Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengingatkan dampak kerusakan ekologis yang justru ditanggung masyarakat di wilayah penghasil tambang jika izin ekspolrasi diperluas
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Rencana pemerintah memberikan izin tambang bagi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), koperasi, serta organisasi kemasyarakatan (ormas) bakal segera terwujud. Menteri Energi Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia tengah Menyusun Peraturan Menteri (Permen) untuk mengatur secara teknis pengelolaan tambang tersebut.
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Eddy Misero menilai upaya pemerintah untuk memperluas ruang bisnis bagi UMKM patut diapresiasi. Namun, menurutnya, kemampuan para pelaku UMKM untuk mengelola tambang perlu dirumuskan lewat kajian yang terukur.
“Mau ngelola pertambangan yang di Minerba itu bukan sekedar asal-asalan. Perlu teknologi, perlu sumber daya manusia yang punya kapasitas skill yang luar biasa, perlu backup finance yang tidak sedikit. Nah, di mana dapatnya pelaku-pelaku UMKM?” ujar Eddy dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (15/10/2025).
Ia menyebut bahwa aktivitas tambang sebenarnya bukan hal baru bagi pelaku UMKM di Indonesia. Sebab, UMKM sudah terlebih dahulu terjun menggarap tambang skala kecil.
“Yang pertama gini, bahwa usaha tambang itu bukan hal baru bagi beberapa pelaku UMKM di Indonesia. Cuma kelasnya yang berbeda. Kalau yang sudah dilakukan selama ini adalah tambang galian C misalnya, tambang pasir, tambang batu, tambang kapur, yang begitu-begitulah,” ujar Eddy.
Menurut Eddy, keterlibatan UMKM dalam skema pertambangan mineral dan batubara (minerba) yang kini dibuka oleh pemerintah merupakan hal baru bagi pelaku usaha.
“Kalau bicara tambang, tambang yang mana dulu? Kalau klasifikasinya galian C, sudah sekian puluh tahun lalu, bahkan sejak adanya pembangunan, kegiatan-kegiatan seperti itu ada. Nah, tetapi yang berkaitan dengan spirit hadirnya kementerian, keputusan menteri nah itu hal yang baru,” lanjutnya.

Bentuk Strategi Perluasan Kekuasaan
Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Ia menilai kebijakan pembukaan izin tambang baru bukan merupakan bentuk pemerataan ekonomi, melainkan strategi memperluas pengaruh kekuasaan di sektor tambang.
“Ya, jadi kita melihatnya kebijakan ini bukan sebagai bentuk pemeratan ekonomi, tapi lebih tepat disebut sebagai strategi memperluas jaring kekuasaan di sektor tambang saja,” ujar Melky dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (15/10/2025) dikutip dari ANTARA.
Menurutnya, pemerintah menggunakan narasi populis yang terkesan memberi ruang kepada rakyat, namun pada kenyataaannya struktur penguasaan sumber daya alam tetap dikuasai kelompok bermodal besar.
“Jadi saya kira secara konseptual, ini yang sering kita sebut sebagai demokratisisme. Jadi rakyat hanya dijadikan simbol legitimasi, tapi tidak berdaulat untuk mengelola sumber daya alam,” tegasnya.
Melky menyebut, industri ekstraktif seperti tambang tidak bisa berjalan berdampangan dengan sektor ekonomi rakyat lainnya.
“Industri ekstraktif itu kan dia pasti akan melenyapkan basis produksi yang lain. Jadi dia tidak bisa berjalan beriringan dengan sektor lain,” terangnya.

Melky juga mengingatkan bahwa UMKM, koperasi maupun ormas yang diberi izin tambang justru akan bergantung pada korporasi besar.
“Pada akhirnya, si UMKM ini, ormas-ormas ini, pasti akan bekerjasama dengan pemodal-pemodal lain untuk bisa melakukan operasi produksi di wilayah yang mereka terima," ujarnya.
Melky mengingatkan dampak kerusakan ekologis justru ditanggung masyarakat di wilayah penghasil tambang seperti batu bara.
“Di sini letak betapa tidak adilnya aparatur negara kita hari ini yang kemudian bekerja hanya untuk memastikan terus menanggung keuntungan dari operasi industri ekstraktif ini,” tegasnya.
Investasi Sosial Politik bagi Elite
Melky bahkan menyebut kebijakan ini bisa menjadi investasi sosial dan politik bagi elite.
“Jangan-jangan motif utamanya bukan dalam konteks pemberdayaan ekonomi, tapi lebih pada motif politik. Anggap saja ini semacam investasi sosial dan politik,” katanya.
Melky juga menyoroti dampak ekologis dari industri pertambangan yang rakus lahan dan air. Ia mencontohkan Kalimantan Timur sebagai wilayah yang mengalami kerusakan parah akibat tambang, seperti batu bara.
“Namanya industri pertambangan, kan dia rakus-rakus lahan, rakus air begitu ya. Dampaknya memang berlapis bahkan bergenerasi,” ucapnya.

Melky menambahkan tidak ada tanda positif dari sektor ekstraktif di Kalimantan Timur akibat praktik pertambangan.
“Data menunjukkan bahwa Kalimantan Timur itu tidak ada tanda-tanda ia sejahtera dari sektor-sektor industri ekstraktif. Produksi pangan domestiknya itu tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan domestik," lanjutnya.
Melky menegaskan, ketimpangan tersebut terjadi karena manfaat ekonomi tambang hanya dinikmati segelintir elite di Jakarta.
“Mereka enggak mengonsumsi air-air dari lubang-lubang tambang di Kalimantan Timur. Anak-anak mereka tidak berhimpitan dengan lubang-lubang tambang beracun yang kemudian menyebaskan lebih dari 50 orang sekarang,” katanya.
Aturan Teknis Izin Tambang Segera Rampung
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan dasar penyusunan Permen merupakan aturan teknis turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
PP itu pun merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
"PP-nya baru keluar. Setelah keluar, kita susun Permennya sekarang. Jadi di UU Minerba baru itu diberikan prioritas untuk UMKM, koperasi, organisasi kemasyarakatan, (organisasi) keagamaan, Permennya disusun," kata Bahlil menjawab pertanyaan ANTARA saat ditemui selepas acara pelantikan sejumlah pejabat negara di Istana Kepresidenan RI Jakarta, Rabu (8/10/2025) dikutip dari ANTARA.

Dalam Permen itu, Bahlil menjelaskan aturan membahas urusan yang lebih teknis, terutama mengenai luas lahan tambang yang dapat dikelola oleh UMKM, koperasi, ormas dan organisasi keagamaan, kemudian mengenai lokasi badan usaha yang mengelola tambang harus sama dengan lahan tambang yang dikelola.
"Nanti mungkin luasannya terbatas, dan disesuaikan dengan kemampuan. Koperasi juga itu yang ada di lokasi. UMKM juga yang ada di daerah setempat, bukan UMKM atau koperasi dari Jakarta. Contoh, tambang ada di Kalimantan Utara, ya koperasi dan UMKM-nya harus yang ada di Kalimantan Utara, jangan yang ada di Jakarta," kata Menteri ESDM.
Bahlil, saat ditanya mengenai target permen itu rampung, menyebut secepatnya akan diselesaikan.
"Insyaallah selesai," ujar dia.
Diklaim Beri Dampak Ekonomi di Masyarakat
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Koperasi Ferry Juliantono menyambut baik aturan yang memperbolehkan koperasi ikut mengelola tambang.
"Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat, khususnya di wilayah dengan potensi tambang," kata Ferry di Jakarta, Selasa (7/10).
Dalam PP No. 39/2025, peran UMKM hingga koperasi dalam mengelola tambang diatur dalam beberapa pasal, di antaranya Pasal 26 C mengatur verifikasi administratif terkait legalitas dan keanggotaan koperasi dilakukan oleh menteri yang membidangi urusan koperasi sebagai dasar pemberian prioritas kepada koperasi.
Kemudian, Pasal 26 E mengatur hasil verifikasi itu menjadi rujukan menteri untuk menerbitkan persetujuan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam atau batu bara secara prioritas melalui Sistem OSS.
Sementara itu, Pasal 26F menetapkan koperasi dan badan usaha kecil dan menengah (UKM) berhak atas WIUP dengan luas maksimal 2.500 hektare.

Apa Masukan dari Asosiasi UMKM?
Meski menyambut baik ide pemerintah, Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Eddy Misero khawatir peluang tambang untuk UMKM justru akan berujung pada praktik peminjaman bendera oleh korporasi besar.
“Jangan-jangan, lisensinya dapet, tapi pekerjaannya adalah diberikan kepada pihak ketiga. Ya sama-sama lagi,” ucapnya.
Ia mengusulkan agar pemerintah terlebih dahulu membuat proyek percontohan.
“Kalau menurut saya kalau tetap pun betul-betul niatannya adalah untuk yang baik dari pemerintah, bisa gak diusulkan yuk cari satu lokasi tertentu, cari satu pengusaha tertentu, bina habis-habisan, jadikan dia semacam pilot project,” kata Eddy.
Selain itu, kata dia, agar pengelolaan tambang bagi UMKM dilakukan secara kolektif melalui koperasi atau konsorsium.
“Kalau mau minimal UMKM itu diberikan satu misalnya, tetapi dalam bentuk koperasi yang anggotanya adalah pelaku-pelaku UMKM sekian banyak, atau mereka membentuk konsorsium untuk menangani itu. Tetapi tidak boleh bermain-main,” katanya.
Meski begitu, hingga kini Akumindo belum mencatat adanya UMKM yang telah memperoleh izin tambang. Saat ini, menurut data BPS per 2024, tercatat ada lebih dari 30 juta UMKM di Indonesia.
“Sampai sekarang belum. Sampai sekarang. Pelaku UMKM, bingung. Saya aja tidak berani. Terlalu gede,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Dana Reses DPR Naik: Serap Aspirasi atau Tambahan Pendapatan Wakil Rakyat?
- Tantangan Transformasi Museum Era Kekinian