indeks
Ketika Pemilu Berakhir, Penderitaan Dimulai

Marcos dan keluarganya, juga Suharto dan kroni-kroninya, tahu betul bagaimana mengontrol kekuasaan yang mereka pegang. Pemilu adalah justifikasi, bukan legitimasi, atas kursi kekuasaan yang sepenuhnya ditopang senjata. Bukan suara.

Penulis: KBR68H

Editor:

Google News
Ketika Pemilu Berakhir, Penderitaan Dimulai
pemilu, diktator marcos, diktator suharto, gerakan reformasi

Menang atau kalah, kita tetap akan pergi belanja sesudah pemilu. Kita ingat siapa yang bicara seperti itu. Ia, Imelda Marcos, istri diktator bekas Presiden Filipina, Ferdinand Marcos yang berkuasa selama 21 tahun.

Bagi Imelda, pemilu mungkin tak penting. Ia, seperti halnya rezim Suharto pada masa Orde Baru, sudah tahu, sepanjang suaminya dan tentara masih kuat berada di belakang mereka, pemilu hanya sebuah pro forma agar negaranya tetap dianggap melaksanakan tahapan penting demokrasi.

Marcos dan keluarganya, juga Suharto dan kroni-kroninya, tahu betul bagaimana mengontrol kekuasaan yang mereka pegang. Pemilu adalah justifikasi, bukan legitimasi, atas kursi kekuasaan yang sepenuhnya ditopang senjata. Bukan suara.

Jadi betul kata Imelda, menang atau kalah dalam pemilu buat ia sungguh tak penting. Karena ia tahu, ia pasti menang dan suaminya akan tetap dipilih lagi menjadi presiden. Bagi Imelda, pemilu bahkan mungkin kalah penting dibanding keinginannya yang kuat untuk terus menambah koleksi sepatunya yang mencapai lebih dari tiga ribu pasang dari berbagai merek terkenal.

Tapi kita tahu, kekuasaan yang ditegakkan di atas teror dan senjata, cepat atau lambat, pasti akan tumbang. Kekuasaan yang tak legitim akan rubuh seperti rak sepatu yang kelebihan beban. Marcos terjungkal oleh people power. Begitu pula Suharto harus mundur setelah diguncang gerakan reformasi.

Pemilu lantas menjadi penting. Pemilu yang bukan sekadar pro forma, melainkan permintaan pendapat rakyat yang riil. Karena dari jumlah suara yang dikumpulkan, legitimasi itu bisa ditetapkan. Kekuasaan kemudian adalah mandat dari para pemberi suara. Bukan kekuasaan yang jatuh dari langit karena todongan senjata.

Namun pemilu juga bukan segala-galanya. Pemilu hanyalah cara untuk memilih pemimpin. Dan kualitas kepemimpinan tak bisa diukur hanya dari masa kampanye yang hanya beberapa hari, melainkan harus dari perspektif waktu yang lebih panjang, bisa 5 bisa 10 tahun. Pemilu akan menentukan siapa yang bakal jadi pemimpin, bukan mengatur bagaimana kekuasaan itu kelak digunakan.

Karena itu jelas, kesalahan memilih pemimpin hanya akan membuahkan penderitaan berkepanjangan, sebagaimana kata bekas Presiden Amerika Serikat, John Quincy Adams, “ketika pemilu berakhir, perbudakan dimulai”.

Tentu kita tak ingin mengalami “perbudakan” alias penderitaan pasca pemilu. Tapi justru karena itu kita perlu menelisik betul, siapa yang bakal kita pilih. Jangan hanya karena terpesona tampilan para calon di televisi, kita lantas silau dan serta merta memilihnya. Jejak masa lalu, bagaimana dia memperlakukan para anak buahnya, dan berbagai ukuran lainnya, sungguh akan menentukan masa depan kita bersama.

Memilih pemimpin memang tak segampang belanja sepatu.


Baca juga:

Golongan Putih

Iqbal


pemilu
diktator marcos
diktator suharto
gerakan reformasi

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...