ragam
Batas Usia Lowongan Kerja adalah Diskriminasi, Stop Normalisasi

Diskriminasi usia dalam lowongan pekerjaan adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Penulis: Aura Antari, Sindu

Editor: Sindu

Google News
Batas Usia Lowongan Kerja adalah Diskriminasi, Stop Normalisasi
Ilustrasi: Batas usia jadi salah satu penghambat para pekerja mencari pekerjaan. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Syarat batas usia atau ageisme dalam penerimaan lowongan kerja di sebagian besar perusahaan Indonesia merupakan diskriminasi yang harus dihapus.

Pendapat itu disampaikan Pakar Hukum Perburuhan Univesitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati menangapi Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer (Noel) yang menyebut syarat batas usia menghambat pencari kerja.

Namun kata Nabiyla, Undang-Undang Ketenagakerjaan belum secara spesifik menyebutkan pembatasan usia sebagai sebuah diskriminasi. Karena itu, beberapa waktu lalu muncul gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang menginginkan adanya pasal terkait diskriminasi usia.

"Meskipun akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Ini kan menunjukkan bahwa di masyarakat memang ada concern gitu soal lowongan pekerjaan yang di Indonesia tuh normal sekali mencantumkan batasan usia tanpa ada justifikasi yang jelas sebenarnya. Pekerjaan-pekerjaan tertentu diberikan batas usia 25 tahun, 26 tahun, yang mana itu sangat muda sebenarnya tanpa ada justifikasi kenapa orang di atas usia tersebut tidak bisa mendaftar di lowongan pekerjaan tersebut," ujarnya kepada KBR, Selasa, (8/4/2025).

red
Ilustrasi: Batas usia lowongan kerja. Foto: Pixabay_Alexas_Fotos

Revisi

Nabiyla mengatakan, diskriminasi usia dalam lowongan pekerjaan adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ia mendorong pemerintah serius menangani isu ini dengan memasukkan larangan diskriminasi usia dalam Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan.

"Kalau saya pribadi saya beranggapan bahwa itu adalah diskriminasi, dan dia melanggar hak asasi manusia. Tetapi, sayangnya, instrumen hukum kita sampai sekarang belum ada yang secara tegas mengatakan bahwa diskriminasi usia adalah pelanggaran hak asasi manusia, dan juga melanggar dan masuk ke dalam konteks diskriminasi," ujarnya.

Praktik di Negara Lain dan Korban PHK

Nabiyla mengatakan praktik di negara lain seperti Eropa dan Amerika, melarang pencantuman batas usia kecuali ada alasan sangat jelas, misalnya terkait kesehatan atau kebutuhan fisik pekerjaan. Menurutnya, hal ini perlu agar tenaga kerja dapat berganti pekerjaan bila sudah tidak pas dengan usia mereka.

Nabiyla menilai, penghapusan syarat usia dalam lowongan kerja dapat berdampak baik, terutama bagi mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurutnya, kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan baru dapat lebih dijamin.

"Jadi, banyak orang usia 30 tahun misalnya dia di-PHK karena kondisi seperti ini. Jadi, coba bayangkan berarti orang-orang kayak gini kan akan sulit sekali untuk bisa mencari pekerjaan baru ketika batas lowongan usia pekerjaan itu masih diterapkan, masih banyak diterapkan di Indonesia. Jadi, setidak-tidaknya dengan penghapusan batasan usia dalam lowongan pekerjaan, kesempatan orang-orang yang di-PHK ini tadi untuk mendapatkan pekerjaan baru itu menurut saya bisa lebih dijamin gitu, karena jadi setidaknya mereka tidak tertahan dari awal," tuturnya.

Akar Masalah

Nabilya menyebut akar persoalan diskriminasi usia terjadi akibat tingginya jumlah pencari kerja dan normalisasi praktik pembatasan usia oleh perusahaan. Sebab, pekerja muda cenderung menerima gaji minim dan perlindungan yang rendah.

"Selain itu juga ada kebutuhan untuk mendapatkan tenaga kerja murah. Orang yang sudah lebih berumur biasanya mereka punya standar yang lebih tinggi ketika berbicara soal gaji dan kualitas kerja. Sedangkan, perusahaan lebih senang menerima anak-anak yang lebih muda yang bisa diberikan gaji minim dengan dengan perlindungan yang juga minim karena mereka enggak punya daya tawar yang cukup untuk bisa meminta lebih," ujarnya.

"Terutama yang terakhir juga pembiaran sih dari pemerintah. Kan tahu, ya, selama ini bahwa hal itu terjadi. Kalau misalnya kita lihat portal lowongan pekerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker) saja yang jelas-jelas di situ diawasi langsung oleh pemerintah gitu, ya, nyaris semua lowongan pekerjaan di situ mencantumkan batasan usia di situ. Kan, secara tidak langsung seakan-akan pemerintah membolehkan, ya, kayak, ya, wajar saja gitu ada lowongan pekerjaan yang yang memberikan batasan usia," ungkapnya.

red
Ilustrasi: pixabay-job-geralt


Uji Materi di MK

Tahun lalu, seorang warga Bekasi, Jawa Barat, Leonardo Olefins Hamonongan pernah menguji materi Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Menurut Leonardo, Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan membatasi akses dan kesempatan bagi tenaga kerja mendapat pekerjaan sesuai keahlian dan keterampilan yang dimiliki.

Kata dia, norma ini juga menyebabkan ketidakpastian hukum lantaran ketidakjelasannya dan kurangnya pedoman, akibatnya bisa memunculkan penafsiran berbeda-beda dalam praktiknya. Selain itu, dapat menciptakan konflik hukum antara pemberi kerja, tenaga kerja, dan regulator.

Namun, MK menolak permohonan uji materi tersebut. Pertimbangan hukumnya menurut Hakim MK Arief Hidayat adalah, HAM dikatakan sebagai tindakan diskriminasi jika terjadi perbedaan yang didasarkan suku, agama, ras, etnik, kelompok, golongan, status ekonomi, status sosial, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Menurutnya, batasan diskriminasi tidak terkait dengan usia, latar belakang pendidikan, dan pengalaman kerja.

“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo bersama delapan hakim konstitusi lain dalam sidang pengucapan putusan/ketetapan,Selasa, (30/7/2024), seperti dikutip KBR, Rabu, 09 April 2025.

Sementara itu, Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah menyatakan dissenting opinion. Menurutnya, jika dilihat lebih dalam, khususnya dari kacamata keadilan, norma a quo potensial disalahgunakan, karena itu butuh penegasan lantaran sangat bias, dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Ia berpendapat, seharusnya MK bisa mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, meski dari segi hukum secara umum, pasal yang diuji pemohon sepertinya tidak memiliki persoalan konstitusionalitas.

Perempuan Paling Terimbas

Survei Women of Influence+ tentang "Menjelajahi Dampak Ageisme pada Perempuan di Tempat Kerja", Februari tahun lalu menyebut, sekitar 77,8 persen perempuan yang disurvei mengalami diskriminasi usia dalam karier mereka. Survei menyebut, ageisme sebagai penghalang, tetapi kerap kali diabaikan untuk pertumbuhan profesional.

Women of Influence+ adalah organisasi terkemuka global yang berkomitmen memajukan kesetaraan gender di tempat kerja.

Secara definisi, ageisme ialah bentuk prasangka dan diskriminasi kepada kelompok atau individu berdasarkan usia. Diskriminasi ini berdampak negatif pada individu. 

Prasangka atau diskriminasi ini sering mengarah ke generalisasi atau stereotipe orang berdasarkan usia mereka, terlepas kemampuan, pengalaman, atau atribut individu masing-masing.

Survei dilakukan Januari dan Februari 2024 terhadap 1.250 perempuan di 46 negara, dari berbagai industri. Survei mengeplorasi nuansa ageisme dan imbasnya ke perempuan di tempat kerja.

red
Ilustrasi: Lowongan pekerjaan_pixabay-parveender

Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan

Mengutip The Conversation, perempuan di Indonesia juga yang paling banyak terimbas ageisme. Alasannya antara lain, karena sebagian besar perempuan berhenti bekerja sementara ketika menikah, hamil, melahirkan, dan mengurus anak. Lalu, ketika kembali bekerja, usia mereka melewati batas yang banyak disyaratkan di dalam lowongan pekerjaan.

Diduga, hal ini jadi salah satu sebab mengapa angka partisipasi angkatan kerja perempuan secara nasional berada di bawah laki-laki, yakni 53,42 persen, sedangkan laki-laki 83,87 %. Pun ketika perempuan kembali bekerja, kerap kali hanya bisa di sektor informal, yang cenderung tak punya batasan usia.

Aturan

Secara aturan, tak ada ketentuan eksplisit terkait larangan adanya batas usia di UU Ketenagakerjaan Tahun 2003. Hanya saja pada Pasal 5 menyebut, "Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan."

Dalam Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor III tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, yang telah diratifikasi Indonesia di Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999, dijelaskan soal alasan pengesahan konvensi tersebut. Yakni, untuk mencegah, melarang, dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan.

Wacana Wamenaker

Sebelumnya, Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker) Immanuel Ebenezer (Noel) mengatakan syarat batas usia membuat pencari kerja usia produktif jadi putus asa dan menghambat mereka. Wamenaker menyinggung agar aturan itu dihapus.

Namun, di sejumlah informasi lowongan kerja yang diunggah ke Instagram Kementerian Ketenagakerjaan masih mencantumkan batas usia bagi para pelamar kerja. Semisal lowongan kerja HC Officer di PT Putra Wijayakusuma Sakti yang diunggah di IG Kemenaker, 8 Maret 2025. Dalam lowongan itu disebutkan usia maksimal pelamar adalah 35 tahun.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, angkatan kerja menurut golongan umur adalah 15-60 tahun plus.

Pada Februari tahun lalu, angka pengangguran di rentang usia itu mencapai 7.194.862. Dari jumlah itu, ada 312 ribu orang berusia 45-49 tahun, 208 ribu orang usia 50-54 tahun, 165 ribu orang usia 55-59 tahun, dan 202 ribu orang usia 60+.

Jumlah total pengangguran tersebut naik menjadi 7.465.599 di bulan Agustus tahun yang sama.

Baca juga:

Batas Usia
Lowongan Kerja
Ageisme
Kementerian Ketenagakerjaan

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...