"Karena syarat untuk mengakses ini adalah ketika korban sudah melakukan laporan kepolisian, menjalani sidang, sampai putusan. Itu sangat berat bagi kami perempuan adat untuk mengakses," jelasnya
Penulis: Siska Mutakin
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Pemerintah telah merilis Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban. PP ini merupakan amanat dari Pasal 35 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mengatur mengenai hak korban untuk memperoleh bantuan secara komprehensif.
Jaringan masyarakat sipil menilai regulasi tersebut tidak menjawab kebutuhan korban dan masih jauh dari harapan untuk memberikan penanganan dan pemulihan yang komprehensif bagi korban TPKS.
Yeryana dari Perempuan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) PHD (Pengurus Harian Daerah) Barito Timur menilai PP 29/2025 tentang Dana Bantuan Korban tersebut tidak menjawab kebutuhan perempuan korban dari masyarakat adat.
"Karena syarat untuk mengakses ini adalah ketika korban sudah melakukan laporan kepolisian, menjalani sidang, sampai putusan. Itu sangat berat bagi kami perempuan adat untuk mengakses semua itu," kata Yeryana dalam konferensi pers, Koalisi Perempuan Indonesia, Senin (21/7/2025).
Yeryana menggambarkan kondisi geografis dan infrastruktur yang sangat terbatas di wilayah-wilayah masyarakat adat. Ia mencontohkan beberapa kampung adat terletak sejauh 79 kilometer dari kantor kepolisian dengan jalan tanah merah dan korban harus menempuh perjalanan hingga 12 jam menggunakan transportasi sungai hanya untuk membuat laporan.
Yeryana menambahkan bahwa prasyarat yang diberlakukan dalam PP saat ini menutup akses bantuan bagi mayoritas perempuan dat yang bahkan tidak berani atau tidak mampu membuat laporan resmi.
"Karena korban takut ini membawa ke ranah hukum positif memikirkan jarak, biaya dan ketidak mengertian lainnya membawa ini misalnya ke hukum adat. Di dalam hukum adat itu sangat tidak menguntungkan korban," ujarnya.
"Jika Pun ada putusan pelaku terbukti bersalah yang ada mungkin misalnya si pelaku di wajibkan membayar denda untuk ritual, tetapi untuk pemulihan korban seperti traumanya dan sebagainya itu tidak ada," tambahnya.

PP DBK Dinilai Mendiskriminasi Korban
Lusi Peilouw, dari INA ATA Mutiara Maluku menilai regulasi ini tidak hanya tidak inklusif, tetapi justru mendiskriminasi korban kekerasan seksual yang tinggal jauh dari akses layanan hukum.
"Korban yang tidak bisa mengakses layanan hukum secara tuntas, tentunya tidak akan bisa mengakses DBK yang diatur dengan peraturan ini," kata Lusi dalam konferensi pers di Youtube Koalisi Perempuan Indonesia, Senin (21/7/2025).
Lusi mencontohkan di Maluku, daerah kepulauan, yang terdiri dari 11 kabupaten/kota, tapi tidak semua kabupaten/kota memiliki pengadilan negeri.
Bahkan, kata dia, pengadilan di kabupaten pemekaran masih berlokasi di kabupaten induk. Akibatnya, banyak kasus kekerasan seksual yang hanya berhenti di tahap pelaporan di kepolisian, tanpa bisa dilanjutkan hingga putusan pengadilan.
"Bagaimana dana bantuan korban ini dapat diakses kalau skemanya seperti ini? Seperti yang diatur oleh peraturan ini. Akan sangat sulit untuk mereka bisa mengakses bantuan korban, dana bantuan korban ini. Kenapa tidak diserahkan saja mekanismenya kepada pemerintah melalui APBD, APBN, APBD," ungkap Lusi.

Restitusi Tidak Menjawab Seluruh Kebutuhan Korban
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati mengatakan bahwa UU TPKS No. 12 Tahun 2022 memang menyebut restitusi sebagai mekanisme pemberian dana kepada korban.
Meski begitu, menurutnya, perluasan pemberian bantuan mencakup kebutuhan korban sejak awal terjadinya kekerasan dan bukan hanya pasca putusan pengadilan.
"Bagaimana ini bisa dipahami oleh setiap tingkatan level layanan terhadap korban kekerasan seksual mulai dari layanan banyak hal ya ini kan levelnya bukan cuma kepengadilan ya tapi bagaimana itu tadi kesehatan sosial psikologis, bagaimana pemulihannya, bagaimana pendampingnya," kata Mike dalam konferensi pers, Koalisi Perempuan Indonesia, Senin (21/7/2025).
"Ini yang menjadi tantangan karena ini juga jangan sampai hanya sebuah regulasi yang terjadi di atas kertas tetapi implementasinya nanti tetap sulit," imbuhnya.
Mike juga mempertanyakan mengapa skema pendanaan negara tidak diatur secara kuat, padahal peran LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sebagai pelaksana juga sangat bergantung pada dukungan fiskal yang memadai dan struktur kewenangan yang kuat.
Terlepas dari itu, Mike menyatakan apresiasinya dengan adanya PP tentang DBK, meskipun tidak sesuai yang diharapkan masyarakat sipil dan korban.

Minimnya Akses Keadilan Bagi Kelompok Rentan
Rina Prasarani dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) menyampaikan kekecewaannya terhadap Peraturan Pemerintah (PP) yang baru saja diterbitkan.
Ia menilai PP tersebut tidak memberikan akses yang memadai bagi perempuan penyandang disabilitas, khususnya dalam upaya memperoleh keadilan atas kasus-kasus kekerasan.
Rina juga mengungkapkan beban besar yang selama ini dipikul oleh organisasi pendamping. Dalam kenyataannya, proses menuju keadilan seringkali penuh perdebatan dan memakan waktu lama.
Menurutnya, tidak ada mekanisme tetap yang menjamin akomodasi layak bagi penyandang disabilitas dalam proses hukum, membuat beban logistik dan psikologis jatuh pada korban dan organisasi pendamping.
"Karena tidak banyak dari kami yang akan melapor, dari kasus-kasus kekerasan yang ada sebetulnya itu banyak terjadi, tapi jarang sekali yang mau melapor karena hal-hal yang memang menghambat, mulai dari ketidakpercayaan, dari mulai apakah dia bisa bersaksi, dari mulai apakah dia cakap hukum, kadang-kadang kita juga tidak diakui sebagai individu yang cakap hukum," kata Rina dalam konferensi pers, Koalisi Perempuan Indonesia, Senin (21/7/2025).
Rina menegaskan, jika kondisi ini terus dibiarkan, maka angka kekerasan terhadap perempuan disabilitas berpotensi meningkat, sementara jumlah korban yang melapor akan semakin menurun.
Senada dengan Rina, Echa Wao’de dari Arus Pelangi juga mempertanyakan apakah peraturan ini benar-benar disusun secara inklusif dengan melibatkan kelompok rentan dan komunitas akar rumput yang kerap menangani kasus langsung di lapangan.
Ia menegaskan bahwa keterlibatan masyarakat yang mengalami langsung diskriminasi adalah kunci dalam memastikan kebijakan bersifat adil dan aplikatif.

Echa juga menyoroti praktik penyelesaian kekerasan seksual secara kekeluargaan yang justru memperparah situasi korban dan memperkuat impunitas pelaku.
"Jadi ini semacam mata rantai yang sulit diputus karena pelaku pelecehan seksual akan terus melakukan tindakan-tindakan kejahatannya," ujar Echa.
"Jadi memang RUU ini semoga itu bisa inklusif dan seperti sila kelima tanpa terkecuali, tanpa harus melihat identitas gender, orientasi seksual, ataupun ekspresi gender seseorang," tegasnya.
Mekanisme Eksekusi Restitusi yang Tidak Jelas
Dilansir dari rilis Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebutkan PP DBK belum dapat menjawab permasalahan di lapangan, khususnya peran penting aparat penegak hukum dalam pelaksanaan restitusi.
Peraturan ini seharusnya dapat mempertegas koordinasi antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan Kejaksaan untuk penghitungan aset atau harta kekayaan pelaku, sebab kemampuan membayar pelaku hingga potensi sita lelang aset krusial menjamin efektifnya pelaksanaan restitusi.
Selain itu, PP DBK tidak menjelaskan kapan korban dapat mengajukan permohonan pendanaan pemulihan kepada LPSK.
Pendanaan pemulihan melalui peraturan ini hanya dapat diberikan setelah mekanisme restitusi dijalani, tetapi tidak ada batasan waktu yang tegas hingga kapan korban dapat mengakses pendanaan ini.
Terkait hal itu, DBK diharapkan juga bisa diakses sejak awal tanpa menunggu proses restitusi. Skema ini diharapkan dapat membiayai kebutuhan pemulihan mendesak yang tidak tercakup dalam program layanan K/L.
Namun, mekanisme ini tetap tidak menghapus tanggung jawab pelaku karena pada akhirnya pelaku tetap diharuskan mengganti biaya yang telah ditanggung oleh negara.
Baca juga:
- Setiap Hari, Perempuan Disabilitas jadi Korban Kekerasan