indeks
Peraturan Kapolri 4/2025 Dinilai Cacat Prosedural, Tidak Urgen, dan Melampaui Kewenangan

Aturan ini dianggap memperlebar ruang penyalahgunaan wewenang serta mengancam hak asasi warga negara.

Penulis: Naomi Lyandra, Khalisa Putri

Editor: Sindu

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Peraturan Kapolri 4/2025 Dinilai Cacat Prosedural, Tidak Urgen, dan Melampaui Kewenangan
Ilustrasi: Aksi kekerasan polisi saat demo. Foto: ICJR

KBR, Jakarta- Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Polri tidak hanya cacat prosedural, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi.

Penilaian itu disampaikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merespons penerbitan perkap tersebut oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Senin, 29 September 2025.

“Perkap ini adalah upaya ilegal kepolisian untuk melegitimasi kepentingan eksklusif institusi dengan menabrak prinsip negara hukum,” tulis YLBHI dalam rilisnya, Kamis, (2/10/2025).

Menurut YLBHI, terdapat lima catatan kritis utama dalam perkap ini:

  1. Melampaui kewenangan: Sebagai peraturan internal, perkap tidak boleh mengatur tindakan upaya paksa yang membatasi hak asasi manusia seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penggunaan senjata api. Hal tersebut semestinya diatur dalam undang-undang yang melibatkan DPR dan pemerintah.
  2. Bertentangan dengan KUHAP: Perkap ini tidak merujuk pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan menambah kewenangan yang tidak dikenal dalam hukum acara pidana.
  3. Istilah multitafsir: Frasa seperti aksi penyerangan dan Tindakan kepolisian tidak memiliki definisi operasional yang jelas, sehingga berpotensi disalahgunakan.
  4. Bertentangan dengan peraturan internal sebelumnya, seperti Perkap No. 1/2009 dan Perkap No. 8/2009 yang menegaskan penggunaan kekuatan secara proporsional dan sebagai upaya terakhir.
  5. Minim akuntabilitas: Tidak adanya mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban atas tindakan aparat membuka peluang impunitas.

YLBHI juga menilai penerbitan peraturan ini kemunduran reformasi kepolisian, terutama setelah kapolri membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri pada 17 September 2025.

“Alih-alih mereformasi, Polri justru memperkuat kekuasaan koersifnya,” tutup rilis tersebut.

red
Tangkapan layar Perkap Nomor 4 Tahun 2025
advertisement


Berpotensi Melanggar HAM

Kritik juga datang dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Menurut mereka, Perkap Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Polri sebagai kebijakan yang bermasalah secara substansi dan prosedural.

Aturan ini dianggap memperlebar ruang penyalahgunaan wewenang serta mengancam hak asasi warga negara.

Kepala Divisi Hukum KontraS, Andrie Yunus menegaskan, Perkap 4/2025 tidak memiliki urgensi untuk diterbitkan. Kata dia, tidak ada situasi genting yang dapat membenarkan keluarnya peraturan tersebut.

“Secara substansi sangat bermasalah dalam sudut pandang penegakan hak asasi manusia,” ujar Andrie, Kepada KBR, Senin, (06/10/2025).

Ia menilai, sejumlah pasal dalam perkap justru mengatur pembatasan hak asasi manusia yang seharusnya diatur undang-undang, bukan peraturan internal kepolisian.

Salah satu masalah utama adalah pemberian kewenangan kepada polisi untuk menangkap, menggeledah, dan menyita tanpa izin pengadilan dengan dalih pengamanan barang atau benda.

“Itu semua diatur dalam KUHAP untuk mencegah abuse of power. Dan saya tidak yakin penerapan di lapangan akan memerhatikan prinsip dua bukti permulaan yang cukup,” tambahnya.

Tak Ada Partisipasi Publik

Selain masalah substansi, Andrie juga menyoroti absennya partisipasi publik dalam penyusunan peraturan tersebut. Ia menilai, prosesnya tidak transparan dan tidak berangkat dari evaluasi yang jelas terhadap aturan sebelumnya.

Perkap 4/2025 diterbitkan di tengah rencana besar reformasi Polri yang baru saja digulirkan. Namun, bagi KontraS, kebijakan ini justru berlawanan arah dengan semangat reformasi kelembagaan yang diharapkan publik.

“Perkap ini tidak menjawab kebutuhan reformasi total di tubuh Polri. Justru memperlihatkan watak koersif dan melegitimasi kekerasan terhadap warga negara,” tegas Andrie.

Menurutnya, penerbitan peraturan ini menunjukkan, reformasi Polri masih berjalan di tempat dan belum mampu membenahi persoalan mendasar seperti soal kekerasan dan impunitas aparat.

KontraS menilai frasa “aksi penyerangan” dalam Perkap 4/2025 berpotensi multitafsir dan bisa digunakan secara sewenang-wenang oleh aparat di lapangan.

“Kekhawatiran kami, penerapannya nanti hanya berlandaskan kecurigaan dan praduga semata. Ini berbahaya bagi pemenuhan hak kebebasan berekspresi,” kata Andrie.

Kata dia, tanpa definisi yang jelas, aparat bisa dengan mudah melabeli aksi protes atau unjuk rasa sebagai bentuk penyerangan terhadap polisi.

Andrie mengingatkan, praktik pelabelan terhadap warga sebagai “penyerang” bukan hal baru. Sebelum perkap ini terbit, sudah terjadi tindakan sewenang-wenang terhadap masyarakat yang hendak menyampaikan pendapat di muka umum.

“Bukan tidak mungkin semua warga yang melaksanakan hak berekspresi dilabeli sebagai penyerang. Ini amat rentan,” ujarnya.

Ia mencontohkan pola serupa dalam sejumlah aksi massa seperti Reformasi Dikorupsi 2019, Penolakan Omnibus Law 2020, dan Aksi Agustus 2025, di mana polisi men-sweeping dan menangkap sewenang-wenang pelajar di wilayah penyangga Jakarta.

“Penerbitan Perkap 4/2025 tak ubahnya melegitimasi kewenangan yang selama ini salah dan melanggar HAM,” tegasnya.

red
Ilustrasi: Presiden Prabowo usai menjenguk warga dan polisi yang jadi korban aksi demo, Senin, 1 September 2025. Foto: presidenri.go.id
advertisement


Hak Menolak

Andrie menekankan, masyarakat memiliki hak hukum menolak segala bentuk tindakan aparat yang dilakukan tanpa dasar hukum sah. Ia menyarankan warga selalu meminta aparat mengenalkan identitas dan alasan penindakan.

“Warga berhak menolak tindakan kepolisian yang abuse of power. Hak untuk menyampaikan pendapat dijamin konstitusi dan berbagai undang-undang,” katanya.

Menurutnya, perlindungan hak berpendapat diatur dalam UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

KontraS menilai, sebenarnya Polri telah memiliki sejumlah aturan yang cukup untuk mengatur penggunaan kekuatan secara proporsional, sehingga tidak perlu menerbitkan perkap baru.

“Ada Perkap 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan, Perkap 8/2009 tentang Prinsip HAM dalam Tugas Kepolisian, hingga Perpol 1/2022 tentang Pengawasan Senjata Api. Semua itu sudah mengatur agar penggunaan kekuatan, termasuk amunisi, menjadi langkah terakhir,” jelas Andrie.

Ia mengingatkan, setiap tindakan penegakan hukum harus diawali peringatan yang jelas, terdengar, dan dipahami masyarakat.

“Tidak bisa ujug-ujug langsung menggunakan senjata atau gas air mata,” ujarnya.

Catatan Kekerasan Polri

KontraS mencatat, dalam lima tahun terakhir terdapat 2.700 peristiwa penembakan oleh aparat Polri. Angka itu bentuk kekerasan tertinggi yang dilakukan polisi setiap tahun. Perkap 4/2025, kata Andrie, berpotensi memperburuk situasi kekerasan tersebut.

Masalah utama lain yang disoroti KontraS adalah ketiadaan mekanisme pengawasan dan sanksi dalam Perkap 4/2025.

“Perkap ini tidak punya pasal yang jelas soal sanksi dan pengawasan. Padahal isinya membenarkan penggunaan kekuatan yang sarat pelanggaran HAM,” ujar Andrie.

Menurutnya, hal ini bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi cacat logika kebijakan.

“Jika terjadi salah prosedur, siapa yang akan bertanggung jawab? Bagaimana mekanismenya? Ini cacat logika pembentukan kebijakan,” tegasnya.

Andrie bilang, negara seharusnya memastikan jaminan ketidakberulangan pelanggaran HAM, mulai dari mekanisme akuntabel, pemulihan korban, hingga reformasi kelembagaan.

“Perkap ini tidak menjamin ketidakberulangan, tetapi justru menjamin keberulangan pelanggaran hak asasi manusia,” tutup Andrie.

Harus Dikaji

Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Abdul Harris Semendawai, menilai perkap ini harus dikaji dari sisi kesesuaian dengan prinsip hak asasi manusia.

“Yang pertama, kita harus melihat dulu, apakah perkap itu sejalan dengan berbagai prinsip-prinsip internasional, terkait dengan penggunaan kekerasan dan senjata api, itu yang pertama,” ujar Semendawai dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat, (3/10/25).

“Yang kedua, dari segi penggunaan Peraturan Kapolri, ini kan hierarki peraturan perundang-undangan, apakah pengaturan yang dimuat di dalam perkap ini, ini sesuai kewenangan yang diberikan kepada perkap.”

Ia mengingatkan, ada praktik penyalahgunaan senjata api oleh aparat di lapangan yang kerap menimbulkan kritik publik.

“Seringkali penggunaan kekerasan dan senjata api itu tidak bisa diperiksa. Artinya, pertanggung-jawabannya masih dipersoalkan masyarakat. Oleh karena itu, harus ada limitasi terhadap penggunaan kekerasan dan senjata api ini. Apabila tidak dibatasi, potensi penyalahgunaannya akan sangat besar”, lanjutnya.

Lebih lanjut, Semendawai mempertanyakan proses penyusunan Perkap 4/2025.

“Apakah dalam proses penyusunannya ini sudah melibatkan partisipasi masyarakat atau tidak, partisipasi publik. Karena kita lihat, begitu diluncurkan, mendapatkan penangkapan negatif dari masyarakat,” kata Semendawai.

red
Komisioner Komnas HAM Abdul Haris Semendawai. Tangkapan layar YouTube KBR Media
advertisement


Penerbitan Perkap

Akhir bulan lalu, Kepolisian Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Polri.

Dalam keterangannya, Kabag Penum Divisi Humas Polri, Erdi A. Chaniago menjelaskan, peraturan ini disusun untuk memberi pedoman yang jelas bagi anggota Polri saat menghadapi aksi penyerangan.

“Bukan sekadar merespons satu kejadian, melainkan upaya antisipasi agar tindakan kepolisian di lapangan selalu tegas, terukur, dan sesuai ketentuan hukum,” ujar Erdi, Selasa, (30/9/2025), mengutip ANTARA.

Perkap 4/2025 memberikan dasar hukum bagi anggota untuk mengambil tindakan mulai dari peringatan lisan, penangkapan, hingga penggunaan senjata api, jika dinilai situasi membahayakan keselamatan jiwa personel atau masyarakat.

Dalam konsideransnya, Polri menyebut, peraturan ini diperlukan untuk menghadapi meningkatnya potensi serangan terhadap fasilitas kepolisian pasca-sejumlah peristiwa kekerasan terhadap anggota Polri di berbagai daerah.

Namun, di sisi lain, berbagai lembaga hak asasi manusia menilai penerbitan perkap ini justru menunjukkan lemahnya komitmen reformasi kepolisian dan berpotensi memperkuat impunitas aparat. Mereka mendesak perkap tersebut dicabut.

Baca juga:

Perkap

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...