Ketika dia berdiri di lokasi cemaran itu tanpa bergerak apapun selama sekitar tujuh jam, maka jatah dosis dia untuk satu tahun itu sudah habis.
Penulis: Heru Haetami, Naomi Lyandra, Resky Novianto
Editor: Wahyu Setiawan

KBR, Jakarta - Temuan kontaminasi zat radioaktif Cesium-137 (Cs-137) pada produk udang beku asal Indonesia, menyingkap ancaman paparan zat berbahaya di Kawasan Industri Modern, Cikande, Serang, Banten.
Kontaminasi radiasi Cs-137 belakangan diketahui bersumber dari aktivitas pengolahan besi bekas (scrap metal) di Kawasan Industri Modern Cikande. PT Peter Metal Technology disinyalir menjadi perusahaan peleburan besi yang menggunakan Cesium-137. Lokasi perusahaan pengolahan udang yang produknya tercemar, PT Bahari Makmur Sejati, berada sekitar 3 km dari pabrik itu.
Ahmad Sukiyan, seorang pekerja salah satu perusahaan di kawasan tersebut, khawatir dengan temuan itu.
Awalnya, laki-laki yang akrab disapa Ucok itu hanya tahu kontaminasi zat berbahaya terdapat di udang yang diproduksi tidak jauh dari lokasi dirinya bekerja.
Tak disangka, bahaya itu kini mengancam kesehatan Ucok dan warga kawasan Cikande lainnya.
“Oh gitu, serem juga,” ujar Ucok saat kami tunjukan temuan paparan zat radioaktif di Cikande, Selasa (7/10/2021).
Saban hari, setiap berangkat kerja, Ucok melintasi jalur utama Jalan Modern Industri. Jalan itu, tidak begitu jauh dari lokasi pabrik peleburan besi PT Peter Metal Technology.
“Itu jalan utamanya Ucok lewatin tiap hari. Tapi kalau pabrik udangnya iya lewat depan pabriknya banget,” katanya.

Ucok mengungkap, lokasi pabrik-pabrik di Kawasan Industri Modern Cikande memang berdekatan dengan perumahan warga.
“Masih campur sama permukiman. Ada yang di tengah-tengah kawasan malah. Yang di pinggir, full,” katanya.
Dia bilang belum ada imbauan kepada warga yang melintas terkait bahaya paparan Cs-137 itu.
“Ya, ngerasa aman aja sih. Kebetulan enggak lewat langsung depan pabriknya. Itu kan agak masuk dikit,” ucap Ucok.
Penyebab Cemaran
Kontaminasi itu terendus usai Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mendeteksi kadar Cesium-137 dalam produk udang Indonesia yang akan diekspor ke negeri Paman Sam.
Pada pertengahan Agustus 2025, FDA sempat menguji sampel udang beku berbalut tepung (breaded shrimp) dari perusahaan PT Bahari Makmur Sejati. Hasilnya, kandungan Cs-137 tercatat 68,48 Bq/kg (± 8,25 Bq/kg), jauh di bawah ambang batas bahaya 1.200 Bq/kg.
Namun, FDA menyatakan tetap ada potensi risiko kesehatan jika produk itu dikonsumsi terus-menerus dalam jangka panjang.
Pemerintah kemudian membentuk Satgas Penanganan Cesium-137. Satgas terdiri dari unsur Polri, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menjadi ketua satgas.
Dari kesimpulan sementara, indikasi cemaran diduga berasal dari material scrap besi dan baja dari sebuah pabrik yang terkontaminasi Cesium-137. Itu diungkap Ketua Bidang Diplomasi dan Komunikasi Publik Satgas Penanganan Cesium-137 Bara Hasibuan.
“Kenapa itu bisa sampai ke pabrik besi baja, itu masalahnya pabrik itu kan sudah tutup dan kemudian owner-nya itu tidak tinggal di Indonesia. Jadi kami sedang melakukan pelacakan untuk Bareskrim bisa melakukan interview sehingga kami bisa mendapatkan clean picture daripada material tersebut bisa sampai ke pabrik tersebut,” kata Bara dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (9/10/2025).
Paparan Cesium-137 dari pabrik besi baja itu diduga menjadi penyebab udang yang diekspor ke Amerika Serikat terkontaminasi.
“Kontaminasi tersebut bentuknya itu abu dan terbawa airborne melalui udara atau sampai kepada pabrik pengolahan udang tersebut. Itu awalnya sehingga kemudian menyebabkan produk udang itu terkontaminasi yang diekspor ke Amerika, sekarang kami sudah mengidentifikasi itu,” terangnya.
“Pabrik baja itu merupakan sumber dari kontaminasi. Dan yang kedua adalah pabrik pengolahan udang yang awalnya juga terkontaminasi, tapi sudah dilakukan dekontaminasi dan sekarang sudah dinyatakan clear oleh Bapeten,” lanjut Bara.
Apa Itu Cesium-137 dan Mengapa Berbahaya?
Cesium adalah logam dengan titik leleh yang relatif rendah sekitar 600-700 derajat celsius. Pada proses peleburan logam, cesium mudah menyebar melalui angin atau air, memungkinkan partikelnya terbawa melalui cerobong dan tersebar ke lingkungan.
Peneliti Ahli Utama BRIN Djarot S Wisnubroto menjelaskan Cesium-137 merupakan zat radioaktif yang banyak digunakan berbagai industri untuk pengukuran densitas, riset, hingga uji tak merusak (non-destructive test).
“Kita harus melihat dari mana sumber Cesium-137 ini. Karena Cesium-137 dipakai di banyak industri. Bahkan di Indonesia, Bapeten memberikan 13.000 izin penggunaan Cesium-137,” ungkapnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (9/10/2025).
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) 61 Tahun 2013, limbah radioaktif didefinisikan sebagai zat radioaktif, bahan, material, atau peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir dan sudah tidak dapat digunakan lagi.
Kontaminasi terjadi ketika zat radioaktif menempel pada bahan atau peralatan biasa seperti besi, baju, atau kain, mengubahnya menjadi material yang terkena zat radioaktif.

Dalam kasus Cikande, tingkat radiasi di satu lokasi terukur sekitar 150 mikrosievert per jam. Bahkan di lokasi lain, terukur hingga 1000 mikrosievert per jam atau 1 milisievert/jam. Itu diungkap Juru bicara Bapeten Abdul Qohhar Teguh Eko Prasetyo.
Padahal, batas aman dosis untuk masyarakat dalam satu tahun adalah 1000 mikrosievert.
“Artinya apa? Artinya ketika ada seseorang berdiri di titik yang tadi dan dia menerima 150 mikrosievert dalam satu jam, ketika dia berdiri di situ tanpa bergerak apapun selama sekitar tujuh jam, maka jatah dosis dia untuk satu tahun itu sudah mencukupi. Artinya dia enggak boleh dapat dosis tambahan lain. Misalkan dia harus rontgen, jatah satu tahun habis dalam tujuh jam,” kata Qohhar kepada KBR, Rabu (8/10/2025).
Qohhar mengatakan paparan cesium yang tinggi juga menjadi kendala proses penanganan dekontaminasi. Dia bilang, prosesnya harus memperhatikan batasan keselamatan radiasi.
Petugas hanya boleh berada di lokasi hotspot dalam orde (waktu, red) menit agar dosis yang diterima tidak berlebihan, yang membuat proses penanganan memakan waktu beberapa bulan.
“Kalau misalkan ditanya berapa lama, seharusnya ini akan memakan waktu yang beberapa bulan paling tidak. Ada waktu yang cukup untuk melakukan proses penanganan ini. Karena ada batasan-batasan keselamatan radiasi yang harus kita penuhi,” katanya.
Baca juga: BAPETEN: Perumahan Batan Indah di Tangsel Terpapar Radiasi Radioaktif
Qohhar mengungkap, kasus serupa pernah terjadi di Perumahan Batan Indah pada 2020. Partikelnya tidak sebesar di Cikande. Sehingga, proses dekontaminasi membutuhkan waktu sekitar 2-3 bulan untuk dinyatakan bersih.
“Jadi ketika misalkan seperti tadi sudah ketemu di daerah yang radiasinya cukup tinggi, kita harus, mungkin, si petugas penanganan ini hanya boleh di lapangan dalam beberapa menit saja. Jadi enggak bisa seharian kerja. Itu kan enggak mungkin. Karena dia pasti batas dosis akan terlampau. Jadi mungkin hanya beberapa menit, kemudian digantikan lagi oleh personel yang lain. Ini kan berarti ada memakan waktu,” ujar Qohhar.
Mengutip laman Universitas Negeri Surabaya, radiasi dari Cs-137 tidak langsung menunjukkan gejala pada dosis rendah, tetapi paparan kronis dapat menimbulkan dampak serius.
Risiko utama adalah kanker (pada paru, tiroid, organ dalam), kerusakan sel darah, serta mutasi gen di generasi berikutnya. Organ tubuh yang kaya air atau jaringan lunak menjadi lebih rentan.
Di lingkungan, bahan radioaktif dapat merusak mikroorganisme tanah, mempengaruhi kualitas air, dan mencemari biota di ekosistem air. Karena Cs-137 mudah terbawa aliran air, kontaminasi bisa menyebar jauh dari titik sumber jika tidak segera dikendalikan.
Ada Izin, tetapi Pengawasan Lemah
Qohar bilang, setiap pemanfaatan tenaga nuklir harus mendapatkan izin dari Bapeten. Perusahaan yang berizin akan tercatat dalam sistem database bernama BALIS (Bapeten Licensing and Inspection System).
KBR mencoba mengakses Balis di laman balis.bapeten.go.id, untuk mencari data perusahaan yang berizin Bapeten. Namun, sistem tersebut tidak dapat diakses publik.

Saat dikonfirmasi, Qohhar beralasan akses publik ditutup demi keamanan data.
“Dulu publik bisa melihat daftar pemegang izin per provinsi, per kabupaten/kota. Cuman akhirnya ditutup karena ada masalah keamanan data,” dalihnya.
Berdasarkan data Bapeten, Qohhar menyebut hanya ada enam atau tujuh perusahaan di Kawasan Industri Cikande yang memanfaatkan tenaga nuklir. Tidak ada satupun perusahaan berizin yang menggunakan Cesium-137. Padahal, PT Peter Metal Technology yang menyebabkan cemaran Cesium-137, berada di kawasan itu.
Qohhar menekankan, pemanfaatan tenaga nuklir tanpa izin akan ditindak secara hukum.
“Jadi untuk penegak hukum, kami melibatkan teman-teman dari kepolisian untuk melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan ini. Apalagi kalau misalkan terjadi kelalaian. Ini lebih apa namanya, bahkan kelalaian pun ketika misalkan, oh ini walaupun dia sudah punya izin dari Bapeten, kemudian ada kelalaian misalkan, ya sudah ini kami silakan ke aparat penegak hukum, kemudian nanti biasanya teman-teman dari Bapeten itu akan dilibatkan sebagai saksi ahli dalam proses penegakan hukum itu,” ujarnya.
Peneliti dari BRIN Djarot S Wisnubroto menyoroti lemahnya pengawasan terhadap peredaran zat radioaktif. Dia bilang, seharusnya pemerintah punya data lengkap perusahaan-perusahaan yang menggunakan zat tersebut.
“Kami perlu database yang kuat dalam hal keluar masuknya Cesium-137, juga radiation portal monitor di berbagai titik seperti pelabuhan dan kawasan industri. Itu wajib agar kasus Cikande tidak terulang,” tegasnya.
Baca juga: Kans Gugatan Penghapusan Pensiun DPR Dikabulkan MK
Akses terbatas pelacakan perusahaan pengguna zat radioaktif dan ketenaganukliran dinilai menjadi salah satu masalah dalam pengawasan.
“Kita memang harus mengakui beberapa infrastruktur pengawasan di kita itu perlu diperbaiki ya. Artinya, ketika kita harus, satu, ada perlunya database yang traceable, yang kuat oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Bapeten, itu satu. Karena kan banyak pemakaian. Baik itu untuk misalnya industri, rumah sakit, dan lain sebagainya,” ujar Djarot.
Eks Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) itu bilang, pemerintah harus segera memasang detektor di pelabuhan-pelabuhan. Sehingga produk-produk yang terkontaminasi bisa diketahui di pintu masuk pelabuhan.
“Itulah titik utama kita. Sebenarnya ide itu sudah muncul dulu ada, mungkin 10-20 tahun yang lalu kita ingin portal monitor. Kebetulan saya dulu di Batan gitu ya. Tapi memang itu butuh biaya besar dan mungkin beberapa negara juga siap membantu waktu itu. Tetapi mungkin ini menjadi tantangan tersendiri bagaimana kewenangan, pemeliharaan, dan lain sebagainya.” kata Djarot.
Djarot mengatakan kejadian di Batan Indah maupun Cikande menjadi alarm agar kejadian serupa tidak terjadi di lain tempat.

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai cemaran radioaktif di Cikande menunjukkan lemahnya sistem pengawasan di Indonesia terhadap limbah berbahaya dan beracun (B3).
“Ini sudah dua kali terjadi dalam lima tahun. Pertama, di Batan Indah dan sekarang di Cikande. Dua-duanya ketemu tidak sengaja. Ini menunjukkan bahwa pengawasannya masih sangat lemah sekali,” kata Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi Dwi Sawung dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (9/10/2025).
Sawung juga mengkritik kebijakan impor limbah dan scrap metal. Semestinya pemerintah menindak tegas pelaku yang menyebabkan pencemaran.
“Kalau pemerintah tidak mampu mengawasi dengan benar, ya sudah, mending tidak usah melakukan impor limbah. Karena ketidakmampuan pengawasan ini justru membuka peluang besar terjadinya pencampuran limbah berbahaya dari luar negeri,” terang Sawung.
“Harusnya ada pidananya, karena ini jelas pelanggaran lingkungan. Tapi praktiknya, hukuman pidana atau denda masih sangat jarang,” tambahnya.
Dia mendorong adanya pencegahan terhadap sumber terbuka zat radioaktif agar tidak masuk ke smelter dan membahayakan publik.
Evaluasi tata kelola limbah harus dilakukan secara menyeluruh.
“Jangan mentang-mentang ada nilai ekonominya, lalu dibiarkan perilaku yang membahayakan keselamatan publik. Ini sudah memukul industri ekspor kita. Demi keuntungan segelintir orang, kesehatan masyarakat dikorbankan,” tegas Sawung.
Apa Upaya Pemerintah?
Kasus paparan Cesium-137 di Cikande masih dalam investigasi Satgas Penanganan Radiasi Radionuklida Cs-137. Menteri Lingkungan Hidup selaku Ketua Harian Satgas menyebut proses dekontaminasi terus dilakukan di lokasi yang menjadi hotspot.
“Langkah segera penanganan Cs-137 dilakukan melalui pemetaan paparan berbasis ilmiah menjadi beberapa zona, pengambilan sampel tanah, sampel air, sampel tanaman dengan memperhitungkan arah angin, demografi dan pergerakan masyarakat, melokalisir lokasi terpapar radiasi Cs-137 secara ketat dan memasang tanda bahaya radiasi yang jelas. Selain itu, dekontaminasi terus dilakukan di lokasi yang terdeteksi paparan radioaktif serta menyiapkan bangunan interim storage limbah terpapar radiasi Cs-137 sesuai standar,” ujar Hanif Faisol dalam keterangan resminya, Selasa (7/10/2025).

Hanif menyebut selama proses dekontaminasi, sejumlah warga akan direlokasi. Keputusan ini berdasarkan rekomendasi BRIN dan Bapeten.
“Dilakukan pemindahan sampai dekontaminasinya selesai dilakukan,” ucapnya.
Satgas mengklaim telah memeriksa ribuan orang yang beraktivitas di sekitaran lokasi terdampak. Dari 1.500 orang yang diperiksa, ada sembilan orang dipastikan terpapar radiasi.
“Mereka sudah dirujuk ke Rumah Sakit Fatmawati, diberikan obat khusus yang dipesan dari Singapura dan kini sudah kembali ke rumah masing-masing,” kata Ketua Bidang Diplomasi dan Komunikasi Publik Satgas Penanganan Cesium-137 Bara Hasibuan.
Bara mengklaim pemerintah sedang menyusun rencana relokasi warga di zona terdampak cemaran radioaktif, meski belum ada keputusan final.
“Planning-nya sedang disusun oleh tim dari Kementerian Lingkungan Hidup,” sambung Bara.
Baca juga: Radiasi Nuklir di Level Tinggi, Bisa Tewaskan Orang dalam 1 Jam
Untuk mencegah kepanikan, pemerintah juga mengklaim aktif menyosialisasikan potensi ancaman radiasi dan melakukan pemeriksaan kesehatan.
“Kami tidak ingin membuat panik warga, tetapi keselamatan mereka adalah prioritas,” tambahnya.

Bara melanjutkan, Satgas juga telah memetakan cemaran radioaktif di 22 fasilitas produksi yang beroperasi di Kawasan Industri Cikande.
“Kami sudah menemukan 9 titik radiasi dan 22 fasilitas atau pabrik yang berada di Kawasan Industri Cikande. Dan kami akan segera mengambil langkah untuk melakukan dekontaminasi terhadap titik-titik radiasi itu dan 22 fasilitas produksi,” ujar Bara.
Bara menyebut, PT Bahari Makmur Sejati (BMS) telah menyelesaikan proses dekontaminasi dan dinyatakan aman oleh Bapeten.
Dia memastikan Satgas bakal terus melakukan dekontaminasi terhadap titik-titik radiasi hingga seluruh fasilitas terdampak cemaran dinyatakan aman.
“Semoga 9 titik radiasi akan kami clear-kan pekan ini,” janjinya.
Sementara itu, Peneliti BRIN Djarot S Wisnubroto mengatakan proses dekontaminasi bisa dilakukan secara sederhana.
“Kalau ditemukan hotspot, tanahnya dikeruk dan dipindahkan ke lokasi yang bisa diawasi. Kalau logamnya terkontaminasi, diambil dan ditempatkan di tempat isolasi. Yang penting diawasi dan tidak keluar dari kawasan,” jelasnya.
Ia menegaskan pentingnya reformasi sistem pengawasan terhadap bahan radioaktif di Indonesia.
“Saya ingin tegaskan ke pemerintah, tingkatkan sistem pengawasan zat radioaktif di Indonesia. Pasang portal monitor di seluruh pelabuhan dan perkuat database agar semua penggunaan Cesium-137 bisa ditelusuri,” tekannya.
Baca juga: BBM Campuran Etanol, Bagaimana Kesiapan dan Keamanannya?
Menjawab itu, Bara Hasibuan dari Satgas Penanganan Cesium-137 mengklaim pemerintah telah memasang alat Radiation Portal Monitor (RPM) di Kawasan Industri Cikande usai muncul peristiwa cemaran radioaktif.
“Kami sudah memasang RPM di kawasan industri untuk memonitor truk dan kendaraan yang keluar masuk. Kami juga sedang melakukan tracing bagaimana scrap metal yang terkontaminasi bisa sampai ke pabrik baja tersebut,” kata Bara.
Kementerian Lingkungan Hidup, kata Bara, akan menyetop sementara impor scrap metal.
“Kementerian Lingkungan Hidup sudah memutuskan tidak akan memberikan rekomendasi lagi untuk importasi scrap metal,” tegasnya.
Belum selesai masalah cemaran Cs-137 pada produk udang, FDA kembali menemukan jejak zat serupa pada sampel cengkih asal Indonesia. Dalam laporannya, FDA menyebut produk cengkih itu berasal dari PT Natural Java Spice (NJS) di Surabaya, Jawa Timur.
Artikel diperbarui pukul 18.48 WIB.