indeks
Data Kemiskinan Indonesia Berbeda, Nasib Jutaan Rakyat Terancam

Data kemiskinan bukan hanya sekadar angka.

Penulis: Astri Septiani

Editor: Sindu

Google News
Data Kemiskinan Indonesia Berbeda, Nasib Jutaan Rakyat Terancam
Ilustrasi: Aktivitas di daerah padat penduduk yang masuk wilayah kemiskinan ekstrem di Maluku Utara. Data terbaru, ada perbedaan data kemiskinan. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat meminta pemerintah tak menganggap enteng perbedaan data kemiskinan di Indonesia.

Kata dia, data kemiskinan bukan hanya sekadar angka, tetapi menyangkut nasib jutaan rakyat kecil. Achmad juga menegaskan, kemiskinan juga bukan soal angka, tetapi soal keadilan sosial. Ia tidak ingin, rakyat menjadi korban statistik.

“Masalahnya, data ini jadi acuan kebijakan. Kalau angka kemiskinan versi nasional terlalu rendah, maka jutaan rakyat rawan miskin tidak akan terjangkau bansos. Kebijakan jadi bias, karena menyasar angka, bukan realitas,” kata Achmad kepada KBR, Rabu, (07/05/25).

Kata dia, jika pemerintah salah menghitung data angka kemiskinan, akibatnya kebijakan akan salah sasaran. Contohnya menurut Achmad:

1. Bansos Tidak Tepat Sasaran

Penyaluran bantuan sosial (bansos) tidak tepat sasaran, karena banyak masyarakat rentan tidak tercatat sebagai miskin versi BPS. Akibatnya, orang-orang tersebut tidak masuk daftar penerima bansos atau subsidi, padahal kehidupan mereka sangat berat.

2. Dana Daerah Tidak Adil

Data kemiskinan juga jadi dasar alokasi dana transfer ke daerah. Jika angka kemiskinan di satu daerah terlihat rendah, dana yang masuk pun bisa kecil. Padahal, kemiskinan bisa saja masih tinggi, tetapi tak terdata. Ini menciptakan ketimpangan fiskal antarwilayah.

3. Citra Palsu Pembangunan

Secara internal, pemerintah bisa bangga karena angka kemiskinan tampak turun. Tetapi, di mata dunia, Indonesia tetap dilihat sebagai negara dengan kemiskinan tinggi. Ini membuat laporan capaian pembangunan seperti SDGs tidak kredibel.

Evaluasi Definisi dan Cara Mengukur Kemiskinan!

Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, Indonesia perlu mengevaluasi ulang definisi serta cara mengukur kemiskinan nasional. Sebab, data bukan sekadar angka, tetapi menentukan siapa yang perlu dibantu dan siapa yang ditinggalkan.

Ia menyoroti, banyak warga yang dianggap tidak miskin versi BPS, namun sebenarnya masih hidup dalam kondisi sangat rentan.

Menurutnya, mereka bisa dikategorikan bukan miskin absolut, tetapi miskin fungsional lantaran sulit memenuhi kebutuhan dasar, mudah terguncang jika harga barang pokok naik atau mengalami sakit. Atas dasar itu, ia mendorong pemerintah mengevaluasi ulang definisi kemiskinan nasional.

“Jangan hanya pakai patokan konsumsi Rp550 ribu per bulan. Hidup layak hari ini butuh lebih dari itu. Gunakan pendekatan yang lebih realistis, bahkan multidimensi, yakni akses air bersih, pendidikan, sanitasi, dan konektivitas digital. Jangan biarkan rakyat tak terlihat hanya karena mereka tidak memenuhi definisi “miskin” versi statistik lama,” imbuhnya.

Kata dia, pemerintah juga harus terbuka soal metodologi dan bersinergi dengan lembaga global. Menurutnya, BPS tak salah, tetapi data yang dihasilkan harus terus disesuaikan kebutuhan zaman dan realita lapangan.

Beda Data Kemiskinan

Sebelumnya, terjadi perbedaan data kemiskinan di Indonesia, antara Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS). Awal April 2025, Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook menyebutkan, pada 2024, ada lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.

Di sisi lain, data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024, tercatat 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

BPS mengklaim perbedaan angka itu disebabkan perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda.

Versi Bank Dunia: garis kemiskinan ekstrem internasional ditetapkan $2,15 per orang per hari dengan menggunakan harga 2017. Ini berarti bahwa siapa pun yang hidup kurang dari $2,15 per hari berada dalam kemiskinan ekstrem.

Bank Dunia memiliki tiga pendekatan atau standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, yaitu: international poverty line untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem (US$2,15 per kapita per hari), US$3,65 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income), dan US$6,85 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income).

Ketiga, garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam US$ PPP atau purchasing power parity, yaitu metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai dollar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini, melainkan paritas (kesamaan) daya beli. US$ 1 PPP 2024 setara Rp5.993,03.

Angka kemiskinan Indonesia 60,3 persen, diperoleh dari standar US$6,85 per hari atau sekitar Rp1,1 juta per bulan jika disesuaikan daya beli (PPP). Sebab, sejak 2023 Indonesia masuk negara berpendapatan menengah atas.

Pendekatan BPS

Versi BPS: Kemiskinan diukur dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan dinyatakan dalam Garis Kemiskinan (GK). Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.

Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum, seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia.

Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat.

Susenas dilaksanakan dua kali setahun. Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp595.242 per bulan. Namun, konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, bukan per orang.

Rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga, sehingga garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp2.803.590 per bulan. Garis kemiskinan berbeda untuk setiap provinsi, sebab garis kemiskinan dan rata-rata anggota rumah tangga miskin untuk setiap provinsi berbeda.

Sebagai contoh, di DKI Jakarta, garis kemiskinan per kapita pada September 2024 adalah Rp846.085 per bulan. Jika ada satu rumah tangga dengan lima anggota (ayah, ibu, dan tiga balita), maka tidak tepat jika diasumsikan kebutuhan atau pengeluaran ayah sama dengan balita.

Menurut BPS, karena konsumsi terjadi dalam satu rumah tangga, pendekatan yang lebih tepat adalah melihat garis kemiskinan rumah tangga. Dalam kasus ini, garis kemiskinan rumah tangga tersebut adalah Rp4.230.425 per bulan.

Indonesia Baru Naik Kelas

BPS berdalih, meski Indonesia berada pada klasifikasi negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country/UMIC) dengan Gross National Income (GNI) per kapita US$4.870 pada 2023, namun posisi itu masih baru dan hanya sedikit di atas batas bawah kategori UMIC, yang range nilainya cukup lebar, yaitu antara US$4.516- US$14.005.

Menurut BPS, bila standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan di Indonesia, akan menghasilkan jumlah penduduk miskin cukup tinggi.

BPS Jangan Menutup Diri

Merespons perbedaan itu, Anggota Komisi Keuangan (XI) DPR RI, Anis Byarwati menilai, kajian Bank Dunia terkait kemiskinan itu seharusnya menjadi bahan evaluasi untuk menakar daya saing Indonesia dengan negara-negara setara lain. Ia meminta BPS tidak menutup diri terhadap kajian berbagai lembaga riset termasuk dari Bank Dunia.

“Karena jika datanya kurang akurat, maka kebijakan pembangunan berisiko melenceng dari target, sehingga meninggalkan jutaan orang dalam lingkaran kemiskinan,” katanya dalam keterangan rilis di situs resmi DPR Senin, (05/05/2025).

Anis menyadari, Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau. Masing-masing pulau itu memiliki karakteristik berbeda. Karena itu, garis kemiskinan tiap wilayah tidak bisa disamaratakan di seluruh daerah.

Menurutnya, kemiskinan masih menjadi tantangan nasional yang kompleks serta menjadi pekerjaan rumah besar yang membutuhkan penanganan sangat serius.

“Negara perlu memfokuskan sumber daya fiskalnya, terutama pada investasi yang berpihak pada masyarakat miskin dan kebijakan yang meminimalisir ketimpangan,” ujarnya.

Baca juga:

Data Kemiskinan Indonesia
BPS
Bank Dunia
Kemiskinan

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...