NASIONAL

Belum Ada Aturan untuk Melindungi Perempuan Pembela HAM

Perempuan pembela HAM biasanya mengupayakan perlindungan secara mandiri maupun organisasi.

AUTHOR / Heru Haetami, Sindu

EDITOR / Sindu

Belum Ada Aturan untuk Melindungi Perempuan Pembela HAM
Ilustrasi: Aliansi Perempuan Indonesia menggelar aksi damai Perempuan Menggugat Negara di Jakarta, Senin, (25/11/2024). (Foto: ANTARA/Idlan Dziqri M)

KBR, Jakarta- Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut hingga saat ini belum ada aturan khusus untuk melindungi perempuan pembela HAM.

Padahal, menurut Anggota Komnas Perempuan Theresia Iswarini, aturan khusus itu diperlukan untuk perlindungan, sebab perempuan yang bekerja di isu HAM memiliki risiko.

"Sampai sekarang, khusus untuk perempuan pembela HAM belum ada. Seringkali perempuan yang bekerja dalam isu HAM itu seperti dianggap bagian dari risiko. Padahal dia seharusnya dilindungi," katanya di acara diskusi "Perempuan Pembela HAM: Meneguhkan Solidaritas dan Gerakan Perempuan di ASEAN", di Jakarta, Kamis, 28 November 2024, seperti dikutip KBR dari Kantor Berita ANTARA.

Kata dia, perempuan pembela HAM biasanya mengupayakan perlindungan secara mandiri maupun organisasi, karena belum ada regulasi khusus yang melindungi keberadaan perempuan pembela HAM.

"Kami berharap ke depan makin memperkuat perempuan pembela HAM, mengingat di Indonesia sendiri kebijakan untuk perlindungan perempuan pembela HAM masih belum kuat," ujar Theresia.

"Misalnya ada kegiatan seperti ini, kita cek apakah akan ada serangan kepada kelompok perempuan pembela HAM, serangannya seperti apa? Lalu apa yang kita bisa lakukan bersama. Biasanya ini terjadi pada pendamping kasus kekerasan terhadap perempuan," imbuhnya.

Perempuan Pembela HAM Rentan Kriminalisasi

Sebelumnya, aktivis perempuan pembela HAM Meila Nurul Fajriah mengungkap, nasib para pembela HAM dihantui sejumlah undang-undang yang dibuat pemerintah, terutama di era Presiden Joko Widodo. Salah satunya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Menurut Meila, beberapa UU ini mempermudah siapapun termasuk pemerintah melakukan kriminalisasi pada para aktivis termasuk pembela HAM.

“Yang itu paling banyak menggunakan pasal ITE. Tapi, ternyata tidak cuman UU ITE doang yang gunakan menyerang balik teman-teman aktivis pembela HAM. Itu kayak tiba-tiba random, intinya niatnya balas dendam, menyerang, masuk penjara dan kasus ini enggak di-up lagi ke publik. Itu banyak sekali,” ujar Meila dalam diskusi Ruang Publik KBR, Jumat, (16/8/2024).

"Misalnya tadi teman-teman pembela ham lingkungan pakai pasal apa pun. Mau UU Minerba Pasal 62 atau misalnya di Batur, di Bali ada masyarakat Batur yang dia itu dikriminalisasi menggunakan UU soal hutan kalau tidak salah konservasi lingkungan," imbuhnya.

Meila Nurul Fajriah menyayangkan, hingga kini belum ada regulasi yang tegas untuk melindungi perempuan pembela HAM.

“Belum ada kepastian hukumnya untuk teman-teman pembela HAM. Konteks pembela HAM-nya itu masih sangat universal sekali. Belum diadopsi secara khusus lewat kebijakannya. Yang kita gunakan selama ini mau tidak mau adalah standar yang dimiliki Komnas HAM dan Komnas Perempuan,” katanya.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!