Masih banyak pasal di dalam undang-undang yang belum memadai secara hukum untuk melindungi para korban kekerasan.
Penulis: Sadida Hafsyah
Editor:

KBR, Jakarta - Substansi hukum di Indonesia dinilai masih menjadi kelemahan dalam melindungi perempuan dari bentuk kekerasan.
Pelaksana Harian Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Khotimun Sutanti mencontohkan, masih banyak pasal di dalam undang-undang yang belum memadai secara hukum untuk melindungi para korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.
"Pengalaman korban itu sering tidak tertangkap ya. Salah satunya adalah kekerasan seksual verbal. Itu walaupun di KUHP sudah ada pasal tentang penghinaan misalnya, kemudian tindakan kesusilaan di muka umum dan seterusnya. Itu tapi untuk menjerat pelaku kekerasan seksual verbal, itu masih cukup sulit. Karena unsurnya dianggap tidak masuk dan pembuktiannya itu susah. Karena harus memenuhi alat bukti yang ada di KUHP, yang itu sulit untuk disediakan oleh korban," ujar Pelaksana Harian Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Khotimun Sutanti saat dihubungi KBR (7/3/2022).
Khotimun mengingatkan, seharusnya ada penguatan substansi hukum secara nasional terkait kasus kekerasan berbasis gender. Pengalaman-pengalaman para korban patut jadi pelajaran bagi Negara untuk memperbaiki hukum, sehingga bisa lebih mengakomodir berbagai bentuk kasus kekerasan terhadap perempuan.
Baca juga:
- Hari Perempuan Internasional: YLBHI Desak Zero Tolerance terhadap Bias Gender
- Catahu Komnas Perempuan: Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat 80 Persen pada 2021
Sebelumnya, Komnas Perempuan mencatat, kekerasan terhadap perempuan pada tahun lalu meningkat 80 persen. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah menyebut, tahun lalu lembaganya menerima lebih dari 4.300 pengaduan. Sedangkan setahun sebelumnya, ada 2.300 pengaduan.
Editor: Fadli Gaper