Aturan tersebut termuat pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Memanfaatkan Sumber Energi Terbaru
Penulis: Aura Antari
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan aturan mengenai pedoman perjanjian jual beli listrik berbasis Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).
Aturan tersebut termuat pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi mengatakan perjanjian ini dihadirkan guna mewujudkan ketahanan energi nasional sesuai arahan Menteri ESDM.
Selain itu, pedoman ini juga merupakan tindaklanjut dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi.
"Walaupun ada banyak hal ya tentunya di sektor internasional, semua mempertanyakan bagaimana nih Indonesia ke depan. Pak Menteri sudah memberi arahan bahwa kita harus 'menabuh di gendang' sendiri kata beliau. Jadi kita harus sesuaikan EBT juga tetap kita dorong di Indonesia dan kita wujudkan karena masih banyak sekali problem di wilayah Indonesia Timur," ucap Eniya dalam Sosialisasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2025, Selasa (11/3/2025).
Baca juga:
- EBT di Sumsel Baru Termanfaatkan 989 MW, Potensi 21 RIbu MW
Eniya menegaskan bahwa pemerintah akan tetap 'on the track' untuk mencapai Net Zero Emissions 2060.
Dia menyebut sebelum regulasi ini diterbitkan, pengembang proyek energi terbarukan dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) selama ini tidak punya acuan dalam menyusun kontrak PJBL.
Hal ini, lanjutnya, menyebabkan perbedaan interpretasi dari kontrak dan negosiasi. Sehingga, meningkatkan biaya transaksi dan keterlambatan dalam realisasi proyek.
"Dan kita melihat selain ketidakpastian dalam skema pembayaran, mekanisme force majeure (fenomena tidak terprediksi) juga termasuk salah satunya dan kadang-kadang ada pembagian risiko dalam PJBL yang menyebabkan ketidakstabilan finansial bagi pengembang," ungkapnya.
Eniya menambahkan, peraturan ini juga mengatur hak dan kewajiban PLN dan pengembang. Selain itu, diatur pula alokasi risiko, optimalisasi pemanfaatan ekses, perpanjangan kontrak, mekanisme harga jual, serta kepemilikan hak atas atribut lingkungan atau Nilai Ekonomi Karbon.
"Dan saat ini kalau kita melihat ada beberapa tempat terutama di Sumatra juga, ini di Sumatra di berbagai contoh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang pada saat misalnya kalau hujan begini, ini airnya besar nih, airnya besar sehingga bisa dibuka lebih besar lagi ya bendungannya.
"Ini potensi access-nya itu selama ini karena tidak ada regulasinya, saat ini sudah mulai bisa dibeli oleh PLN dengan jelas," tukas Eniya.
Baca juga:
- Pemerintah akan Mendiskon Tarif Listrik 50%, Kapan dan untuk Siapa?