Article Image

NASIONAL

Keuangan Terguncang, Gimana Metode Koping Stres Finansial?

"Kondisi keuangan memicu financial anxiety "

KBR, Jakarta- Belakangan, dampak kebijakan tarif bea masuk yang diumumkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bikin sejumlah negara ketar-ketir, tak terkecuali Indonesia jika dikenai tarif impor sebesar 32 persen. Meski kabar terbaru, Trump menundanya selama 90 hari, namun keputusan ini tak lantas bisa membuat lega.

Dampak pertama yang paling terasa adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Tak menutup kemungkinan, bakal merembet juga pada potensi kenaikan harga-harga barang.

Kalau sudah begini, tak hanya kesehatan finansial, tapi kesehatan mental pun bisa terganggu. Sebab tak jarang, ketika menghadapi masalah keuangan seseorang akan mengalami stres.

Keterangan Foto: Petugas menunjukan uang pecahan dolar AS dan rupiah di gerai penukaran mata uang asing, Jakarta, Selasa (8/4/2025). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup melemah 69,5 poin atau 0,41 persen menjadi Rp16.891 per dolar AS dari sebelum

Nah, stres akibat masalah keuangan ini memiliki beragam dampak, diantaranya:

  • Insomnia atau kesulitan untuk tidur karena memikirkan hilangnya pendapatan dan tagihan yang belum dibayar.
  • Gangguan fisik seperti masalah pencernaan, sakit kepala, tekanan darah tinggi hingga turunnya berat badan karena melewatkan waktu makan untuk menghemat uang.
  • Menarik diri hingga mempengaruhi relasi. Seseorang dengan masalah keuangan cenderung membatasi kehidupan sosial yang dipicu rasa malu atau untuk menghemat pengeluaran.

Selain itu, masyarakat yang terdampak masalah ekonomi lebih rentan mengalami financial anxiety atau gangguan kecemasan yang dipicu karena kondisi keuangan.

Gangguan kecemasan ini akan memicu gejala seperti jantung berdebar, tubuh gemetaran, hingga serangan panik saat memikirkan keuangan. Bahkan jika gangguan kecemasan tersebut tak tertangani dengan baik dan terus berlanjut, maka bisa berpotensi menjadi depresi yang memicu kesedihan dan keputusasaan, terlebih jika terlilit utang.

Keterangan Foto: Warga menjual mata uang dolar Amerika Serikat (AS) di Debe money changer, Banda Aceh, Aceh, Kamis (10/4/2025). Menurut petugas gerai penukaran mata uang asing, dua hari terakhir banyak warga menjual mata uang dolar dengan harga Rp16.600 d

Menurut Psikolog Klinis Mutiara Maharini, bicara antara kesehatan mental dan finansial itu ibarat mempertanyakan lebih dulu mana antara telur atau ayam. Kata dia, terkadang ada beberapa situasi dimana keadaan finansial membuat kesehatan mental seseorang jadi kurang baik. 

Begitupula sebaliknya, ada beberapa momen lain ketika kesehatan mental kurang baik kemudian berujung membuat keadaan finansial juga menjadi kurang baik. Misalnya saat seseorang kurang mampu mengelola emosi akhirnya berperilaku impulsif dan sebagainya.

"Padahal sebenernya kan situasi ekonomi tuh faktornya banyak ya, bukan cuma faktor individu tapi kalau kesehatan mental kita udah kena mental bahasanya ya zaman sekarang, jadinya segala sesuatu kita bisa ngerasa ini salah kita, terus kita nggak mampu, kita mengecewakan orang lain. Biasanya dari awalnya stres itu bisa mengarah ke gejala depresi atau gejala kecemasan nah dari situlah pasti kebayang kesehatan mental kita ikut tidak baik-baik saja. Kita merasa kontrol di kehidupan kita, rasa percaya diri kita berkurang dan sedihnya lagi-lagi kedua hal ini justru yang membuat kita secara finansial makin gak terjaga. Sudah tau kita lagi dalam keadaan susah, sudah tahu kita tanggung jawabnya besar ke depannya, tapi karena emosi kita kurang baik-baik saja jadi kita malah bisa impulsif, " kata Mutiara Maharini kepada KBR.

Psikolog Klinis Mutiara Maharini menambahkan, kondisi ini tak hanya melemahkan secara emosional, tetapi juga dapat memengaruhi persepsi diri. Rasa bersalah dan rendah diri kerap muncul, hingga timbul anggapan bahwa diri tak berguna atau menjadi beban.

Menurutnya, masalah finansial sering kali dipicu oleh faktor eksternal yang kompleks, bukan semata karena kegagalan pribadi. Ironisnya, tekanan berat kerap mendorong seseorang mengambil keputusan keuangan yang keliru. Emosi negatif bisa memicu tindakan impulsif, seperti berutang sembarangan, belanja pelampiasan, hingga menyerah pada keadaan. Namun ia mengingatkan bahwa menyerah bukanlah solusi. Kata dia, di balik setiap masalah, selalu ada peluang untuk bangkit bagi mereka yang mau terbuka dan mencari bantuan.


Waspada Metode Pelarian yang Tidak Sehat!

Sayangnya, individu dengan masalah mental akibat masalah keuangan ini kemudian berpotensi memilih metode pelarian yang tidak sehat. Metode koping yang tak sehat tersebut misalnya mengonsumsi terlalu banyak alkohol, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, berjudi, atau bahkan makan terlalu banyak.

Psikolog Klinis Mutiara Maharini menyarankan jika masyarakat mulai merasa tak tahu apa yang mesti dilakukan dan tak mampu lagi berpikir rasional, itulah tandanya perlu pertolongan orang lain.

"Sudah mulai didominasi oleh hal-hal seperti ketakutan, kecemasan, dan lain-lain itu sudah tandanya kita butuh bantuan dan butuh dukungan dari orang lain. Bahkan sebelum pergi ke psikolog atau ke certified financial planner gitu, bisa ke orang terdekat dulu aja, orang yang paling kita percaya  untuk mengutarakan bahwa kita punya masalah keuangan dan tak tahu jalan keluarnya. Kadang-kadang sesederhana itu, sudah membuat kita lega banget, karena kita gak sendiri lagi dalam menghadapi masalah kita," katanya.

Maharini juga berpendapat bahwa memendam sendiri masalah yang dihadapi tak akan membuat masalah tersebut terselesaikan apalagi yang urgent seperti halnya finansial.

"Bahkan kalau sudah di titik-titik terakhir, jujur menurut aku, ngomong di social media juga nggak apa-apa, intinya coba berusaha terus sampai akhirnya bisa mendapatkan bantuan yang bener-bener efektif untuk kita. Karena kalau misalnya kita menyerah, itu akan ada konsekuensi-konsekuensi lain yang kita perlu pikirin juga. Jangan sampai kita menyerah tanpa memikirkan konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi setelahnya. Habis itu sangat-sangat disarankan mencari bantuan profesional. Sekarang kan, bantuan profesional itu bisa diakses secara gratis misalnya pake BPJS untuk pergi ke psikolog, di faskes terdekat," ungkapnya.

Psikolog Klinis, Mutiara Maharini

Perlunya Menyaring Informasi

Sementara itu, Psikolog Klinis Nirmala Ika menyarankan kepada masyarakat untuk tetap tenang dan dengan bijak menghadapi setiap situasi. Selain itu sebaiknya seseorang dapat menyaring informasi yang diterima dan mencernanya dengan baik untuk menghindari kepanikan.

"Sekarang sebenarnya jangan panik dulu, dan be wise. Sebenarnya yang bisa kita lakukan saat ini memang adalah bertahan saja dulu. Maksudnya bertahan itu dalam arti bukannya terserah ya. Tapi sekarang apa yang kita punya, kita keep dulu, dalam arti kita masih punya pekerjaan ya bertahan di situ, kita sekarang masih punya tabungan, ya gunakan dengan wise gitu. Kita sekarang masih punya channel ya dipertahankan saja, nggak usah cari gara-gara sama orang karena kita nggak tau kedepannya, kita akan seperti apa kondisinya. Siapa tahu channel-channel itu at the end akan jadi orang-orang yang bisa membantu kita.

Selain itu, Nirmala mengajak masyarakat untuk menghadapi situasi ini dengan lebih jeli menilai antara kebutuhan dan keinginan.

"Jadi apapun yang sebenarnya, ini waktunya sebenarnya kita lebih wise, lebih juga untuk lebih melihat mana kebutuhan, mana keinginan. Mana yang sesuai sama diri kita, mana yang nggak, jadi tidak panikan, nggak mudah terbawa sama orang ngomong katanya-katanya gitu-gitu, tapi ya cobanya terus usaha. Misalnya kita fokus untuk mencoba peluang yang bisa baik untuk masa depan, kerjain aja, mau bisnis, mau apa dan memang kita mampu dan bisa ya silakan dirintis," jelas Nirmala kepada KBR.

Meski begitu, ia menyarankan agar usaha yang dilakukan bukan berdasar keputusan gegabah, tapi berdasar pemikiran matang dan sesuai kemampuan.

"Tapi jangan kayak dipush, pikirin dulu bener-bener jangan panik, diskusi aja dengan banyak orang, yang kita kira-kira bisa percaya, untuk akhirnya menentukan langkah yang lebih bijak apa buat kita. Tapi intinya tetap jangan berhenti untuk berusaha pastinya, kecemasan itu kalau cuma kita diemin aja, makin gede kecemasannya, apalagi pikiran kita canggih ya, kalau suruh mikir sebenernya, what if - what if-nya itu kan bisa panjang banget, what if itu yang bisa bahaya ketika diterus-terusin, karena nggak pernah ada ujungnya, gitu." pungkasnya.

Psikolog Klinis, Nirmala Ika

Jika anda tertarik dengan pembahasan seputar kesehatan mental yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, anda bisa mendengarkan obrolan serupa dalam podcast Disko "Diskusi Psikologi" berikut:

Dengarkan episode lainnya di kbrprime.id atau platform mendengar podcast kesayangan anda.