indeks
3 Tahun Berlalu, Mengapa Sulit Tetapkan Tragedi Kanjuruhan sebagai Pelanggaran HAM Berat?

“Ini bentuk peristiwa pelanggaran berat terhadap HAM. Justru ini masih menjadi tantangan serius, Komnas HAM enggan melakukan penyelidikan ulang.”

Penulis: Dita Alyaaulia

Editor: Wahyu Setiawan

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
3 Tahun Berlalu, Mengapa Sulit Tetapkan Tragedi Kanjuruhan sebagai Pelanggaran HAM Berat?
Seorang warga menyeka air matanya usai berdoa di makam anaknya korban Tragedi Kanjuruhan di TPU Kasin, Kota Malang, Rabu (1/10/2025). ANTARA FOTO/Ari Bowo S

KBR, Jakarta - Keluarga korban mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menetapkan Tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat. Dorongan itu disampaikan keluarga korban saat menemui perwakilan Komnas HAM di Jakarta, Rabu (1/10/2025), tepat 3 tahun peringatan insiden kelam tersebut.

Secara terpisah, pendamping korban yang juga Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang Daniel Siagian menilai tragedi yang merenggut 135 nyawa itu sudah masuk kategori pelanggaran HAM berat. Dia mendorong Komnas HAM mempelajari dan membuka kembali penyelidikan kasus tersebut.

“Ini bentuk peristiwa pelanggaran berat terhadap HAM. Justru ini masih menjadi tantangan serius, Komnas HAM enggan melakukan penyelidikan ulang terhadap dugaan pelanggaran HAM berat di Tragedi Kanjuruhan,” kata Daniel dalam diskusi daring, Rabu (1/10/2025).

Dalam laporan pemantauan dan penyelidikan yang dirilis 2 November 2022, Komnas HAM tidak menyimpulkan peristiwa itu sebagai pelanggaran HAM berat. Lembaga itu menyebut Tragedi Kanjuruhan dalam kategori pelanggaran HAM.

“Kesimpulannya adalah peristiwa tragedi kemanusiaan Kanjuruhan merupakan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi akibat tata kelola yang diselenggarakan dengan cara tidak menjalankan, menghormati, dan memastikan prinsip dan norma keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan sepak bola. Selain itu juga, terjadi karena tindakan exercise force,” kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (2/11/2022).

Baca juga: Prabowo Minta TNI Introspeksi, Koalisi Ungkap Masalah yang Harus Diperbaiki

Komnas HAM menyebut ada tujuh pelanggaran HAM dalam Tragedi Kanjuruhan. Yakni penggunaan kekuatan berlebih, pelanggaran terhadap hak memperoleh keadilan, pelanggaran hak untuk hidup, pelanggaran hak atas kesehatan, pelanggaran hak atas rasa aman, pelanggaran hak anak, serta pelanggaran bisnis dan HAM.

Beka Ulung yang saat itu menjabat komisioner Komnas HAM bilang, unsur sistematis dan meluas sebagai syarat pelanggaran HAM berat tidak terpenuhi di Tragedi Kanjuruhan.

red
Warga melihat daftar nama korban usai doa bersama dalam peringatan tiga tahun Tragedi Kanjuruhan di Monumen Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Rabu (1/10/2025). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto
advertisement

Tragedi itu terjadi usai laga pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 yang mempertemukan Arema FC melawan Persebaya Surabaya, Sabtu, 1 Oktober 2022.

Pertandingan itu berakhir dengan kekalahan Singo Edan dengan skor 2-3. Usai kekalahan, para suporter turun ke lapangan. Mereka kemudian diadang aparat keamanan, yang disertai tembakan gas air mata ke arah penonton dan ke tribun.

Gas air mata itu diduga menjadi memicu kepanikan penonton, sehingga membuat mereka berebut keluar stadion. Ratusan penonton terinjak-injak, sesak napas, dan meninggal.

Tercatat, 135 orang meninggal akibat tragedi tersebut. Sedangkan korban luka-luka lebih dari 580 orang.

KontraS Yakin Unsur Terpenuhi

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meyakini unsur pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Kanjuruhan sudah terpenuhi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah pembunuhan massal (genosida), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitry/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).

Baca juga: Kesaksian Korban Selamat Tragedi Stadion Kanjuruhan

Kepala Divisi Hukum KontraS Yahya Ihyaroza mengatakan unsur sistematis dalam peristiwa Kanjuruhan tersebut sudah terpenuhi.

“Bahwa dalam hal ini dari sudut pandang mata kami dari masyarakat sipil dan juga dari pendamping hukum keluarga korban, unsur sistematis itu sudah terpenuhi. Kenapa? Karena kepolisian memang sejak dari awal pertandingan itu sudah membawa senjata gas air mata, sudah membawa peluru karet, dan lain-lain. Ini mempertunjukkan atau memperlihatkan bahwa memang mereka sudah mempersiapkan hal tersebut. Dan hingga akhirnya gas air mata ditembakkan secara membabi buta,” kata Yahya kepada KBR Kamis (2/10/2025).

Menurut Yahya, seharusnya Komnas HAM bisa lebih dalam mengusut penggunaan gas air mata hingga menyebabkan ratusan orang meninggal.

“Mulai kenapa gas air mata itu dibawa lalu kenapa gas air mata itu ditembakkan, siapa yang memerintahkan, ke mana ditembakkan dan lain-lain. Jika Komnas HAM serius untuk mengusut kasus ini, seharusnya ke arah sana metode investigasi dilakukan,” tekan Yahya.

red
Aparat menembakkan gas air mata halau penonton usai Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/22). (Antara)
advertisement

Unsur Meluas Tak Terpenuhi

Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan sempat ditemui perwakilan Komnas HAM dan melakukan audiensi, Rabu (1/10/2025). Yahya bilang, Komnas HAM menilai unsur “meluas” tidak terpenuhi sehingga tragedi itu tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

KontraS menilai pendekatan tersebut keliru.

“Sehingga menurut mereka meluas dalam artian di sini seharusnya kerugian yang dialami atau peristiwa ini tidak hanya terjadi di Malang, tetapi juga ada di wilayah-wilayah lain. Yang di mana wilayah-wilayah lain ini memiliki benang merah terhadap peristiwa Kanjuruhan. Sehingga menurut Komnas HAM unsur meluasnya tidak terpenuhi, maka peristiwa Kanjuruhan ini bukanlah peristiwa pelanggaran ham berat. Itu yang saya tangkap dari audiensi kemarin,” kata Yahya.

Yahya juga menyebut sepanjang tiga tahun terakhir, Komnas HAM hanya melakukan pendalaman fakta tanpa penyelidikan pro-justisia.

“Mereka hanya melakukan semacam pendalaman fakta dengan mewawancarai korban, mewawancari kepolisian, operator liga dan PSSI,” ujarnya.

“Namun pendalaman fakta tersebut tidak dilakukan dengan batasan atau dengan latar atau landasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Sehingga dalam hal ini jelas Komnas HAM belum menemukan unsur-unsur pelanggaran HAM beratnya,” imbuhnya.

Keluarga korban mendorong Komnas HAM membuka kembali penyelidikan dan menetapkan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat.

“Sehingga kami kemarin mendesak kepada Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan secara pro-justisia sehingga dapat ditentukan apakah peristiwa Kanjuruhan itu merupakan peristiwa pelanggaran berat HAM atau bukan,” imbuhnya.

KBR sudah menghubungi Ketua Komnas HAM Anis Hidayah untuk menanyakan kemungkinan penyelidikan ulang Tragedi Kanjuruhan. Namun, hingga berita ini tayang, Anis belum membalas pertanyaan dari KBR.


Polisi Tak Serius

Selama tiga tahun, polisi juga dinilai tidak serius dalam menangani kasus ini. Yahya Ihyaroza dari KontraS mengatakan sejak 2023, tim advokasi korban sudah melaporkan tindak pidana dengan menekankan aspek perlindungan anak dan perempuan.

Namun, laporan itu ditolak.

“Sekitar 40 dari 135 lebih korban yang meninggal dunia di stadion itu merupakan anak di bawah umur dan juga perempuan. Namun sayangnya laporan kami ditolak oleh kepolisian dengan dalih ne bis in idem,” kata Yahya kepada KBR Kamis, (2/10/2025).

Menurut Yahya, kepolisian hanya mengarahkan agar laporan dibuat sebagai pengaduan masyarakat (DUMAS). Akan tetapi, belakangan diketahui laporan tersebut tidak pernah diregistrasi secara resmi.

“Kami dapati informasi ternyata laporan yang kami masukkan atau pengaduan yang kami masukkan pada September 2023 lalu itu tidak diregistrasi oleh kepolisian. Jadi karena itu tidak teregistrasi, tidak terdaftar akhirnya laporan tersebut, pengaduan tersebut tidak ditindak lanjuti oleh kepolisian. Dan itu kita baru tahu kemarin,” ujarnya.

Baca juga: Vonis Bebas Terdakwa Kanjuruhan, Presiden Didesak Bentuk Tim Independen

Menurut Yahya, hal ini menambah panjang daftar penolakan laporan terkait kasus Kanjuruhan. Ia menyebut, laporan dari tingkat Polsek Panjen hingga Mabes Polri selalu berakhir dengan penghentian atau penolakan.

“Dua laporan kami di Polres ke Panjen laporan tipe B itu dihentikan oleh kepolisian dengan dalih tidak ditemukan cukup bukti terkait laporan pidana yang diadukan. Laporan kami di Mabes dua kali kami hadir April 2023, September 2023 ditolak,” jelasnya.

Penolakan berulang ini membuat keluarga korban semakin tak percaya terhadap polisi.

“Seharusnya kepolisian tidak boleh menolak laporan dari masyarakat. Namun ini kenapa dalam Tragedi Kanjuruhan laporan yang kami adukan, laporan tipe B yang kami adukan itu tidak diterima,” tegas Yahya.

Pada April 2023, Karopenmas Polri Ahmad Ramadhan mengatakan laporan tidak ditindaklanjuti karena proses hukum saat itu masih berjalan.

red
Warga menaburkan bunga usai berdoa bersama dalam peringatan tiga tahun Tragedi Kanjuruhan di depan Pintu 13 Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Rabu (1/10/2025). Doa bersama dan tabur bunga tersebut digelar untuk mengenang sekaligus mendoakan para korban serta memohon kepada Tuhan agar peristiwa yang menewaskan 135 orang itu tidak terulang. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto
advertisement


Impunitas

Sejak awal, keluarga korban sudah meragukan proses hukum dalam kasus ini. Polisi menetapkan enam orang sebagai tersangka. Namun hanya lima yang disidangkan, sedangkan berkas tersangka Akhmad Hadian Lukita tak diusut. Saat kejadian, dia merupakan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB).

Sementara, vonis untuk lima terdakwa lain juga dinilai jauh dari rasa keadilan. Tiga di antaranya divonis kurang dari 2 tahun penjara. Sedangkan dua lainnya yang merupakan polisi, divonis bebas, meski akhirnya Mahkamah Agung mencabut putusan tersebut.

Baca juga: MA Batalkan Vonis Bebas Dua Polisi Kasus Kanjuruhan, KontraS: Belum Adil

Daniel Siagian, pendamping korban dari LBH Pos Malang, mengatakan ruang impunitas dalam penyelesaian kasus ini sudah terendus sejak awal.

Aktor-aktor yang diduga memberi perintah juga tidak diusut.

“Selama tiga tahun ini tidak ada yang mengetahui aparat yang menembakkan gas air mata ke bagian tribun. Penembakan gas air mata yang menyebabkan ratusan korban jiwa melayang dan ratusan terluka. Ini lemahanya akuntabilitas penegakan hukum,” kata Daniel.

kanjuruhan
hukum

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...