Puisi seperti karya Wiji Thukul jarang ditemui di saat sekarang.
Penulis: Sefiana Putri
Editor:

KBR, Jakarta – ‘Hanya ada satu kata: lawan!' Penggalan kalimat ini sangat akrab di telinga para aktivis. Kata-kata ini ada dalam bait puisi Wiji Thukul yang berjudul Peringatan. Ibnu Wahyudi, pakar bahasa Universitas Indonesia mengakui kata-kata inilah yang paling ia ingat jika mendengar nama Wiji Thukul.
“Kata-kata ini sangat berhasil menyuarakan demo atau perjuangan,” ungkap Ibnu ketika dihubungi PortalKBR beberapa waktu lalu.
Karya-karya Wiji Thukul dianggap berhasil mengekspresikan perasaannya secara jujur dengan bahasa sederhana. Hal inilah yang dinilai Ibnu menjadi nilai lebih karya Wiji Thukul.
“Kelebihan pada puisi Wiji Thukul itu justru karena tidak dimaksudkan sebagai sastra yang serius atau memakai metafor yang indah atau menyayat hati. Justru karena Wiji Thukul ingin jujur saja ingin secara apa adanya mengungkap persoalan yang dialami para pekerja atau para buruh,” jelasnya.
Jika dikaji dari nilai sastranya, Ibnu menilai karya Wiji Thukul ini masuk ke dalam golongan puisi bebas yang tidak berpola. Akan tetapi karya ini masih sah dinilai sebagai karya sastra. Menurut Ibnu, baik atau buruknya puisi ini tergantung dari sudut mana orang menilainya.
“Kalau menurut saya puisi-puisi Wiji Thukul ini rata-rata berhasil. Ia berhasil menyuarakan apa yang menjadi keprihatinan Wiji Thukul atau para buruh pada umumnya.”
Menurut Ibnu, gaya-gaya berpuisi Wiji Thukul dapat dilihat pada karya sastra di tahun 60-an. Modelnya seperti karya-karya dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada saat itu puisi menjadi sarana untuk memperjuangkan sesuatu persis seperti yang dilakukan oleh Wiji Thukul. Ibnu menambahkan bahwa gaya berpuisi Wiji Thukul ini jarang ditemui di zaman sekarang.
Editor: Antonius Eko