Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi kini tak lagi memiliki taring sebagaimana seharusnya.
Penulis: Hoirunnisa
Editor: Sindu

KBR, Jakarta- Pembebasan bersyarat terpidana kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto, jadi salah satu indikator mundurnya pemberantasan rasuah di Indonesia.
Bekas penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnowo menyampaikan itu merespons bebasnya eks ketua umum Partai Golkar tersebut, belum lama ini.
“Bebas bersyaratnya Setya Novanto dalam kasus tindak pidana korupsi terkait pengadaan E-KTP tahun 2011 sampai dengan 2013, merupakan puncak dari gunung es …” kata Yudi kepada KBR, Selasa, (19/8/2025)
Menurut Yudi, putusan tersebut tidak lepas dari dicabutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan oleh Mahkamah Agung (MA).
PP tersebut sebelumnya memberikan syarat ketat bagi narapidana tindak pidana luar biasa seperti korupsi, narkotika, dan terorisme, untuk bisa mendapatkan remisi maupun pembebasan bersyarat.
“Sudah tidak ada lagi aturan yang membatasi para pelaku tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Pelakunya ternyata sama seperti kejahatan biasa, tanpa perlu mendapatkan justice collaborator seperti yang pernah tercantum dalam PP 99 Tahun 2012,” kata Yudi.
Yudi menjelaskan, dalam PP 99/2012 narapidana korupsi yang ingin mendapat remisi atau bebas bersyarat wajib berstatus justice collaborator
atau pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
Setelah aturan itu dicabut, syarat tersebut hilang. Kini, narapidana kasus kejahatan luar biasa, bisa mendapatkan berbagai keringanan tanpa harus berkontribusi mengungkap kasus.
“Sebelum Setya Novanto, sudah ada beberapa koruptor terkenal mendapat bebas bersyarat meskipun bukan justice collaborator. Jadi, ini bukan kasus pertama. Kita berharap pemerintah mau memikirkan nasib pemberantasan korupsi supaya ada efek jera,” ujar Yudi.

Tak Ada Efek Jera
Kondisi saat ini membuat hukuman bagi koruptor kehilangan makna, meski hakim memberi vonis berat. Setelah menjalani dua per tiga masa hukuman, seorang terpidana korupsi bisa mengajukan bebas bersyarat.
“Kalau masih seperti ini, tidak akan ada efek jera bagi koruptor. Mereka bisa menghitung sendiri bahwa hukuman sebenarnya bukanlah yang dijatuhkan hakim, melainkan sekitar dua per tiga dari vonis. Karena faktanya, hampir tidak ada koruptor yang berkelakuan buruk di penjara, apalagi sampai melanggar syarat bebas bersyarat,” tegasnya.
Lebih jauh, Yudi menyoroti kemampuan para koruptor membayar denda atau uang pengganti yang diwajibkan pengadilan. Menurutnya, hal itu bukan hambatan besar bagi mereka.
“Artinya, hukuman bagi koruptor secara nyata tetap ringan. Mereka menjalani penjara hanya sebagian, membayar denda dari uang yang mereka peroleh (korupsi), lalu keluar dengan status bebas bersyarat,” jelasnya.
Atas dasar itu, Yudi mendesak pemerintah meninjau ulang aturan pemasyarakatan bagi narapidana korupsi. Kata dia, tanpa ada kebijakan khusus yang lebih ketat, pemberantasan korupsi akan semakin kehilangan daya gentar. Ujungnya, kepercayaan publik terhadap komitmen negara bisa terkikis.
“Bahkan ketika mereka sudah bebas bersyarat seperti ini, ada juga yang kembali ke penjara lagi,” pungkasnya.
Membuka Akses Lebih Luas?
Secara normatif, pembebasan bersyarat bekas ketua DPR RI itu sesuai regulasi yang berlaku. Yakni, Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022 tentang Pembebasan Bersyarat.
Namun, peneliti bidang hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Christina Clarissa khawatir, aturan itu juga akan membuka akses pembebasan bersyarat pelaku pelanggaran HAM berat dan kejahatan transnasional terorganisasi lain. Apalagi tanpa PP 99/2012.
“Lebih mudah bagi terpidana korupsi untuk mendapatkan pembebasan bersyarat,” kata Christina dalam keterangannya, Selasa, (19/8/2025).

Sistem Hukum Kehilangan Taring
Christina menilai, perubahan regulasi ini memperlihatkan adanya celah serius dalam sistem pemasyarakatan. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi kini tak lagi memiliki taring sebagaimana seharusnya.
“Termasuk soal hak prerogatif presiden. Tidak hanya dalam pemberian pembebasan bersyarat, tetapi juga aspek lain seperti UU KPK terakhir yang justru melemahkan lembaga antirasuah, serta integritas lembaga pemerintahan yang belum konsisten. Secara sistemik, hukum di Indonesia memang belum mendukung pemberantasan korupsi yang tepat sasaran,” tegasnya.
Ia juga menyinggung belum adanya Undang-Undang Perampasan Aset hingga saat ini, yang semestinya bisa memperkuat penindakan kasus korupsi.
Efek Jera Melemah
Jika praktik pemberian pembebasan bersyarat bagi koruptor terus berlanjut, dampaknya sangat serius terhadap upaya pemberantasan korupsi.
“Jelas akan melemah, karena tindak pidana korupsi bisa dianggap ringan pelaku. Mereka bisa berasumsi ‘toh akan lepas juga’. Ini membuat potensi terjadinya korupsi justru semakin besar,” ujar Christina.
Kepercayaan Publik Terkikis
Dari sisi keadilan publik, menurut Christina, pembebasan bersyarat Setya Novanto akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap komitmen negara melawan korupsi.
“Untuk kasus sebesar e-KTP saja dengan mudah bisa memperoleh pembebasan bersyarat, bagaimana kasus-kasus lain? Ini jelas membuat publik resah dan justru berlawanan dengan niatan pemerintahan saat ini yang ingin memberantas korupsi sampai ke akarnya,” katanya.
Reformasi Regulasi
Sebagai langkah perbaikan, Christina mendorong pemerintah dan pembuat kebijakan benar-benar menunjukkan komitmen melalui regulasi yang lebih tegas.
Menurutnya, pemberantasan korupsi harus menyeluruh, mulai dari pencegahan melalui pendidikan dan sosialisasi, hingga proses hukum yang tidak memberi ruang bagi koruptor mendapat keringanan hukuman.
“Menganalisis kembali peraturan perundang-undangan yang menguntungkan koruptor, lalu mengubahnya. Tidak hanya soal pembebasan bersyarat, tetapi juga menyelesaikan aturan penting seperti UU Perampasan Aset. Kalau ini dilakukan, pemerintah bisa benar-benar membuktikan komitmennya, bukan sekadar omong-omong,” pungkas Christina.

Wajib Lapor?
Sebelumnya, terpidana kasus korupsi KTP elektronik, Setya Novanto atau Setnov, bebas dari Lapas Sukamiskin di Bandung, Jawa Barat. Ia bebas usai mendapatkan program pembebasan bersyarat (PB) dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Agus Andrianto menjelaskan, pembebasan Setnov berdasarkan putusan peninjauan kembali (PK) yang telah diajukan sebelumnya.
"Iya, karena sudah melalui proses asesmen, dan yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan PPK itu sudah melampaui waktunya," ujar Agus kepada wartawan di Kompleks Istana, Minggu, (17/8/2025).
Menurut Agus, seharusnya Setnov sudah bebas sejak 25 Juli 2025. Namun, Setnov baru mendapatkan kebebasan bersyarat 16 Agustus 2025.
Kata Agus, setelah bebas bersyarat, Setya Novanto tidak diwajibkan melapor.
Penjelasan Agus berbeda dengan omongan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Jawa Barat, Kusnali kepada ANTARA, Minggu, 17 Agustus 2025.
Kata dia, Setnov bebas murni pada 2029. Saat ini, ia diwajib lapor sampai April 2029.
Reaksi Lembaga Antirasuah
Bagi KPK, bebasnya Setnov dirasa kurang adil. Tetapi, putusan itu tetap harus dijalankan, karena bagian dari sistem hukum pidana saat ini.
Juru bicara KPK, Budi Prasetyo bilang, kasus korupsi e-KTP merupakan kejahatan serius yang berdampak pada seluruh rakyat Indonesia.

Masih Kader Partai Golkar
Partai Golkar menyambut baik bebasnya Setya Novanto. Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia mengatakan, Setnov masih tercatat sebagai kader Partai Beringin. Ia tidak pernah mengundurkan diri atau diberhentikan keanggotaannya dari partai.
"Kami bersyukur. Artinya, ada kader kami yang memang sudah selesai menjalani proses hukum," katanya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 19 Agustus 2025.
Kata dia, pembebasan Setnov telah memenuhi syarat dan prosedur perundang-undangan.
Kronologi Kasus Setya Novanto
Setya Novanto dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi KTP elektronik pada 24 April 2018. Setnov dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, serta denda Rp500 juta. Total kerugian negara dari perkara ini lebih dari Rp2,3 triliun.
Selama menjalani masa tahanan, Setya beberapa kali mendapatkan remisi atau pemotongan masa hukuman. Pada lebaran 2023 dan 2024, Setya mendapat remisi masing-masing 30 hari.
Sementara pada HUT ke-78 RI 2023, politikus Golkar itu mendapat remisi 90 hari. Selanjutnya pada 4 Juni 2025, Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukannya. Hasilnya, masa hukuman Setya dikorting dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan.
Pengurangan masa tahanan tersebut, membuat Setya memenuhi ketentuan bebas bersyarat.
"Dihitung dua per tiganya itu mendapat pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025," kata Kepala Kantor Wilayah Dirjen Pemasyarakatan Jawa Barat, Kusnali, mengutip ANTARA, Selasa, (19/8/2025).
Koruptor yang Juga Dibebaskan
Setya Novanto bukan koruptor pertama yang diberi kebebasan bersyarat. Pada 2022, ada sekitar lima nama besar yang bebas karena remisi dari Kementerian Hukum dan HAM pada 6 September 2022.
Yakni, bekas Hakim Konstitusi Patrialis Akbar; eks Gubernur Jambi, Zumi Zola; bekas Menteri Agama, Suryadharma Ali; Eks Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah; dan bekas jaksa, Pinangki Sirna Malasari.
Baca juga: