Indonesia secara resmi telah bergabung dengan aliansi internasional BRICS Plus. BRICS Plus telah diakui internasional sebagai salah satu blok ekonomi terbesar di dunia.
Penulis: Heru Haetami, Astri Septiani, Astri Yuanasari
Editor: Agus Luqman

KBR, Jakarta - Pemerintah diminta berhati-hati menerapkan kebijakan ekonomi usai bergabung dengan aliansi ekonomi dan politik BRICS Plus. Terutama dampaknya terhadap perekonomian dalam negeri.
Indonesia secara resmi telah bergabung dengan aliansi internasional BRICS Plus. Ini merupakan kelompok kerja ekonomi dan politik yang didirikan lima negara besar yaitu Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan.
- Saat ini BRICS Plus beranggotakan 10 negara, terdiri dari lima negara pendiri dan tambahan perluasan anggota yaitu Mesir, Uni Emirat Arab, Iran, Ethiopia dan Indonesia. Indonesia menjadi anggota ke-10 yang bergabung di BRICS Plus. Arab Saudi juga diundang bergabung, namun hingga Desember 2024 masih belum resmi.
- BRICS Plus kini diakui internasional sebagai salah satu blok ekonomi terbesar di dunia.
Kementerian Luar Negeri mengeklaim, bergabungnya Indonesia dengan BRICS merupakan bentuk peran aktif Indonesia dalam isu-isu global.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rolliansyah Soemirat mengatakan Indonesia berkomitmen mewujudkan tatanan global yang lebih inklusif dan berkeadilan.
"BRICS merupakan wadah penting bagi Indonesia untuk memperkuat kerjasama antara Selatan-Selatan dan memastikan suara dari negara-negara Global-South, aspirasi dari negara-negara Global-South dapat terwakili dalam proses pengambilan keputusan secara global," kata Rolliansyah kepada wartawan, dikutip dari Antara, Selasa (7/1/2025).
Kementerian Luar Negeri menyatakan, partisipasi Indonesia di BRICS merupakan wujud amanat konstitusi untuk berperan aktif dalam menjaga tatanan global.
Di bidang ekonomi, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) menilai status keanggotaan penuh Indonesia di BRICS bakal menguntungkan.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Indonesia merupakan negara berdaulat yang independen, meski bergabung menjadi anggota aliansi BRICS.
Menurutnya, Indonesia terlalu besar untuk berpihak kepada satu negara saja. Luhut yakin, keanggotaan di BRICS akan memberikan keuntungan bagi Indonesia.
"Kita enggak perlu. Apalagi sekarang ini dengan presidennya seperti pak Prabowo. Tidak perlu. Jadi kita perlu merdeka. Perlu independen. Ya sedikit nakal-nakal lah. Menunjukkan bahwa kita punya saya juga. Apa keuntungan kita dengan BRICS? Ya market kita lebih besar," kata Luhut saat konferensi pers (9/1/25).
Luhut juga menyoroti masalah global mulai dari perlambatan ekonomi di China, krisis energi di Eropa, hingga ketidakpastian tarif di Amerika Serikat.
Sementara itu, Anggota DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera menduga, bergabungnya Indonesia dengan BRICS menjadi salah satu upaya untuk mendorong ambisi pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Namun Mardani mengingatkan, pemerintah mesti mengantisipasi kemungkinan respons yang akan dikeluarkan Presiden Amerika terpilih Donald Trump.
"Pak Prabowo punya tugas berat, pertumbuhan ekonomi 8 persen, karena itu semua pintu mesti dibuka, baik OECD ataupun BRICS. Bukan tugas mudah mengayuh bahtera Indonesia di antara dua karang, tapi niatnya mulia, karena itu kita harus dukung. Bisa jadi akan ada respon dari Donald Trump atau blok barat, tapi dengan pendekatan yang tepat dan juga persatuan, kita insyaallah bisa maju, tumbuh 8 persen, tercapai," kata Mardani kepada KBR, Kamis, (9/1/2025).
Hal yang sama disampaikan Ekonom senior Indef Tauhid Ahmad. Dia menilai, keanggotaan RI di BRICS bisa memengaruhi hubungan ekonomi dengan Amerika Serikat.
Salah satu kemungkinannya adalah kenaikan tarif ekspor. Apalagi Trump sempat mengancam akan mengenakan tarif 100 persen pada blok negara BRICS, jika menciptakan mata uang saingan.
"Responnya nanti kemungkinan ya the worst case-nya kita kena tarif. Kenaikan tarif, ya Amerika biasa saja kita tidak mendapatkan special prevention tarif. Sebelumnya, biasa saja itu dicabut, sehingga konsekuensinya tarif ekspor kita ke Amerika bisa lebih tinggi," ucap Tauhid kepada KBR, Rabu (8/1/2025).
Ekonom senior Indef Tauhid Ahmad menilai keanggotaan BRICS bisa mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS. Sehingga nilai tukar masing-masing negara terhadap dolar bisa lebih stabil.
Tauhid menambahkan, masuknya Indonesia ke BRICS juga bisa mengurangi hambatan perdagangan dengan negara anggota yang lain.
"Nah, ini dilakukan melalui tadi perdagangan antarnegara bilateral atau multilateral di antara negara BRICS itu tidak lagi menggunakan US dollar ya, tapi menggunakan apa namanya menggunakan nilai tukar masing-masing negara begitu. Nah, sehingga dolarnya nggak perlu keluar masuk dari negara tersebut sehingga lebih stabil," kata Tauhid.
Tauhid mengingatkan masyarakat akan makin digempur produk impor jika tidak siap bersaing dengan sesama anggota BRICS.
"Resiko terbesarnya kalau kita nggak siap, ya misalnya importasi bisa saja lebih tinggi, begitu ya kan. Kalau kita membuka pasar lebih besar, maka eksportnya juga harus diperbesar, gitu kan. Kita membuka diri, ya otomatis kalau nggak punya daya saing, ya bisa jadi importasi kita dari Cina bisa jadi lebih besar lagi, kan. Risikonya seperti itu," kata Tauhid.
Baca juga:
- Indonesia Resmi Gabung BRICS, Apa Komitmen Pemerintah?
- KTT BRICS, Jokowi Tolak Diskriminasi Perdagangan
Sejarah BRICS
Pada awalnya, konsep BRIC diperkenalkan pertama kali oleh ekonom Jim O'Neill dari Goldman Sachs pada 2001. ia mengidentifikasi Brasil, Rusia, India, dan China sebagai negara-negara dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
BRIC menggelar pertemuan puncak perdana pada 2009 di Rusia. Setahun kemudian, pada 2010, Afrika Selatan bergabung dan kelompok ini berubah menjadi BRICS.
- Pada 2024, kelompok ini berkembang menjadi BRICS+ dengan penambahan anggota baru seperti Uni Emirat Arab, Mesir, Iran, dan Ethiopia. Indonesia resmi bergabung pada Januari 2025.
BRICS+ bertujuan meningkatkan kerja sama ekonomi di antara negara-negara anggota. Kelompok ini juga berusaha membangun pengaruh geopolitik yang lebih besar untuk menyeimbangkan dominasi negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.
- Organisasi ini juga mendorong perdagangan bebas dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam transaksi internasional. Selain itu, BRICS Plus juga menyusun strategi untuk membantu negara-negara berkembang dalam bidang ekonomi, teknologi, dan diplomasi.
Kekuatan ekonomi
Negara-negara anggota BRICS memiliki populasi yang sangat besar, mencakup sekitar 43 persen dari total populasi dunia, dan berkontribusi sekitar 35 persen dari PDB global.
- Data lembaga moneter internasional IMF bahkan mencatat BRICS menyumbang 37,3 persen terhadap PDB global pada 2024. Angka ini lebih besar dari kontribusi negara anggota G7 yang menyumbang 30 persen pada PDB global. Ini menunjukkan BRICS Plus telah menjadi kekuatan penyeimbang di ekonomi global.
Parlemen Uni Eropa menyebut kekuatan ekonomi BRICS+ lebih dari dua kali lipat ekonomi Uni Eropa yang hanya 14,5 persen.
- Walaupun, Uni Eropa menilai, masuknya kekuatan baru ke BRICS akan membawa potensi konflik (seperti Arab Saudi dan Iran, atau Mesir dan Ethiopia) ke dalam kelompok, sehingga mempersulit tercapainya konsensus mengenai posisi politik bersama.
Masuknya anggota baru seperti Arab Saudi, Iran dan Uni Emirat Arab menjadikan BRICS Plus menguasai sekitar 43 persen dari produksi minyak global dan memiliki cadangan besar bahan mentah yang penting bagi dunia, khususnya pasar energi.
- Kelompok ini juga disebut menguasai sekitar 20 persen dari perdagangan barang dunia dan memiliki potensi untuk meningkatkan pangsa pasar ini dengan penambahan anggota baru. Pangsa ekspor barang global BRICS meningkat dari 10,7 persen pada tahun 2000 menjadi 23,3% pada tahun 2023, sementara pangsa G7 mengalami penurunan
BRICS Plus kini berfungsi sebagai platform bagi negara-negara berkembang untuk berkolaborasi dalam menghadapi tantangan global dan mempromosikan kepentingan mereka di arena internasional.