan Berpotensi Defisit, Apa solusinya?
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengusulkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Ia menegaskan dalam lima tahun terakhir, tarif iuran belum pernah naik.

KBR, Jakarta- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan menghadapi ancaman defisit dan gagal bayar. Pada tahun 2023, BPJS Kesehatan mencatatkan pemasukan iuran sebesar Rp150 triliun, namun kewajiban pembayaran klaim kesehatan ke rumah sakit dan klinik mencapai lebih dari Rp158 triliun.
Selisih negatif ini terus berlanjut hingga tahun 2024, pendapatan iuran dari Dana Jaminan Sosial Kesehatan adalah sebesar Rp165 triliun. Padahal, beban jaminan kesehatan mencapai Rp175 triliun. Artinya, terdapat defisit Rp9,5 triliun pada tahun lalu.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, meski mengalami defisit beruntun, dia mengklaim BPJS Kesehatan masih dalam kondisi sehat.
“Tahun 2023, mulai klaim itu 104 (persen) jadi melebihi dana yang kita terima nah 2024 itu 105,78 persen jadi melebihi sedikit. Apa masih sehat sekarang? Sehat, kenapa? Karena akumulasi dulu waktu penerimaan itu melebihi,” ucapnya saat rapat kerja dengan Komisi Kesehatan DPR RI, Selasa (11/2/2025) di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Baca juga:
- Penerapan KRIS: Ancaman Kenaikan Iuran dan Defisit BPJS Kesehatan 2025
- Menilik Dampak Penerapan BPJS Tanpa Kelas
Meski dinilai sehat, namun Ghufron mengakui perlu ada intervensi pemerintah untuk menjaga stabilitas keuangan BPJS Kesehatan.
Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Abdul Kadir mengungkap pemicu lonjakan klaim ini terjadi akibat efek rebound pasca-pandemi.
“Kita semua memahami bahwa pasca Covid-19 out terjaid rebound effect di mana utilisasi rumah sakit, utilisasi klinik itu makin meningkat dan tentunya juga ini disebabkan karena adanya perubahan pola tarif JKN sebagaimana Permenkes Nomor 3 Tahun 2023 dan juga dampak biaya tindak lanjut yang selama ini memang BPJS Kesehatan sudah melakukan skrining 14 penyakit sebagai implementasi Peraturan BPJS Nomor 3 Tahun 2024,” ujarnya saat rapat kerja bersama Komisi Kesehatan DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/2/2025)
Abdul Kadir menambahkan, tingkat keaktifan peserta yang rendah juga menjadi faktor penyebab. Per 31 Desember 2024, sebanyak 55 juta peserta tidak aktif membayar iuran. Hal ini diperparah dengan masih lemahnya upaya pencegahan fraud atau kecurangan dalam sistem JKN.
Kenaikan iuran
Untuk menanggulangi defisit, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengusulkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Ia menegaskan dalam lima tahun terakhir, tarif iuran belum pernah naik, sehingga butuh penyesuaian tarif.
“Kita harus adil. Jangan sampai masyarakat miskin ikut terbebani. Oleh karena itu, mereka tetap akan ditanggung 100 persen oleh pemerintah melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI),” kata Budi dalam rapat kerja dengan Komisi Kesehatan DPR, Selasa (11/2/2025).
Menkes Budi Gunadi juga menyoroti pentingnya verifikasi penerima PBI agar tidak terjadi penyalahgunaan. Dia meminta kasus pengusaha di bidang batubara, Harvey Moeis yang masuk daftar PBI tidak terulang lagi.
Pendapat berbeda disampaikan sebagian kalangan parlemen. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan justru dinilai akan berdampak pada makin maraknya peserta BPJS yang menunggak, bahkan gagal bayar. Berikut Anggota Komisi Kesehatan, Irma Suryani.
"Dengan adanya KRIS, pasti iurannya naik. Bagaimana pak menteri mempertanggungjawabkan ketidakmampuan publik melakukan pembayaran ketika iuran ini naik? Iuran saat ini saja banyak yang menunggak dan tidak bisa bayar, kalau dinaikkan saya yakin kas BPJS aja jebol, kalau jebol pasti nanti defisitnya akan semakin besar lagi terus dari mana anggarannya, Menteri Kesehatan harus mempertanggungjawabkan ini," ujar Irma dalam Rapat Kerja dengan Kemenkes, Selasa (11/2/2025).
Politikus Nasdem Irma Suryani juga menyoroti praktik rumah sakit yang 'berjualan' obat dan alat kesehatan sebagai salah satu penyebab jebolnya kas BPJS.
Di lain pihak, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menegaskan defisit BPJS Kesehatan seharusnya tidak boleh terus berulang. Ia merekomendasikan kenaikan iuran bagi pekerja penerima upah (PPU) seperti pegawai swasta, ASN, TNI, dan Polri, dengan penyesuaian berdasarkan gaji bulanan.
Untuk peserta PBI yang dibiayai pemerintah, ia mengusulkan kenaikan tarif iuran dari Rp42 ribu menjadi Rp65 ribu per bulan.
“Kalau sekarang kan sekitar Rp46 triliun kalau ditambahkan Rp26 triliun maka pendapatan dari PBI tambah Rp26,7 tirliun sehingga menjadi Rp46 triliun ditambah Rp26 triliun jadi sekitar Rp72 triliun nah ini yang harus didorong karena pembayaran iuran itu dari APBN yang memang itu bentuk tanggung jawab negara terhadap keberlanjutan program JKN,” ucapnya kepada KBR, Selasa (11/2/2025).
Selain itu, Timboel menyarankan adanya pengampunan atau restrukturisasi tunggakan bagi peserta mandiri (PBPU) yang sering menunggak karena pendapatan mereka tidak menentu, agar tetap terdaftar dan mendapat manfaat JKN.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!