Sekilas, Pergub 2 tahun 2025 tidak bertentangan dengan PP maupun UU. Namun, aturan perundang-undang yang memberi ruang poligami sudah sejak lama dianggap problematik dan melanggengkan diskriminasi.
Penulis: Agus Luqman
Editor: Rony Sitanggang

KBR, Jakarta - Pemerintah DKI Jakarta mendapat sorotan karena mengeluarkan aturan yang disebut membolehkan ASN pria melakukan poligami atau beristri lebih dari satu.
Aturan itu adalah Peraturan Gubernur DKI Nomor 2 tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian, yang ditandatangani Penjabat Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi pada 6 Januari 2025.
Peraturan itu menggantikan Pergub lama Nomor 2799 tahun 2004 tentang Pendelegasian Wewenang Penolakan/Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS di lingkungan Pemprov DKI.
Pj Gubernur DKI Teguh Setyabudi mengklaim pembahasan Pergub 2/2025 sudah dilakukan sejak 2023 dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk Kementerian Hukum dan HAM. Tegung mengatakan Pergub itu memiliki semangat melindungi keluarga ASN dengan memperketat aturan perceraian.
Ia memastikan Pergub itu bukan untuk memperbolehkan apalagi memberi izin ASN poligami.
Heboh soal ASN poligami juga pernah muncul pada 2023 lalu. Ketika itu, Badan Kepegawaian Nasional (BKN) menyosialisasikan aturan PNS poligami. Aturan yang disosialisasikan itu adalah aturan lama yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang diubah menjadi PP Nomor 45 Tahun 1990.
Isi Pergub
Lalu, apa isi Pergub 2/2025 itu? Apakah bertentangan dengan aturan lama?
Bab III pasal 4 Pergub DKI Nomor 2 Tahun 2025 mengatur Izin Beristri Lebih dari Seorang. Pasal itu menyatakan "ASN pria yang akan beristri lebih dari seorang wajib memperoleh izin dari Pejabat yang berwenang sebelum melangsungkan perkawinan". Jika tidak mendapat izin, maka akan mendapat hukuman disiplin berat.
Pasal 5 ayat (1) menyebutkan, izin memiliki istri lebih dari seorang, dapat diberikan apabila:
a. alasan yang mendasari perkawinan; istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah 10 tahun perkawinan.
b. mendapat persetujuan istri atau para istri secara tertulis,
c. mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai para istri dan anak,
d. sanggup berlaku adil terhadap para istri dan anak,
e. tidak mengganggu tugas kedinasan,
f. memiliki putusan pengadilan mengenai izin beristri lebih dari seorang.
Pasal 6 huruf (d) menyebutkan, harus ada surat keterangan dari dokter pemerintah yang membuktikan alasan sebagaimana pasal 5 ayat (1) huruf a.
Pasal 5 juga menyebutkan, izin tidak dapat diberikan apabila;
- bertentangan dengan ajaran agama pegawai ASN
- tidak memenuhi persyaratan
- bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
- alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat dan/atau
- mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan
Pada pasal 6, permohonan izin beristri lebih dari seorang diajukan ke atasan langsung. Atasan selanjutnya wajib menyampaikan permohonan ke pejabat berwenang secara berjenjang (Pasal 7).
Tidak hanya bagi ASN, Pergub 2 Tahun juga menyasar Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
Pada pasal 9 disebutkan, atasan langsung harus melakukan penasihatan kepada P3K dan calon istri yang bersangkutan, dengan maksud agar niat untuk beristri lebih dari seorang sejauh mungkin dihindarkan. Jika nasihat tidak berhasil, maka atasan langsung wajib memberikan keputusan pemberian izin atau penolakan izin dengan mempertimbangkan alasan.
Pergub itu juga mengatur pembentukan Tim Pertimbangan atas permohonan izin beristri lebih dari seorang maupun izin perceraian, baik di tingkat provinsi, Kota Adminstrasi maupun Kabupaten.
Pada pasal 23 huruf (7) menyebut Tim Pertimbangan ini bertugas melakukan penasihatan dan/atau permintaan keterangan kepada ASN yang bersangkutan, pasangan atau pihak terkait lainnya. Tim Pertimbangan juga bertugas meneliti alasan dan syarat yang mendasari permohonan beristri lebih dari seorang, permohonan izin perceraian atau keterangan melakukan perceraian.
Pasal 25 juga mengatur mekanisme penasihatan dan/atau permintaan keterangan atas para pemohon beristri lebih dari seorang atau perceraian, baik secara langsung maupun daring (virtual).
Baca juga:
- Anggota DPR Minta Pergub Boleh Poligami ASN Jakarta Dicabut
- LBH APIK Kritik Pergub Jakarta tentang Aturan ASN Poligami: Menyakiti Perempuan
Peraturan Pemerintah
Secara isi, Pergub DKI Nomor 2 Tahun 2025 ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS yang telah diubah menjadi PP Nomor 45 tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS. Aturan ini secara spesifik menunjuk pejabat berwenang di tingkat provinsi, kota maupun kabupaten dalam memberikan/menolak izin.
PP itu mengatur syarat alternatif, syarat kumulatif serta kewenangan pejabat untuk menolak memberikan izin kepada PNS pria yang ingin beristri lebih dari seorang.
Syarat alternatif (terpenuhi salah satu) sesuai PP 10/1983 junto PP 45/1990:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
- istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Berdasarkan Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) Nomor 08/SE/1983, kondisi syarat alternatif itu harus dibuktikan dengan keterangan dokter pemerintah.
Sedangkan syarat kumulatif (harus dipenuhi seluruhnya) sesuai PP 10/1983:
- persetujuan tertulis dari istri
- PNS pria mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-anaknya, dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan,
- jaminan tertulis dari PNS untuk bersikap adil
- Izin pengadilan
Mendapat persetujuan dari istri hanya salah satu syarat dalam pengajuan izin poligami, dan tidak cukup untuk memenuhi aturan. Tanpa izin resmi dari pejabat berwenang dan/atau pengadilan, tindakan poligami dianggap melanggar hukum dan bisa dikenai sanksi administratif, termasuk pemberhentian.
Diskriminasi
Meski sekilas, Pergub Nomor 2 tahun 2025 tidak bertentangan dengan aturan di atasnya, yaitu PP maupun Undang-undang, namun aturan perundang-undang yang memberi ruang poligami sudah sejak lama dianggap problematik dan dikritik kalangan masyarakat sipil dan aktivis perempuan. Pergub 2/2025 dianggap tidak progresif dan melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan.
Komnas Perempuan menegaskan alasan-alasan yang dijadikan syarat ASN poligami, seperti tidak mampu melahirkan keturunan, cacat badan dan sebagainya, semakin menguatkan masyarakat patriarki dan praktik diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini serta menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan merugikan perempuan.
Keluarnya Pergub Nomor 2 Tahun 2025 dinilai sebagai momentum untuk kembali merevisi aturan-aturan yang mendiskriminasi perempuan.
Berbagai kalangan masyarakat sipil, termasuk Komnas Perempuan, mendesak adanya revisi Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang kini sudah berusia 51 tahun.
Komnas Perempuan juga menyebut praktik beristri lebih dari satu merupakan salah satu faktor penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan.
Dalam pernyataan sikap tanggal 18 Januari 2025, Komnas Perempuan mendesak revisi Undang-undang Perkawinan dilakukan antara lain dengan:
- Menghapus alasan yang bersifat diskriminatif dalam ketentuan tentang praktik beristri lebih dari satu;
- Alasan beristri lebih dari satu perlu diperlakukan sebagai alasan yang bersifat kumulatif, bukan alternatif;
- Penegasan pada keterhubungan ketentuan izin dari istri dan dari pengadilan dengan tindak pidana kejahatan terhadap perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini dan dalam Pasal 402-405 UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP;
- Penegasan keterkaitan pelaksanaan ketentuan tentang praktik beristri lebih dari satu dengan pengaturan dalam UU PKDRT, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan;
- Penegasan pelaksanaan hak atas nafkah bagi istri dan anak dari pendapatan suami yang bercerai akibat perkawinan lebih dari satu. Perceraian tersebut terjadi karena praktik beristri lebih dari satu yang tidak mendapat izin dari istri maupun situasi dimana perkawinan-perkawinan tersebut mengakibatkan ketidakadilan.