indeks
Ancaman Ekosida di Pulau Sipora Mentawai

"Bencana berdampak sistemik dan jangka panjang. Ini yang kami maksud kekhawatiran terjadinya ekosida. Nah, jika ini dibiarkan, dia akan berdampak jangka panjang, menghancurkan pranata kehidupan."

Penulis: Wahyu Setiawan

Editor: Malika, Ninik Yuniati

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Ancaman Ekosida di Pulau Sipora Mentawai
Hutan di Pulau Sipora terancam usai PT SPS memperoleh izin komitmen pemanfaatan hutan dari pemerintah. (Foto dan grafis: KBR)

KBR, Jakarta - Rumah Martalina tampak sederhana. Berdinding kayu, berlantai plesteran semen.

Deretan foto keluarga terpampang rapi di dinding ruang tengah.

Suara dari TV tabung memenuhi ruangan dengan gambar yang kadang muncul, kadang hilang.

Rumah-rumah warga di desanya bentuknya hampir serupa.

Rumput dan pepohonan tumbuh mengelilingi, menciptakan ketenangan.

Namun, penghuni desa ini hidupnya tak lagi tenang.

“Ada lagi info yang masuk. PT apa namanya itu? Terkejut, mamak, kan. Siapa lagi ini yang masuk? Tahu-tahunya, ada lagi (perusahaan) yang baru,” Martalina mengawali cerita.

Martalina Taikatubun, warga Desa Saureinu, Sipora, Kepulauan Mentawai. (KBR/Wahyu)

Saat saya berkunjung, dia baru pulang dari rumah salah satu kerabat.

“Kami persiapan anak adik menikah. Kami di situ berkumpul. Tahu-tahu datang si Nulker dengan Pak Rimata (kepala adat) di rumah, mereka kasih tahu informasinya (ada perusahaan mau masuk, red),” kata Martalina.

Martalina Taikatubun merupakan warga Desa Saureinu, bagian dari masyarakat adat Suku Mentawai di Pulau Sipora, Sumatera Barat.

Kepada saya, Martalina mengungkapkan kekhawatirannya jika PT Sumber Permata Sipora (SPS) mendapat izin operasi.

“Kalau (perusahaan) dibolehkan, ludes ini nanti terbenam, Mentawai habis, kan, digundul jadinya. Itunya yang ditakutkan,” kata Martalina.

Sebagian konsesi perusahaan berada di desanya. Sepanjang ingatannya, bukan sekali dua kali masyarakat adat di Kepulauan Mentawai berkonflik dengan konsesi hutan dan perkebunan.

red
Grafis: KBR/Raihan
advertisement

Laporan Yayasan Citra Mandiri di buku berjudul yang terus di garis lurus”, menceritakan bagaimana masyarakat adat Mentawai berulang kali menolak perusahaan yang ingin mengeksploitasi hutan mereka.

Kurun 1996-2012, belasan kali masyarakat adat Mentawai melawan 7 rencana penguasaan hutan oleh perusahaan.

Perusahaan yang pernah beroperasi di sana, meninggalkan jejak hitam, merusak lingkungan dan budaya asli Mentawai. 

“Dulu, kan, mamak juga sudah mempertahankan wilayah kami ini, supaya menggugat, jangan bisa masuk perusahaan,” ungkapnya.

Mendiang ayahnya, salah satu pemilik tanah ulayat di desa itu.

“Artinya maaf kata, yang punya perkampungan ini, bapak kami lah keturunan. Dulu pernah, mereka tawarkan supaya masuk transmigrasi di belakang ini, bapak pertahankan, enggak mau bapak,” kata dia.

Jaga selalu hutan dan tanah adat, begitu pesan yang dia ingat.

Seperti ayahnya, Martalina juga lantang menolak perusahaan yang ingin menebangi hutan.

Rumah Martalina Taikatubun di Desa Saureinu, Sipora, Kepulauan Mentawai. (KBR/Wahyu)

Dari tempat tinggal Martalina, saya masih bisa melihat rimbun tegakan pohon.

Hutan berjarak kurang dari 30 menit berjalan kaki.

Kehidupan warga sangat bergantung pada hutan itu.

“Kalau tidak ada lagi lahan, misalnya besok-besok, ke mana lagi cucu-cucu mamak pergi mencari kayu untuk rumahnya?,” tutur Martalina bimbang.

Dari hutan pula, mereka mengambil aneka tumbuhan untuk meramu obat-obatan, membuat sampan, hingga bercocok tanam.

“Ikatan itu dari hati kami, sama ladang itu, lahan itu, pohon-pohon itu, hutan itu,” ujar Martalina.

Sebagian warga mengandalkan sampan, menyusuri sungai agar lebih cepat sampai ke ladang. Sebab kontur tanah yang terjal dan lebatnya pepohonan, membuat akses menuju ladang tak mudah.

Sehari-hari, Martalina bersama suaminya, Ham Sababalat, pergi ke ladang di belakang rumah.

“Jam 8. Kadang-kadang di situ masak. Ada tempat masak itu. Kami bawa periuk, bawa air, air bersih. Bawa termos di situ,” ungkapnya.

Perempuan 62 tahun ini menghabiskan waktu sepanjang hari di ladang, merawat cengkih dan beberapa tanaman lain untuk keperluan sehari-hari.

“Ada tanam getik sedikit. Keladi. Cabai. Ada ayam di ladang, sedikit, enggak banyak. Tiap hari, kan, (ayam) dikasih makanan,” cerita dia.

Masyarakat di Sipora menggunakan sampan sebagai moda transportasi. (KBR/Wahyu)

Lokasi ladang Martalina berjarak sekitar 2 kilometer dari area konsesi PT SPS.

Proses Janggal

PT SPS diketahui telah mengincar hutan di Pulau Sipora sejak 2016, lewat pengajuan permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA).

Pada 2022, PT SPS mengajukan permohonan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).

red
Sumber: Peta Persetujuan Komitmen PBPH PT SPS. (Grafis: KBR/Raihan)
advertisement

Setahun kemudian, pada Maret 2023, surat persetujuan komitmen dikeluarkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang saat itu dijabat Bahlil Lahadalia. Surat persetujuan diteken Bahlil atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Proses ini ditengarai mengacu ke Peraturan Menteri LHK Nomor P.6/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2020 tentang Pelimpahan Kewenangan Penerbitan Perizinan Berusaha Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Kepala BKPM.

Direktur Walhi Sumatera Barat, Wengki Purwanto menilai aturan itu aneh, karena Menteri LHK melimpahkan izin kehutanan ke lembaga lain.

Permukiman masyarakat di Pulau Sipora. (KBR/Wahyu)

Tak cuma itu, berdasarkan penelusuran dokumen yang dilakukan Walhi dan sejumlah LSM, setahun sebelum persetujuan itu keluar, Pulau Sipora ditetapkan dalam kategori pulau kecil dan rentan.

Sehingga pemanfaatannya hanya untuk konservasi, pendidikan, dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan.

Baca juga: Hutan Indonesia Penyumbang Gas Emisi Ketiga di Dunia

Penetapan merupakan hasil rapat yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di sebuah hotel di Jakarta Pusat, 12 Juli 2022.

Rapat dipimpin Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan KLHK Istanto, diikuti pejabat di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Dinas Kehutanan Sumatra Barat.

Hasil rapat adalah:

”bahwa Pulau Sipora adalah pulau kecil yang sangat rentan terhadap gangguan/perubahan ekosistem, maka untuk Pulau Sipora agar tidak diberikan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dengan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu karena bersifat eksploitatif, namun dapat diberikan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan untuk kegiatan yang tidak eksploitatif antara lain pemanfaatan jasa lingkungan”.

Seminggu kemudian, Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan KLHK Istanto mengirimkan surat ke KKP meminta pertimbangan izin usaha hutan di Sipora.

KKP merespons dengan surat balasan yang membolehkan pemanfaatan kawasan hutan di Pulau Sipora untuk hasil hutan kayu, asalkan dilaksanakan secara selektif.

“Jadi untuk mengakali kebijakan yang sudah menjaga pulau, mereka akali dengan saling berbalas pantun, berbalas surat,” kata Direktur Walhi Sumatera Barat, Wengki Purwanto

red
Grafis: KBR/Raihan
advertisement

Mendapat lampu hijau, PT SPS mengajukan permohonan PBPH untuk usaha kayu hutan alam dan jasa lingkungan wisata alam, yang kemudian disetujui Kepala BPKM Bahlil Lahadalia atas nama Menteri LHK pada 2023. 

Rangkaian proses ini mencurigakan.

“Kan di rapat sebelumnya, itu tegas, enggak bisa (usaha pemanfaatan hutan). Karena mereka memperhatikan regulasi dan kebijakan soal pulau-pulau kecil. Kemudian dia kembali membuka ruang: oh ini boleh. Jadi seakan-akan nanti balasan surat dari KKP itu menganulir rapat sebelumnya. Jadi ini sebenarnya modus operandinya begitu,” tukas Wengki.

PT SPS kini tengah mengurus izin beroperasi dengan syarat menyusun analisis dampak lingkungan (Amdal) dan membayar iuran. Areal hutan produksi yang bisa digarap seluas 20.706 hektare, hampir sepertiga luas Pulau Sipora yang mencapai 61.518 hektare.

Bukti Kerusakan

Walhi memprotes proses perizinan PT SPS, karena dinilai tak wajar. Di samping itu, dari sisi dampak, aktivitas perusahaan berpotensi merusak lingkungan di Pulau Sipora.

“Pulau Sipora itu hujan sedikit, sudah banjir. Artinya daya dukung dan daya tampung lingkungan di Pulau Sipora, sudah makin tidak baik, makin menurun,"

"Apalagi kalau dibebani izin eksploitasi kayu. Hutan sebagai penyeimbang dan penata air itu, kemudian dieksploitasi. Maka bisa dibayangkan, bencana di Pulau Sipora, akan berkali-kali lipat,” ungkap Wengki khawatir.

Wilayah konsesi perusahaan dilewati 17 daerah aliran sungai (DAS). Dari jumlah itu, sebanyak 6 DAS, lebih dari separuh arealnya berada di dalam kawasan konsesi. 

Karakteristik DAS di pulau kecil cenderung pendek, sehingga banjir berpotensi makin sering terjadi. Sembilan desa, termasuk Desa Saureinu, rentan terdampak bencana ini. 

Sepanjang 2025, Desa Saureinu setidaknya sudah dua kali terendam banjir.

Bukti-bukti kerusakannya sangat kentara. Karenanya, kehadiran PT SPS di Sipora terus ditolak warga dan koalisi masyarakat sipil, seperti Walhi, Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hingga Auriga Nusantara.

“Bencana berdampak sistemik dan jangka panjang. Ini yang kami maksud kekhawatiran terjadinya ekosida. Nah, jika ini dibiarkan, dia akan berdampak jangka panjang, menghancurkan pranata kehidupan di sana,” Wengki menekankan.

Tim BPBD, Basarnas, dan Forkopimda meninjau langsung lokasi terdampak banjir di Kecamatan Sipora Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, Selasa (10/6/2025). ANTARA/HO-BPBD Mentawai.

Pertemuan Bupati dengan Pemilik Perusahaan

Di tengah gelombang penolakan warga dan masyarakat sipil, Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana mengaku dihubungi Kantor Staf Kepresidenan (KSP), awal Juli 2025.

“Ditelepon saya, ditanya, ya beginilah kondisinya,” kata dia.

“Lalu kawan-kawan dari KSP datang. Saya bilang, 'datang lah ke Mentawai, biar lihat situasinya langsung. Tidak hanya mendengar dari sini, dari sini, dari sini',” ungkapnya.

Rinto juga mengklaim telah menyampaikan penolakan masyarakat saat bertemu Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, tak lama usai menjabat sebagai bupati.

“Saya katakan, 'itu izin-izin', bahkan saya katakan, 'izin-izin IPK (izin pemanfaatan kayu), termasuk ini ada SPS satu yang mau masuk ini, kalau bisa tidak diizinkan lagi, karena sudah ada penolakan dari masyarakat',” klaimnya.

Meski begitu, terang-terangan, Rinto bilang, masih ingin berdialog dengan perusahaan, mencari titik temu.

“Saya tidak mau hanya sekadar menolak. Tetapi saya harus melihat sisi baiknya. Kalau ada dampak, apa yang harus kita lakukan. Nah, di sanalah kita bertemu,” ujar Rinto.

Gayung bersambut, ucap Rinto, bercerita suatu hari dihubungi Haji Bakhrial, pemilik PT SPS via Whatsapp. Ia dikirimi unggahan video Tiktok tentang rencana Bakhrial membangun jalan di Sikakap, kecamatan di Pulau Pagai Utara, seberang Pulau Sipora. 

“Tiba-tiba pas lagi jalan ke Sikakap, Haji Bakhrial kirim Tiktok itu. Wih pas banget. Saya bilang ke dia, 'Pak Haji, terima kasih sudah merespons ini. Nanti saya mau ketemu Pak Haji juga untuk membicarakan soal membuka jalan yang saya sebut di sini'. 'Siap katanya',” ungkap Rinto.

Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana. (KBR/Wahyu)

Keduanya lantas bertemu di sebuah hotel di Jakarta.

Selama 30 menit, mereka membahas rencana operasional PT SPS di Sipora.

Rinto meminta Bakhrial membangun sawmill, sebagai syarat pemberian izin operasi PT SPS. 

“'Pak Haji, harapan Saya, ini permintaan Saya ini, supaya memuluskan langkah, Pak Haji di sana untuk SPS, buka sawmill,” kata Bupati Kepulauan Mentawai, Rinto Wardana.

Sawmill merupakan fasilitas pengolahan kayu menjadi produk setengah jadi.

Rinto yakin keberadaan sawmill akan menyerap banyak tenaga kerja di daerahnya, sekaligus meningkatkan roda perekonomian warga.

Namun, syarat itu ditolak Bakhrial, kata Rinto. 

Meski ketika dikonfirmasi KBR, Bakhrial menyatakan sebaliknya. Dia menyanggupi syarat yang diajukan Bupati, membangun sawmill.  

Gapura selamat datang di Desa Tuapeijat, Pulau Sipora, Mentawai. (KBR/Wahyu)

Siapa Haji Bakhrial?

Haji Bakhrial, nama yang tak asing bagi penduduk Mentawai.

Meski hanya sedikit orang yang pernah melihat wajahnya, saking jarangnya ia tampil di publik. 

Haji Bakhrial dikenal sebagai pengusaha kaya raya. 

Punya perusahaan tambang, kayu, hingga minyak dan gas.

Di Sipora, nama Bakhrial jadi sorotan. Sebab perusahaan miliknya, PT Sumber Permata Sipora (SPS), sedang mengantre untuk mendapatkan izin berkegiatan di hutan Pulau Sipora. Tinggal menunggu persetujuan Amdal.

Setidaknya ada tujuh kelompok masyarakat adat di Sipora yang menentang kehadiran PT SPS, karena berpotensi merusak hutan. Jika hutan hilang, maka hilanglah jati diri mereka. 

KBR mengontak Bakhrial, mengajukan permintaan wawancara. 

“Saya Haji Bakhrial. Saya siap untuk diwawancarai. Bapak tanya saja saya sekarang, Pak,” ucapnya mengawali perbincangan melalui telepon.

Dia membantah perusahaannya bakal membabat habis hutan di Sipora.

“Kalau pembabatan hutan itu berarti land clearing, menanam kebun itu, di situ tidak ada izin perkebunan. Kami itu tebang pilih. Tebang pilih dan melakukan jenis usaha yang lain: ada pariwisata, ada berbagai jenis usaha yang kami lakukan,” klaimnya.

Salah satu tebangan pohon di dalam Hutan Sipora. (KBR/Wahyu)

Gurita Bisnis

PT Sumber Permata Sipora (PT SPS) merupakan anak usaha Padang Mulia Group, yang juga milik Bakhrial.

Penerima manfaat akhirnya adalah Garibaldi Thohir, kakak dari Menteri BUMN Erick Thohir. Bakhrial mengklaim telah mengambil alih grup usaha itu dari Garibaldi sejak 2022.

“Oh enggak ada hubungan dengan Garibaldi. Memang dia pemilik awal dulu. Tetapi karena tambangnya yang enggak besar, kecil, saya dekati dia, saya takeover itu. Jadi memang ada Padang Mulia ini, Pak Garibaldi Thohir ini memang ada di Padang Mulia dulu, sebelum saya takeover. Sekarang sudah saya (yang punya), enggak ada lagi dia di dalam (perusahaan),” ujarnya.

Baca juga: Nestapa Petani Pulau Laut di Balik Pelopor B50

Padang Mulia Group punya usaha lain: sektor batubara (PT Padang Mulia), migas (PT Alamjaya Makmur Sejahtera). 

Di sektor kehutanan, Bakhrial punya usaha penebangan kayu di Pulau Pagai Selatan dan Pagai Utara, Kepulauan Mentawai. Perusahaannya yakni PT Minas Pagai Lumber, menguasai lahan seluas 78.000 hektare.

Sementara, di Pulau Sipora, Bakhrial hadir lewat PT Sumber Permata Sipora.

red
Sumber: AHU PT SPS. (Grafis: KBR/Raihan)
advertisement

Klaim-Klaim Bakhrial

Bakhrial tahu kehadiran PT SPS ditolak warga adat Suku Mentawai, tetapi ia tak ambil pusing. 

“Sekarang baru menyusun Amdal aja sudah ribut, itu, banjir lah,” ucap Haji Bakhrial, pemilik PT SPS.

“Kalau banjir, kan, sekarang SPS saja belum masuk, (sudah) banjir, itu unsur banjir kami enggak tahu dari mana. Jadi, sudah merembet ke saya. Itu makanya saya lucu juga,” selorohnya.

Dia mengklaim sudah memperhitungkan dampak lingkungan yang mungkin terjadi, termasuk ancaman banjir.

“Kami, kan, punya tim Amdal. Bagaimana soal lingkungan ekonominya, lingkungan sosialnya, lingkungan banjirnya, semua lingkungan ditinjau. Itu (Tim Amdal), bukan kami yang buat. Itu semua, kan, para dosen yang direkrut oleh akademik,” klaimnya.

Bakhrial yakin perusahaannya bakal beroperasi sesuai rencana. Ia mengklaim sudah mengantongi restu Bupati dan suara warga.

“Kalau masalah penolakan itu, kan, ada unsur-unsur di belakangnya, yang menamai LSM. Tetapi kalau masalah dukungan masyarakat, kami punya, dukungan Bupati kami punya. Sebenarnya untuk mengurus (izin) ke pusat, kami cuma perlu rekomendasi Gubernur secara teknis,” kata dia.

Ketika dikonfirmasi, Bupati Mentawai Rinto Wardana tak sepenuhnya membantah, karena ia mencari jalan tengah. 

“Kalau SPS tidak membangun sawmill, saya akan ada di garda terdepan untuk melakukan penolakan bersama dengan teman-teman. Tetapi kalau SPS membangun sawmill, saya juga akan ada di garda terdepan membela si Haji Bakhrial,” kata Rinto.

Namun, kata Rinto, Bakhrial tak mau menyediakan sawmill.

Itu berbeda dengan pengakuan Bakhrial.

“(Perusahaan) menyanggupi. Sudah saya bikin surat menyanggupi, sudah ada sama dia (Bupati, red),” jawab Bakhrial.

Toek, makanan khas masyarakat di Pulau Sipora. Toek diambil dari kayu yang direndam di sungai. (KBR/Wahyu)

Amdal Dikritik

Proses penyusunan Amdal PT SPS dikritik Walhi Sumatera Barat karena melanggar rencana tata ruang. 

“Dengan mempertimbangkan aspek dia (Pulau Sipora) itu sebagai pulau kecil, maka sebenarnya enggak bisa Amdal-nya dibahas,” ungkap Direktur Walhi Sumatera Barat, Wengki Purwanto.

Pada 22 Mei 2025, Dinas Lingkungan Hidup Sumatra Barat menggelar rapat komisi penilai amdal untuk mendengarkan masukan publik.

Kesempatan itu dimanfaatkan Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat untuk menyampaikan keberatan.

Menurut Koalisi, kehadiran PT SPS bakal mengancam ruang hidup lebih dari 24 ribu jiwa penduduk di Sipora.

Bukan cuma itu, hadirnya perusahaan juga berpotensi merusak sumber-sumber penghidupan masyarakat yang bergantung pada hutan dan daerah aliran sungai (DAS).

Dokumen amdal bahkan luput memasukkan kajian potensi bencana.

Padahal, Sipora rawan gempa, tsunami, banjir, dan longsor, dengan 29 kejadian bencana di 2024.

“Ketika ini tetap dilanjutkan, maka bisa dipastikan akan terjadi kerusakan lingkungan hidup dalam skala yang luas. Itu yang kemudian kita sebut dia akan menjelma menjadi praktik ekosida,” kata Direktur Walhi Sumatera Barat, Wengki Purwanto.

Koalisi menyebut sebanyak delapan desa rentan terdampak, termasuk Saureinu.

Desa-desa itu dilalui 17 daerah aliran sungai (DAS).

Jika pohon-pohon dalam hutan ditebang, air hujan akan mengalir deras ke permukiman.

Banyak kejanggalan lain ditemukan. Mulai dari ketidakcocokan klasifikasi bidang usaha yang tercantum dengan yang dimohonkan pada persetujuan lingkungan, wilayah studi yang tidak mencakup seluruh area terdampak, hingga temuan penggunaan data dari lokasi yang bukan obyek rencana usaha.

Afridianda Tasilipet, Ketua Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mentawai. (KBR/Wahyu)

Proses penyusunan Amdal juga dinilai buruk karena tidak melibatkan partisipasi bermakna masyarakat adat. 

Bahkan ditengarai penuh skandal, termasuk dugaan pemalsuan tanda tangan.

Berdasarkan penelusuran, sebagian warga merasa nama mereka dicatut sebagai pemilik hak ulayat yang menyetujui rencana usaha PT SPS.

“Banyak yang menyatakan kebersediaan mereka menyerahkan wilayah adat ke PT SPS. Tetapi dari kontur tulisannya, hampir sama semua. Yang kami lihat dari situ, dugaan pemalsuan,” ungkap Afridianda Tasilipet, Ketua Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mentawai.

Hal in dibantah Bakhrial. 

“Jadi pemilik lahan itu sendiri membikin dukungan ke kami. Tetapi kalau ada pemalsuan, silakan saja laporkan ke aparat penegak hukum,” kata Bakhrial.

Rencana masuknya PT SPS juga memengaruhi kerukunan hidup masyarakat di Sipora.

Suara warga terbelah. 

“Saya salah satu pendukung PT SPS masuk ke Sipora,” ucap Pegaol Samaloisa, warga Desa Mara.

Dia yakin kehadiran perusahaan bisa memberi manfaat bagi masyarakat.

“Dampaknya kepada masyarakat adalah peningkatan ekonomi. Salah satunya bangun jalan, antara desa ke kecamatan, antara desa ke hutan. Itu salah satu untuk memudahkan masyarakat berladang,” katanya.

Dia juga yakin kesejahteraan warga akan meningkat.

“Beasiswa, kemudian dana sosial, untuk pembangunan masjid, gereja, dan lain sebagainya. Itu perlu kami pahami dan setuju,” harap Pegaol.

Pegaol pun menolak usulan penetapan hutan adat Uma Sibagau di Desa Mara.

Tugu Patung Sikerei di Pulau Sipora. Sikerei adalah sebutan bagi tabib atau dukun di sana. (KBR/Wahyu)

Pada akhir Juli 2025, sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat adat dan pemilik tanah ulayat di Sipora, mengirim surat ke Kementerian Kehutanan. Isinya meminta pengajuan usulan hutan adat Uma Sibagau dibatalkan. 

Surat itu juga melampirkan foto rapat dan beberapa orang yang tengah menandatangani dokumen.

Anehnya, dalam foto tampak Kuasa Direktur Perusahaan PT SPS Daud Sababalat. Namun, Daud membantah terlibat pengerahan dukungan masyarakat.

Hutan Uma Sibagau dan Uma Sakerebau Mailepet, sudah mendapat surat keputusan (SK) Bupati Mentawai sebagai hutan adat, tinggal disetujui Kementerian Kehutanan.

Dua hutan adat itu diketahui masuk wilayah konsesi PT SPS.

Koalisi masyarakat sipil menduga ada upaya agar “hutan adat dibuang” dari lahan konsesi perusahaan.

Namun, Kepala Sub Direktorat Penetapan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal di KLHK Praszt Nugroho memastikan, verifikasi usulan hutan adat akan tetap berjalan meski wilayah itu masuk areal konsesi.

Rumah Uma Saureinu di Pulau Sipora. (KBR/Wahyu)

Merusak Tatanan Masyarakat

Kisruh antara warga penolak dan pendukung PT SPS mengusik batin Nulker Sababalat, tokoh adat Suku Mentawai di Pulau Sipora. Nulker adalah keturunan ke-11 dari moyangnya yang datang ke Sipora. 

“Komentarnya ini, kan, lagi melenceng. Orang-orang yang main ini, main plot-plot ini, kan, siapa ini orang-orang ini? Mengatasnamakan kelompok. Akhirnya kita terganggu, akhirnya pro-kontra,"

Padahal kita masih hubungan saudara. Kalau duit, kan, sesaat, tetapi hubungan darah, itu tak akan pernah berakhir.” kata Nulker saat ditemui di Rumah Uma Saureinuk, tempat pertemuan adat masyarakat setempat. 

Nulker menolak masuknya PT SPS ke Sipora. Karena sikapnya, ia sempat mendapat ancaman. 

“Ada lah yang meneror saya, ada lah yang bilang, 'hati-hati kau, penjara kan, gitu-gitu, intimidasi," Nulker bercerita. 

Nulker tak goyah, bersikukuh pada pendiriannya. 

“Mereka melakukan penebangan pohon. Mereka melanggar seluruh kearifan lokal di hutan adat. Penduduk asli di sini secara kearifan lokalnya, sudah enggak mengakui namanya. Sudah enggak menghargai dan menghormati,” ujar pria 49 tahun itu.

Bagi Nulker, kehadiran perusahaanlah yang justru mengancam tatanan sosial masyarakat.

Sebab, menghilangkan hutan berarti merusak keterikatan satu dengan yang lain.

“Kalau ini dirusak, maka ini sudah penghabisan karena memusnahkan upaya keberlanjutan masyarakat adat ini ke depan. Itu diputus oleh kebijakan untuk menghadirkan investasi. Kami bukan menolak pembangunan sebetulnya,” kata Nulker Sababalat, tokoh adat Suku Mentawai di Pulau Sipora

Antropolog Tarida Hernawati. (KBR/Wahyu)

Hutan adalah identitas masyarakat adat Mentawai, kata Afridianda Tasilipet dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mentawai.

Mereka hidup dari hutan dan melestarikannya. 

“Mereka mau bikin rumah, bikin sampan, mereka ada melihat. Kayu yang seperti ini layak untuk kita ambil. Sebelum mereka potong, ada ritual yang mereka lakukan. Satu pohon yang ditumbang bisa saja untuk penggantinya lima pohon yang akan mereka tanam sebagai yang menjaga ekosistemnya itu nanti,” sambungnya.

Hadirnya PT SPS dinilai sebagai upaya sistematis memaksa masyarakat adat tercerabut dari identitasnya, dari ruang hidupnya. 

Praktik-praktik seperti ini juga ditemui di kawasan lain.

“Ketika konsep-konsep eksploitasi ini dilakukan oleh siapa saja, dan pengingkaran dan ruang hidup orang Mentawai, saya rasa bisa menuju ke sana (etnosida),” ujar Tarida Hernawati, antropolog yang bertahun-tahun meneliti kebudayaan Mentawai.

Kata Tarida, hutan bukan sekadar tegakan pohon dan penyeimbang ekosistem di Mentawai.

Hutan punya arti lebih bagi masyarakat yang turun-temurun mendiami pulau itu.

Hilangnya Hutan Sipora bisa berdampak fatal. Bahkan bisa mengarah pada etnosida.

“Mereka tidak punya ruang lagi karena tanah, lahan sudah dieksploitasi, sudah dialihkan ke perusahaan, maka ekspresi-ekspresi mereka sebagai sebuah entitas, sebagai identitas suatu bangsa itu nggak bisa dikembangkan lagi. Mereka akan kehilangan jati diri mereka sebagai orang Mentawai,” kata Tarida Hernawati, antropolog.

Nulker Sababalat, tokoh adat di Uma Saureinu. (KBR/Wahyu)

Kami Dibesarkan dari Hutan...

Saya bertemu orangtua Nulker saat hendak berpamitan untuk kembali ke Jakarta. 

Sebelum motor yang membawa saya melaju, sempat saya lihat, Nulker berucap lirih ke ayah-ibunya, meminta maaf.

“Maaf, jadi tidak memerhatikan kondisi bapak dan mamak di rumah,” sayup-sayup terdengar suara Nulker.

Sejak tersiar kabar soal rencana aktivitas PT SPS, Nulker jadi semakin sibuk. Hilir mudik, membangun jaringan, untuk mempertahankan hutan adat Sipora.

Bagi Nulker dan masyarakat adat Mentawai, merawat tanah leluhur adalah tugas mulia.

“Kalau kami, biarlah kami miskin, pandangan orang, tapi hubungan keluarga kami jangan sampai dibuat retak, gara-gara orang luar,” tutur Nulker.

Sipora adalah rumah yang harus dijaga.

“Dengan potensi alam ini, datanglah, berdayakanlah kami. Latih, fasilitasi kami dengan peralatan, dari manual menjadi tenaga mesin, misalnya. Ini kan, sisi lain kita saling menguntungkan, tidak merusak pranata-pranata. Jangan merusak hutan,” kata dia.

“Jangan rusak… Jangan merusak hutan.”

Kalimat Nulker Sababalat terus terngiang sepanjang perjalanan saya kembali ke Jakarta.

“Kami ini dibesarkan dari hutan."

*Liputan ini merupakan program kolaborasi media yang didukung oleh Depati Project.

Penulis: Wahyu Setiawan

Editor: Ninik Yuniati, Malika

lingkungan
hutan
Ekonomi & Keuangan
tambang ilegal

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...