Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) berharap Mahkamah Agung mengakui peradilan adat di daerah sebagai jalan untuk mendekatkan hukum kepada masyarakat.
Penulis: Quinawaty Pasaribu
Editor:

KBR68H, Jakarta - Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) berharap Mahkamah Agung mengakui peradilan adat di daerah sebagai jalan untuk mendekatkan hukum kepada masyarakat.
Pasalnya, menurut Direktur Eksekutif HuMa Andiko, selama ini hukum di Indonesia dianggap sebagai milik kelompok elitis. Untuk mewujudkan hal itu, HuMa bakal menyusun konsensus berupa pembaharuan hukum di Indonesia yang berbasis hukum-hukum rakyat. Penyusunan akan dilakukan setelah berakhirnya Konferensi Tingkat Tinggi Hukum Rakyat yang akan dimulai besok (Selasa, 8/10) sampai 10 Oktober.
"Di negeri kita ini kan, hukum ini kehilangan aktor yang bisa menjadi contoh. Nah itu orang yang paling tinggi memberi contoh demikian. Nah hukum kita sudah sangat jauh dari moralitas. Dari KTT ini kita berharap kita bisa mengusulkan proposal untuk pembaharuan hukum kepada parpol yang akan bertanding mengambil alih kekuasaan,"ucap Andiko di program Sarapan Pagi KBR68H.
Selasa (8/10) besok akan berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi Hukum Rakyat yang di Jakarta. Pelaksanaan KTT ini dilatarbelakangi tingginya perilaku korup di negeri ini.
Menurut data HuMA, sepanjang umurnya Mahkamah Konstitusi digunakan sebagai forum pencarian keadilan bagi kelompok elit, terutama partai politik atau politikus. Hasil penelitian HuMa hingga akhir 2012, 48,5 persen pencari keadilan di MK adalah politikus, 42,8 persen adalah orang-orang yang melek hukum, dan hanya 6,5 persen nya adalah rakyat.
Editor: Antonius Eko