indeks
Revisi UU Perlindungan Konsumen: Berusia Lebih Dua Dekade, Era Digital Tuntut Transformasi Fundamental

“Saya kira sudah cukup absah secara situlogis dan hukum untuk Undang-Undang Pelindungan Konsumen ini mengalami transformasi," ujarnya

Penulis: Naomi Lyandra

Editor: Resky Novianto

Google News
daring
Ilustrasi warga menggunakan aplikasi untuk belanja daring. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memasuki usia lebih dari dua dekade. Seiring perubahan lanskap ekonomi digital, desakan terhadap amendemen menyeluruh terhadap undang-undang ini kian menguat.

Dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Konsumen, berbagai pihak dari lembaga negara, DPR, hingga organisasi konsumen menyuarakan pentingnya revisi substansial yang adaptif terhadap era digital.

Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, menegaskan urgensi perubahan menyeluruh, bukan sekadar revisi terbatas.

“Saya kira sudah cukup absah secara situlogis dan hukum untuk Undang-Undang Pelindungan Konsumen ini mengalami transformasi. Jadi yang kami harapkan sebenarnya transformasi dalam arti bukan hanya revisi, tapi juga amendemen," ungkap Tulus dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (14/7/2025).

Menurutnya, revisi cenderung menyentuh "kulit-kulitnya saja", sedangkan amendemen berarti perubahan fundamental dalam substansi.

Ia menekankan pentingnya pengaturan Online Dispute Resolution (ODR) sebagai bagian tak terpisahkan dari mekanisme perlindungan konsumen digital.

“Ketika terjadi sengketa itu menjadi tidak efektif kalau diselesaikan secara konvensional... oleh karena itu perlu ODR sebagai basis dalam penelusuran sengketa yang berbasis digital," tambahnya.

Dampak Ekonomi Digital pada Konsumen 

Tulus juga menyoroti besarnya dampak ekonomi digital terhadap konsumen, seperti maraknya pinjaman online ilegal (pindar) atau pinjaman daring dan sengketa dalam e-commerce.

“Konsumen kita dibombardir dengan produk-produk minuman manis, penyakit-penyakitnya muncul di diabetes, ini harus diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen," ujar Tulus.

Selain ODR, ia mengusulkan pelarangan iklan produk adiktif, termasuk rokok dan minuman berpemanis, serta pembentukan lembaga penerbit perjanjian standar untuk menghindari penyalahgunaan klausula baku yang merugikan konsumen.

red
Ilustrasi - Warga mengakses aplikasi belanja daring di Rangkasbitung, Lebak, Banten, Jumat (24/1/2025). ANTARA FOTO

Pembahasan di Rapat Panja DPR RI

Anggota Panja RUU Perlindungan Konsumen Komisi VI DPR RI, Askweni menegaskan bahwa amendemen UU ini menjadi prioritas tinggi DPR RI pada 2025.

"Komisi 6 berusaha, kami anggota ini dengan di-backup oleh para tenaga ahli, badan keahlian DPR, akan libatkan semua pihak, termasuk masyarakat sipil,” tegasnya.

Legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyebut dalam proses yang sedang berjalan, Komisi VI sudah dan akan terus melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan pelaku usaha, akademisi, hingga organisasi konsumen.

Askweni juga menyuarakan keprihatinannya atas banyaknya kasus kerugian digital yang belum memiliki mekanisme hukum yang memadai.

"Digitalisasi transaksi mengarah kepada cross-border dispute, ini membutuhkan aturan hukum yang lebih kuat. Tanggung jawab platform digital dan klasula baku harus diatur secara jelas," ujar Askweni.

Selain itu, Komisi VI juga menekankan pentingnya menjembatani kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara seimbang dan adil. 

"Perlindungan konsumen tak bisa hanya mengandalkan satu pihak. Diperlukan sinergi lintas sektor antara regulator, pelaku usaha, dan masyarakat sipil," tuturnya.

MPR: Perkembangan Teknologi Memacu Penguatan Perlindungan Konsumen

Wakil Ketua MPR RI sekaligus Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menegaskan pentingnya revisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara optimal, memadai, dan relevan untuk menjawab tantangan global dan perkembangan teknologi yang semakin pesat, sehingga ekonomi bangsa bisa terus tumbuh dengan konsumen yang terlindungi.

Mengutip dari mpr.go.id, Ibas menjelaskan bahwa perkembangan teknologi, seperti artificial intelligence (AI), e-commerce, fintech, dan digital asset, telah mengubah landscape perdagangan.

“Teknologi memudahkan kita dalam berinteraksi dan bertransaksi, tetapi di sisi lain, ia juga membawa risiko jika disalahgunakan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ibas juga menyoroti tingginya jumlah pengaduan konsumen dari waktu ke waktu.

“Setiap tahun, ada sekitar 1.000 hingga 3.000 aduan, dengan kerugian mencapai ratusan miliar hingga triliun rupiah,” ungkapnya.

Sektor-sektor yang paling sering dikeluhkan antara lain jasa keuangan, fintech, e-commerce, barang elektronik, obat-obatan, dan makanan minuman.

“Masih ada kasus-kasus seperti skincare ilegal, pinjol ilegal, dan penjualan makanan minuman, obat obatan yang tidak berkualitas,” tambahnya.

red
Ilustrasi - Warga berbelanja secara daring di salah satu aplikasi belanja daring. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Untuk menghadapi tantangan ini, Ibas mengajak semua pihak untuk bersinergi menyusun aturan baru dengan mengedepankan asas keadilan.

“Kita perlu melakukan terobosan agar kebijakan ekonomi dan perdagangan tetap berkeadilan, sambil memberikan perlindungan yang optimal bagi konsumen,” tegasnya.

Edhie Baskoro menyarankan beberapa langkah konkret untuk memperkuat perlindungan konsumen, seperti penyesuaian regulasi, pengawasan yang lebih ketat, dan pemberian sanksi yang tegas.

“Kita juga perlu memperkuat hak-hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha, termasuk transparansi informasi produk, jaminan mutu, dan kompensasi jika ada ketidaksesuaian,” jelasnya.

Dorongan Revisi UU Perlindungan Konsumen sesuai Perkembangan Zaman

Anggota Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Novriansyah mengakui bahwa Undang-Undang yang ada masih memadai untuk perlindungan dasar. Namun, ia menekankan bahwa kompleksitas baru di era digital belum diakomodasi secara cukup.

“Undang-Undang Perlindungan Konsumen masih dapat digunakan untuk perlindungan dasar konsumen namun masih sangat kurang responsif terhadap perlindungan konsumen di era digital ini," jelas Novriansyah.

Ia menyebutkan bahwa risiko konsumen meningkat akibat penyalahgunaan data pribadi, ketimpangan informasi, dan rendahnya literasi digital.

"Kita ketahui sendiri, setiap daftar aplikasi kita pasti diminta foto KTP. Ini rentan terjadi penyalahgunaan data pribadi,” lanjutnya.

Novriansyah juga mendukung penguatan peran lembaga konsumen dan menyampaikan bahwa BPKN membuka layanan pengaduan secara digital melalui aplikasi dan media sosial.

“Perlindungan konsumen harus menjadi prioritas utama, bukan hanya soal hukum tetapi juga menyangkut keadilan, keberlanjutan ekonomi digital dan kepercayaan publik," pungkasnya.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media

Baca juga:

- Polemik Pajak Pedagang di E- Commerce: Pemerintah Klarifikasi, UMKM Minta Kesiapan Infrastruktur

UU Perlindungan Konsumen
Revisi UU Perlindungan Konsumen
Amendemen

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...