Lebih dari dua dekade setelah 1998, sebagian besar sektor keamanan sudah mengalami pembenahan. Kepolisian memiliki undang-undangnya sendiri sejak 2002, TNI sejak 2004. Namun, satu pilar ...
Penulis: Hoirunnisa
Editor: Sindu

KBR, Jakarta- Suara Lenny Damanik bergetar ketika menyebut nama anaknya yang berinisial MHS, tewas di tangan militer Mei tahun lalu. Terdakwanya Sertu Rizal Pahlevi, anggota TNI aktif.
Ia hafal betul setiap detail hari itu, dari laporan ke Denpom (Detasemen Polisi Militer) I/5 Medan, hingga surat vonis pengadilan militer yang hanya menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara untuk pelaku.
“Oleh karena itu, saya berharap dan meminta kepada auditor yang memeriksa perkara ini untuk banding. Dan saya meminta majelis hakim memberikan hukuman seberat-beratnya. Jangan bunuh anak saya sampai dua kali dengan tidak keadilan,” kata Lenny dalam konferensi pers yang digelar Imparsial, Kamis, (30/10/2025).
Saksi kunci yang melihat kejadian itu, Naura Panjaitan, sempat memberikan keterangan namun ia meninggal sebelum persidangan.
Pelaku tetap berdinas aktif, sementara keluarga korban hanya bisa menyaksikan sidang yang tertutup rapat bagi publik.
“Saya bersama LBH Medan hadir dalam persidangan dituduh provokatif. Padahal, saya tidak ada melakukan kejahatan. Saya hanya memperjuangkan anak saya. Anak saya sudah meninggal, tetapi keadilan anak saya tidak ada. Korban yang lainnya juga banyak, tetapi pelakunya tidak ada,” cerita Lenny.

Ia mengaku sempat didatangi perwakilan pelaku yang meminta maaf lebih dari setahun setelah sidang berjalan.
"Kalau dari awal mereka datang, mungkin saya bisa terima. Tetapi, setelah sidang jalan baru datang, saya tolak,” katanya.
Sudah 1 tahun 5 bulan Lenny menunggu kabar banding kasus anaknya. Tetapi, hingga kini, tidak ada satu surat pun yang datang. Tidak ada Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), tidak ada informasi, hanya kesunyian.
Keluarga korban masih menanti keadilan yang tak kunjung datang. Kini, hanya foto MHS yang tersenyum mengenakan seragam sekolah, tergantung di ruang tamu rumah Lenny di Medan.
“Pelaku justru masih bekerja di satuannya. Sedihnya anak saya tidak mendapatkan keadilan. Saya akan tetap memperjuangkan anak saya, sampai anak saya mendapatkan keadilan,” kata Lenny.
Kepala Pengadilan Militer I-02 Medan, Rony Suryandoko mengatakan, majelis hakim berkesimpulan ditemukan fakta kelalaian Sertu Riza Pahlivi lalai saat menjalankan tugas. Riza divonis 10 bulan pidana penjara, karena tak ada niat jahat, hanya lalai.
"Putusan itu belum berkekuatan hukum tetap, karena saat ini mulai pelimpahan berkas banding di Pengadilan Militer I," katanya saat memberikan keterangan di Medan, Selasa, 28 Oktober 2025, mengutip ANTARA.
Kronologis
MHS (15 tahun) meninggal diduga dianiaya Sertu Riza Pahlevi, Jumat sore, 24 Mei 2024.
Kala itu, MHS melihat ada tawuran, dan ditangkap Bhabinkamtibmas dan Babinsa. Ia diduga dianiaya hingga jatuh ke bawah rel. Menurut LBH Medan, ada luka penganiayaan di dada, tangan, dan kepala.
Remaja kelas 3 SMP itu sempat tak sadar dan dibawa ke rumah sakit, tetapi ia meninggal saat tiba di RSU Madani.
Lenny, ibu korban lantas melapor ke Polsek Tembung, namun polisi menyarankan melapor ke Denpom I/5 Medan lantaran terduga pelaku prajurit TNI.
Mengutip Kompas.com, Lenny lalu mendatangi Denpom dan mengajukan surat pengaduan Nomor: TBLP-58/V/2024, 28 Mei 2024.

Reformasi yang Ditinggalkan
Kasus MHS hanyalah satu dari sekian banyak potret buram peradilan militer. Peneliti Imparsial, Annisa Yudha menyebut, lebih dari dua dekade setelah 1998, sebagian besar sektor keamanan sudah mengalami pembenahan.
Kepolisian memiliki undang-undangnya sendiri sejak 2002, TNI sejak 2004. Namun, satu pilar besar tertinggal yakni, peradilan militer.
“Ketika ingin melanjutkan reformasi, itu tidak terlepas dari mereformasi aktor keamanannya,” ujar peneliti dari Imparsial, Annisa Yudha dalam kesempatan sama.
Hingga kini, pengadilan militer masih tunduk pada UU No. 31 Tahun 1997, produk lama Orde Baru yang lahir bahkan sebelum TNI dipisahkan dari Polri.
Undang-undang ini memberikan kewenangan yuridiksi luas kepada militer, termasuk untuk mengadili kasus pidana umum yang dilakukan anggota TNI. Ini sebuah celah yang melahirkan impunitas sistemik.
“Karena semakin lemahnya kontrol sipil terhadap militer karena banyak kebijakan-kebijakan yang kemudian tidak berprinsip terhadap HAM tidak fair dengan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi dan sebagainya. Itu tadi semakin memperkuat kekebalan impunitas institutional militer dari hukum sipil,” kata Annisa.
Imparsial mencatat, sepanjang Januari hingga September 2025, ada belasan kasus kekerasan melibatkan TNI. Penembakan warga di Aceh dan Lampung, pembunuhan jurnalis perempuan di Kalimantan, hingga penculikan kepala cabang BRI di Sulawesi. Semuanya berakhir dengan hukuman ringan, rata-rata di bawah satu tahun.
“Kalau kita bilang impunity is outdated, faktanya di Indonesia justru impunitas yang sedang trend,” ujar Annisa sarkastik.
LBH Medan: Hukum yang Tak Transparan
Pendamping hukum Lenny, Irvan Saputra dari LBH Medan menyebut, kasus MHS adalah contoh terang benderang impunitas militer.
“Dalam kasus ini, sejak awal prosesnya sudah bermasalah. Pelaku tidak ditahan. SP2HP tidak pernah kami terima. Auditor menolak memberi akses dokumen. Persidangan pun tertutup.” kata Irvan.
Menurutnya, dakwaan yang seharusnya menggunakan Pasal 76C jo. Pasal 80A (3) UU Perlindungan Anak (ancaman 15 tahun penjara) malah diturunkan menjadi Pasal 359 KUHP kelalaian menyebabkan mati, dengan tuntutan hanya setahun, dan vonis 10 bulan.
LBH Medan juga memantau beberapa kasus lain di Sumatra Utara. Di antaranya, kasus MAF, ditembak dua peluru oleh dua anggota TNI. Vonis pelaku hanya 2 tahun 6 bulan.
Selanjutnya kasus penyerangan di Sibiru-biru, Deli Serdang oleh puluhan prajurit, yang menyebabkan korban tewas vonis pelaku 8 hingga 20 bulan penjara.
“Dalam banyak kasus, wartawan bisa siarkan sidang peradilan umum, tetapi tidak untuk peradilan militer. Kami sampai harus curi-curi video. Kalau dibiarkan, peradilan militer ini bukan pengadilan, tetapi teater tertutup yang melanggengkan kekerasan,” kata Irvan.

Akses Keadilan yang Tertutup bagi Perempuan
Bagi Uli Pangaribuan dari LBH APIK Jakarta, masalah peradilan militer bukan hanya impunitas, tetapi juga diskriminasi terhadap perempuan korban kekerasan.
Sejak 2022, LBH APIK mencatat 137 pengaduan kekerasan berbasis gender oleh anggota TNI dan Polri. Namun, mayoritas kasus berhenti di tengah jalan, karena sistem militer tidak memiliki perspektif gender dan tidak mengakui UU TPKS.
“Saat kami mendampingi korban perkosaan oleh anggota TNI, penyidik menolak menerapkan UU TPKS. Mereka bahkan bilang tidak tahu undang-undang itu,” ujar Uli.
Kasus pertama yang Uli ceritakan seorang anggota TNI memperkosa pacarnya dan diadili dengan Pasal 281 KUHP (asusila) bukan pasal perkosaan. Vonisnya hanya 3 bulan penjara, tanpa pemecatan.
Bukan hanya vonis rendah, tetapi proses sidang juga tak transparan dan cenderung mempersulit korban.
“Kami datang ke lokasi sidang, malah difoto dan diawasi. Korban tidak punya ruang aman, karena di ruang pemeriksaan, pelaku dan korban duduk dalam satu ruangan.” kata Uli.
Menurut Uli, aparat militer sering menggunakan alasan 'nama baik kesatuan' untuk menekan korban agar mencabut laporan.
“Bahkan kalau pelaku mau naik pangkat, korban diminta memaafkan ‘demi institusi’,” ujarnya.
KontraS: Data Kekerasan Tak Pernah Turun
Dari sisi pemantauan, Staf Divisi Hukum KontraS, Muhammad Yahya Ihyaroza memaparkan data yang memperkuat bukti kekerasan oleh anggota TNI terus meningkat.
2023-2024 tercatat 64 kasus kekerasan, 18 korban meninggal. Sementara 2024-2025 sebanyak 85 kasus kekerasan, 31 korban meninggal. Yahya bilang, 65% kekerasan terjadi setelah revisi UU TNI 2025, yang justru memperluas peran militer di ranah sipil.
“Alih-alih mengurangi pelanggaran, revisi UU itu malah memperkuat kewenangan militer dan membuat mereka makin sulit disentuh hukum,” jelas Yahya.
Data pemantauan KontraS juga menunjukkan, vonis bagi prajurit TNI rata-rata hanya 3-10 bulan, tanpa satu pun disertai pemberhentian tidak hormat.
“Tidak ada efek jera. Itulah mengapa kasus terus berulang setiap tahun,” katanya.

Impunitas yang Terlembaga
Dari semua yang terjadi, satu benang merah muncul adalah peradilan militer telah menjadi sarang impunitas terlembaga. Ia tidak hanya menutup akses keadilan bagi korban, tetapi juga merusak profesionalisme TNI sendiri.
Menurut Annisa dari Imparsial, kondisi ini sudah lama diantisipasi oleh undang-undang.
Pasal 65 Ayat 2 UU TNI 2004 dengan jelas menyebutkan, prajurit tunduk kepada peradilan umum jika melakukan tindak pidana umum.
Namun, hingga kini aturan itu tak pernah dijalankan, karena UU Peradilan Militer yang lebih tua belum direvisi.
Akibatnya, muncul kontradiksi hukum antara UU baru yang mengamanatkan transparansi dan UU lama yang tetap memberi kekuasaan mutlak kepada militer.
“Selama peradilan militer tidak direformasi, supremasi sipil hanya slogan dan selama itu pula impunitas akan terus jadi wajah hukum kita,” kata Annisa.
Baca juga:





