EDITORIAL

Mengupas Usul Pengurangan Jam Kerja Perempuan

Wakil Presiden Jusuf Kalla punya usul baru: kurangi jam kerja pegawai perempuan sebanyak dua jam. Alasannya supaya perempuan bisa punya waktu lebih banyak untuk mendidik anak.

AUTHOR / KBR

Mengupas Usul Pengurangan Jam Kerja Perempuan
jk, ibu, jam kerja, menyusui, perempuan

Wakil Presiden Jusuf Kalla punya usul baru: kurangi jam kerja pegawai perempuan sebanyak dua jam. Alasannya supaya perempuan bisa punya waktu lebih banyak untuk mendidik anak. Menurut JK, kewajiban utama perempuan adalah mendidik anak.

Teknisnya kira-kira begini. Satu jam kerja di awal dan di akhir dikurangi, sehingga si perempuan bisa segera kembali ke rumah dan merawat anak-anak. Yang dijadikan contoh adalah Jepang, yang jam kerjanya justru terus berkurang. JK juga menegaskan kalau ini bukan berarti ingin mengurangi emansipasi wanita.

Mari kita kupas usulan dari Pak JK ini. Ketika jam kerja perempuan dikurangi, demi mendidik anak, asumsinya hanya dilakukan oleh perempuan alias ibu. Apa betul begitu? Bagaimana dengan sang ayah? Anak berhak mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari ayah dan ibu, bukan ibu saja, demi tumbuh kembang yang baik. Kalaupun perempuan dianggap punya sisi kelembutan lebih, mestinya itu tidak dijadikan dasar dalam membuat kebijakan.

Semakin banyak perempuan yang bekerja. Apa pun alasannya, kita bisa menemui perempuan dari berbagai level ekonomi dan pendidikan yang bekerja di luar sana. Jika perempuan bekerja itu adalah seorang ibu, maka hal klasik yang terjadi adalah si ibu merasa bersalah. Merasa bersalah karena situasi mengharuskan ia bekerja. Gelisah karena tak bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama anak. (Baca: Ibu Bekerja Kerap Dilanda Rasa Bersalah Saat Tinggalkan Anak)

Perasaan bersalah itu sebetulnya berakar dari konstruksi sosial soal peran gender perempuan atau ibu dengan laki-laki atau ayah. Konstruksi sosial yang terus bergulir lintas generasi ini seperti meneguhkan peran mendidik ada di tangan ibu. Padahal anak adalah tanggung jawab orangtua: ibu dan ayah.

Jika negara betul-betul ingin merangkul para ibu bekerja, mestinya kebijakan melirik ke hal lain. Pakem yang dipakai adalah menciptakan suasana di mana si ibu tak perlu bekerja sembari merasa bersalah. Perempuan, ibu, tak seharusnya terpaksa memilih: kantor atau rumah? Ini bisa diatasi dengan menyediakan tempat penitipan anak yang berkualitas, jika ada di dekat kantor, itu lebih baik. Atau, buatlah tempat untuk menyusui ASI eksklusif supaya anak mendapatkan hak gizinya.

Ada juga soal ketidakadilan di sana? Bagaimana dengan perempuan yang bukan ibu? Bagaimana dengan kesetaraan gaji dengan laki-laki? Perusahaan yang tak mau rugi, bakal bersembunyi di balik usulan Pak JK untuk tidak menempatkan perempuan di posisi strategis. Dan kalau itu terjadi, maka yang rugi, tak lain tak bukan, adalah perempuan. Mau?

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!