Maya Kusmaya dan Edward Corne kini ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Kejagung
Penulis: Siska Mutakin
Editor: Muthia Kusuma

KBR, Jakarta- Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan dua tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi terkait pengelolaan minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero).
Kedua tersangka tersebut adalah Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya, dan Vice President (VP) Trading Operation di perusahaan yang sama, yakni Edward Corne.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers pada Rabu, (26/2/2025) malam, menyatakan penyidik telah menemukan bukti yang cukup untuk menetapkan kedua tersangka tersebut.
"Penyidik temukan bukti yang cukup, kedua tersangka tersebut melakukan tindak pidana bersama tujuh tersangka yang kemarin kami sampaikan," ujar Abdul di Kantor Kejagung.
Abdul Qohar menjelaskan, keduanya diperiksa mulai pukul 15.00 WIB pada hari yang sama dalam kapasitas sebagai saksi.
Sebagai bagian dari proses hukum, kedua tersangka langsung ditahan oleh penyidik Kejagung untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut. Maya Kusmaya dan Edward Corne kini ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Kejagung selama 20 hari ke depan.
"Selanjutnya tim penyidik melakukan penahanan selama 20 hari ke depan," imbuhnya.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus ini. Mereka terdiri dari empat pegawai PT Pertamina dan tiga pihak swasta. Salah satunya adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan.
Baca juga:
Dalam pengungkapan lebih lanjut, Kejagung menyebut total kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp193,7 triliun pada tahun 2023.
Salah satu modus yang diungkap penyidik adalah praktik blending, yaitu pencampuran BBM beroktan lebih rendah seperti RON 90 (Pertalite) dengan zat tertentu agar menyerupai RON 92 (Pertamax).
Modus lainnya yaitu pengurangan produksi kilang. Tersangka diduga mengatur hasil rapat organisasi hilir untuk menurunkan produksi kilang dalam negeri. Produksi minyak mentah lokal ditolak dengan alasan tidak ekonomis, padahal masih memenuhi standar. Hasilnya, minyak mentah lokal diekspor, sementara kebutuhan dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Selain itu, para tersangka juga diduga melakukan impor minyak mentah dan produk kilang dengan harga tinggi. Serta ada indikasi pengaturan harga bersama broker yang sudah ditentukan sebelumnya memenangkan tender dengan harga lebih tinggi. Kemudian, Kejagung juga menduga ada mark-up biaya pengiriman minyak impor sebesar 13-15 persen.