ragam
RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Harus Mengakomodasi Kebutuhan Disabilitas

Perempuan disabilitas memiliki kerentanan jauh lebih besar dibanding perempuan non-disabilitas.

Penulis: Siska Mutakin

Editor: Sindu

Google News
RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Harus Mengakomodasi Kebutuhan Disabilitas
Ilustrasi disabilitas. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Dampak perubahan iklim terhadap disabilitas berbeda dengan yang dialami kelompok atau individu lain. Perbedaan terjadi lantaran kerentanan berlapis yang mereka alami, bukan hanya karena perubahan iklim, tetapi karena berbagai hambatan yang sudah lebih dahulu mereka hadapi sebagai disabilitas. Mulai dari fisik, mental, mobilitas, ekonomi, informasi, sosial, hingga kultural.

Perbedaan dampak perubahan iklim antarkelompok ini dijelaskan Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Yeni Rosa Damayanti. Menurutnya, perubahan iklim tidak bersifat netral, karena efeknya tergantung pada siapa yang terdampak.

"Karena dampaknya itu enggak sama antara satu orang dengan orang lain. Dampak terhadap orang kaya dengan dampak terhadap orang miskin beda. Dampak orang tinggal di pesisir dengan dampak orang tinggal di pegunungan beda," katanya dalam Webinar Hari Bumi 2025 "Dampak Perubahan Iklim dan Pentingnya UU Pengelolaan Perubahan Iklim bagi PD di Indonesia", Selasa, (29/04/2025).

Berlapis

Yeni menyampaikan, disabilitas adalah salah satu kelompok paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kerentanan yang dialami disabilitas tidak tunggal, melainkan berlapis.

"Termasuk juga dampak antara orang yang tidak memiliki disabilitas dengan orang yang memiliki disabilitas dampaknya juga beda," jelasnya.

Yeni mencontohkan, perempuan disabilitas memiliki kerentanan jauh lebih besar dibanding perempuan non-disabilitas.

Sebab, perempuan disabilitas mengalami tekanan ganda, yaitu sebagai kelompok yang mengalami ketimpangan gender, sekaligus individu dengan disabilitas yang mengalami keterbatasan akses dan hambatan sosial lain.

Selain itu, Yeni menyebut ada dampak besar lain, yaitu kerentanan ekonomi. Menurutnya, disabilitas jauh lebih sulit memperoleh mata pencaharian yang layak dibandingkan kelompok lain.

"Bukan karena kita enggak mampu, bukan karena kita bego, tetapi karena memang ada begitu banyak barrier atau hambatan buat kita untuk mendapatkan mata pencaharian yang layak, yang sama tingkatannya dengan orang-orang lain. Hambatan itu sudah dimulai semenjak penyandang disabilitas itu masih kecil," ujarnya.

Integrasi Perspektif

Yeni menegaskan, pentingnya integrasi perspektif disabilitas di semua tahapan kebijakan iklim, mulai dari perencanaan hingga penerapan.

Ia menyerukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bappenas, hingga Dewan Perwakilan Daerah (DPD), melibatkan disabilitas secara langsung dalam proses penyusunan kebijakan.

"Karena banyak di antara hal-hal yang mesti dimasukkan itu hanya penyandang disabilitas yang tahu karena kita yang mengalami. Kalau itu dimasukkan oleh orang lain yang tidak paham disabilitas, itu seringkali tidak menjawab kebutuhan kita. Di antaranya, menjamin akses universal dalam setiap aksi perubahan iklim," tegasnya.

Yeni menyoroti pentingnya keterlibatan disabilitas dalam aksi dan kebijakan perubahan iklim. Alasannya, kelompok disabilitas kerap mengalami dampak bencana iklim lebih berat dan jangka panjang. Namun, kepentingannya masih belum terwakili secara memadai dalam kebijakan iklim saat ini.

Ia mencontohkan, kebijakan pengurangan emisi karbon yang mendorong masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Tetapi, peralihan itu tidak ditunjang dengan infrastruktur yang inklusif. Dampaknya justru akan memperburuk ketimpangan.

"Ya, gimana kalau misalnya kendaraan umumnya tidak aksesibel, kita mau disuruh naik busway, busway-nya saya pakai tongkat. Saya pakai tongkat, saya tidak bisa naik busway. Dede nih, moderator, dia juga pakai tongkat, dia tidak bisa naik busway,” keluhnya.

“Jadi, gimana dong kita bisa menggantikan Gojek misalnya, motor Gojek, dengan busway, kalau busway-nya kita tidak bisa gunakan?" ujarnya.

Ruang Partisipasi

Lebih lanjut, ia mendorong dibukanya ruang partisipasi bermakna bagi disabilitas serta penyediaan pendanaan khusus untuk adaptasi iklim yang inklusif.

Ia juga menyarankan agar Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Perubahan Iklim memasukkan program pengurangan kemiskinan dan perlindungan sosial, termasuk proteksi dari kehilangan pekerjaan akibat dampak iklim.

"Nah, jadi kalau kita bikin Undang-Undang Perubahan Iklim tanpa memasukkan jaminan-jaminan, skema-skema, perlindungan sosial, apabila terjadi kesulitan, bencana, maupun kehilangan pekerjaan karena perubahan iklim, ini orang yang terdampak atau korbannya itu tidak jatuh miskin sehabis-habisnya. Karena ada jaringan pengaman," katanya.

Urgensi RUU Pengelolaan Perubahan Iklim bagi Disabilitas

Yayasan Pikul yang juga peduli disabilitas mengakui sudah terdapat sejumlah peraturan dan kebijakan mengenai perubahan iklim. Namun, peraturan dan kebijakan yang ada belum menjawab kebutuhan perlindungan bagi kelompok rentan secara menyeluruh dan mendalam.

Semisal Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Karena itu, RUU Pengelolaan Perubahan Iklim yang kini masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, harus bisa jadi instrumen hukum tertinggi yang memastikan prinsip keadilan terintegrasi dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia.

Direktur Eksekutif Yayasan Pikul Torry Kuswardono menjelaskan, saat ini proses legislasi terkait perubahan iklim tengah berjalan, baik di DPD maupun di kalangan masyarakat sipil.

"Karena sebetulnya kalau misalnya dari sisi pelaku, pelaku pencemaran, pelaku pengemisi itu kan bukan mereka. Bukan teman-teman yang di subjek rentan ini. Tetapi, justru orang lain dan mereka hanya menjadi korban," katanya di acara yang sama.

Torry juga menjelaskan regulasi yang ada saat ini lebih banyak berfokus pada aspek teknis, seperti pengurangan emisi dan perdagangan karbon, tanpa secara tegas menyentuh perlindungan kelompok rentan.

Bahkan menurutnya, dalam dokumen-dokumen penting seperti Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), pengakuan terhadap kelompok rentan hanya muncul di bagian pembukaan tanpa penerjemah dalam kebijakan operasional.

"Misalnya di dalam konteks disabilitas, bisa saja misalnya pembangunan trotoar, itu bisa jadi untuk menghindari banjir, bisa jadi itu adaptasi buat orang yang tidak punya masalah dengan gangguan mobilitas. Tetapi, buat teman-teman yang punya gangguan mobilitas, kenaikan trotoar satu cm itu bisa lebih parah dibanding kenaikan suhu 1,5 derajat, karena beda gitu-itunya tuh beda," jelasnya.

Empat Prinsip

Selain itu, ia menekankan empat prinsip utama keadilan iklim yang perlu hadir dalam regulasi yaitu rekognitif, prosedural, distributif dan operatif.

Keempatnya mencerminkan pengakuan terhadap keberagaman subjek terdampak, pelibatan mereka dalam perumusan kebijakan, distribusi manfaat dan beban yang adil, serta operasionalisasi yang responsif terhadap kebutuhan mereka.

Torry juga menyuarakan pentingnya akses energi terjangkau dalam transisi energi yang adil, mengingat disabilitas umumnya termasuk kelompok miskin.

Selain itu, ia menggarisbawahi pentingnya partisipasi bermakna yang selama ini belum dijamin melalui regulasi yang ada.

"Karena itu, tuntutan dari masyarakat sipil itu adalah judulnya layar hukum keadilan iklim untuk menjamin bahwa setiap penanganan perubahan iklim itu memang menghasilkan kemerataan dan keadilan, bukan mempertinggi ketimpangan dan kemudian penderitaan bagi kelompok-kelompok yang rentan," tegasnya.

Akomodasi

Menanggapi masukan dan catatan dari berbagai kelompok, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berkomitmen mengakomodasi kebutuhan komunitas disabilitas dalam menghadapi perubahan iklim.

Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK Yulia Suryanti mengklaim, program dan kebijakan telah dirancang untuk memperkuat ketahanan berbagai kelompok masyarakat.

"Penyebabnya bukan masyarakat rentan tidak sama sekali, penyebabnya adalah dulu negara-negara maju melakukan di tahun-tahun pre-industrialisasi, melakukan pembangunan yang menghasilkan emisi GRK dan dampaknya sekarang," katanya di momen acara yang sama.

Sebagai bagian dari upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, Yulia telah mengidentifikasi lima bidang prioritas dan merancang kebijakan nasional, termasuk melalui kontribusi yang ditetapkan secara nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC).

Perjanjian Paris

Dokumen NDC, meskipun tidak rinci, menjadi acuan utama penyampaian komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris.

Perjanjian Paris, atau Paris Agreement, adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum mengenai perubahan iklim.

Perjanjian ini disepakati pada 2015 dan bertujuan membatasi kenaikan suhu global menjadi jauh di bawah 2 derajat Celcius, dengan usaha untuk membatasi kenaikan hingga 1,5 derajat Celcius, di atas tingkat pra-industri.

Lima bidang prioritas dalam NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia adalah energi, limbah, perindustrian, pertanian, dan kehutanan.

Bidang-bidang ini merupakan sektor utama yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca (GRK), dan menjadi fokus utama upaya mitigasi perubahan iklim.

"Yang lebih rinci adalah roadmap. Jadi, ada dua roadmap terkait dengan implementasi NDC ini yaitu roadmap mitigasi perubahan iklim, dan roadmap adaptasi perubahan iklim. Tetapi, di dalam NDC-nya itu sendiri memang telah disinggung terkait dengan ketahanan," katanya.

Sistem

Yulia menyebut, salah satu perangkat yang tengah dikembangkan adalah Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIC). Kata dia, SIDIC kini dalam proses revitalisasi untuk memasukkan indikator sosial demografi terkait komunitas disabilitas.

Menurutnya, penting untuk mengidentifikasi kerentanan, dampak, dan risiko yang akan dihadapi akibat perubahan iklim.

"Jadi, kami memasukkan indikator untuk sosial demografinya adalah untuk yang kepentingan komunitas difabel. Jadi, ini telah kita masukkan sebagai nanti bagian mengidentifikasi kerentanan, mengidentifikasi dampak dan risiko yang akan dihadapi akibat perubahan iklim. Ini yang kami coba lakukan Bapak dan Ibu dari sisi pengembangan perangkat perencanaan," ujarnya.

Proklim

Di tingkat komunitas, Yulia menyebut telah menjalankan Program Kampung Iklim (Proklim). Proklim bertujuan meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam aksi mitigasi dan adaptasi iklim.

Kini, Proklim telah memasukan indikator inklusivitas melalui pengakuan terhadap partisipasi kelompok rentan seperti anak-anak, lanjut usia (lansia), dan disabilitas.

"Di Jawa itu telah banyak proklim yang memang telah direkognisi dan juga berkelanjutan sampai sekarang, tetapi kemarin, tahun 2024 kemarin telah dicanangkan proklim inklusif," katanya.

Meski berbagai inisiatif telah dilakukan, Yulia mengakui masih banyak tantangan. Semisal, ketimpangan tingkat literasi iklim antara pusat dan daerah, pengukuran adaptasi belum seragam, dan pendanaan iklim masih didominasi aspek mitigasi.

"Walaupun sekarang sudah mulai ada di negosiasi kami di UNFCCC (The United Nations Framework Convention on Climate Change), kami selalu menyerukan, selalu berantem dengan negara-negara maju itu karena kita meminta agar ada balancing antara financing mitigasi dan adaptasi," ujarnya.

Sebelumnya, Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Perubahan Iklim masuk Prolegnas Prioritas 2025. RUU ini adalah salah satu dari empat usulan DPD RI yang masuk Prolegnas Prioritas. 

DPD RI berjanji akan membahas aturan ini dengan inklusif dan komprehensif. Selain itu, DPD juga akan melibatkan banyak partisipasi publik, akademisi hingga pakar dalam prosesnya. 

Baca juga:

RUU Pengelolaan Perubahan Iklim
Disabilitas

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...