indeks
Potensi Langgar HAM, Hentikan Penggusuran di Padang Halaban

Lembaga pemantau dalam hal ini, misalnya Komnas HAM harus turun melakukan pemantauan terkait dengan potensi terjadinya pelanggaran HAM di Padang Halaban

Penulis: Ardhi Ridwansyah

Editor: Resky Novianto

Google News
kekerasan
Ilustrasi kekerasan aparat. Foto: Wikimedia

KBR, Jakarta- Koalisi masyarakat sipil mengecam keras upaya penggusuran penduduk yang dilakukan PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology (PT. SMART) di Perkebunan Padang Halaban, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatra Utara.

Perjuangan warga di Perkebunan Padang Halaban, khususnya yang tergabung dalam Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPH-S).

Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Hans Giovanny Yosua meminta agar Komnas HAM segera turun tangan dalam kasus konflik lahan itu.

“Lembaga pemantau dalam hal ini, misalnya Komnas HAM harus turun melakukan pemantauan terkait dengan potensi terjadinya pelanggaran HAM di Padang Halaban mengingat di sana sudah ada pengerahan kekuatan atau pengerahan aparat yang patut diduga pengerahan tersebut dilakukan secara berlebihan atau eksesif,” ucapnya kepada KBR, Minggu (2/3/2025).

Hans mengatakan Ombudsman RI mestinya bisa mulai menilik potensi maladministrasi dari TNI maupun Polri dalam upaya penggusuran.

“Polri TNI harus bijaksana untuk tidak serta merta melakukan tidakan yang berlebihan yang berpotensi terjadi pelanggaran terhapap hak masyarakat, tetapi harus bijaksana jangan sampai pelanggaran HAM terjadi dan sebisa mungkin menarik pasukannya dari Padang Halaban,” tuturnya.

Baca juga:

Komnas HAM: Pelanggaran Akibat Konflik Agraria jadi Aduan Terbanyak Tiap Tahun

Terkait penggusuran sendiri, Hans menilai, seharusnya pemerintah dalam hal ini melindungi hak masyarakat bukan malah berpihak kepada korporasi.

“Pada era Orde Baru tanah yang selama ini ditinggali oleh masyarakat kemudian dialihkan ke perusahaan, perusahaan diberikan HGU (Hak Guna Usaha) nah ini menunjukkan negara yang lebih berpihak kepada perusahaan," tutur Hans.

"Dalam konteks ini harusnya pemerintah berpihak ke masyarakat dan mencari solusi agar masyarakat tetap mempertahankan tanahnya tidak lalu kemudian dialihkan jadi milik korporasi,” katanya.

Respons Komnas HAM

Komnas HAM RI terus memantau penyelesaian sengketa lahan antara Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPH-S) dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT.SMART Tbk) seluas 83,5 hektare di Desa Panigoran, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara.

Komisioner Bidang Mediasi Komnas HAM Prabianto Mukti Wibowo mengatakan penyelesaian sengketa agraria seperti pada kasus sengketa antara KTPH-S dengan PT. SMART harus dilakukan melalui proses yang transparan dan adil.

Penyelesain juga mesti mengedepankan dialog antara semua pihak terkait, bukan dengan cara pemaksaan yang merugikan pihak yang lebih lemah (kelompok marjinal).

“Dalam hal, penyelesaian sengketa agraria tidak berpihak pada pemenuhan hak kelompok marjinal, maka negara dinilai gagal melaksanakan kewajibannya untuk memastikan keadilan bagi semua pihak, terutama mereka yang sumber penghidupannya bergantung pada sektor pertanian dan/atau perkebunan,” jelasnya melalui keterangan resmi kepada KBR, Minggu (2/3/2025).

Baca juga:

- Serikat Petani Minta Prabowo Evaluasi Pelaksanaan Reforma Agraria

Komnas HAM RI meminta kepada semua pihak untuk menahan diri, melakukan komunikasi dan dialog, serta menciptakan kondisi yang kondusif guna tercapainya kesepakatan perdamaian diantara para pihak yang bersengketa.

Prabianto menambahkan, sengketa lahan ini sudah pernah diupayakan penyelesaiannya oleh Komnas HAM RI pada tahun 2013 – 2015, namun saat itu para pihak yang bersengketa tidak mencapai kesepakatan perdamaian,

Sehingga berujung pada proses hukum dan penetapan pelaksanaan eksekusi obyek sengketa berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Rantau Prapat Nomor 65/Pdt.G/2013/PN.Rap tanggal 15 Februari 2020. 

Pelaksanaan eksekusi tersebut semula akan dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 28 Februari 2025, namun kemudian diundur pada hari Kamis tanggal 6 Maret 2025.

Terkait upaya penggusuran paksa, Komnas HAM mengatakan perlu dihindari mengingat hak atas tempat tinggal yang layak dan hak atas kesejahteraan telah dijamin dalam norma hukum dan HAM di antaranya tercantum dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam Pasal 25 ayat (1).

“Korporasi memiliki tanggung jawab untuk menghormati HAM, yang berarti dilarang melakukan aktivitas yang mengganggu atau mengurangi penikmatan HAM yang diakui secara universal," jelas Prabianto.

"Yaitu dengan cara menghindari, mengurangi, mencegah, dan memulihkan dampak negatif dari operasional korporasi, terutama dalam kaitannya dengan hak atas tempat tinggal,” imbuhnya.

Prabianto menambahkan tanggung jawab korporasi dalam penghormatan HAM diatur dalam Prinsip-prinsip Panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Bisnis dan HAM (the UN Guiding Principles on Business and Human Rights) Tahun 2011, yang selanjutnya diadopsi dalam Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM.

Sementara negara, lanjut dia, sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) mempunyai tanggung jawab dan kewajiban atas pelaksanaan hak asasi manusia. 

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik pada level pusat maupun daerah, negara merupakan pihak yang secara hukum bertanggung jawab dan berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk juga hak atas tempat tinggal yang layak.

Hal ini sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Baca juga:

Reforma Agraria di 100 Hari Pemerintahan Prabowo, Ini Catatan KPA

Padang Halaban
Penggusuran
Agraria

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...