indeks
Bukan Sekadar Jual Beli: Seluk Beluk Kejahatan Perdagangan Bayi Sistemik di Indonesia

“Penjualan itu cukup dari satu orang berpindah ke orang lain dengan tujuan ekonomi. Tapi kalau perdagangan itu harus melewati perekrutan, kekerasan, ujuk rayu, pemindahan dan eksploitasi,” jelasnya

Penulis: Naomi Lyandra

Editor: Resky Novianto

Google News
ai
Ilustrasi Sindikat Perdagangan Bayi. Foto: Kecerdasan Buatan (AI)

KBR, Jakarta - Kasus perdagangan bayi ke Singapura yang tengah diusut kepolisian diduga melibatkan jaringan sindikat lintas negara. Namun, menurut para pemerhati dan pelindung anak, kasus ini merupakan puncak dari gunung es kejahatan perdagangan anak yang sistemik.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Rahmayanti, menyatakan bahwa kejahatan ini tidak berdiri sendiri dan mencerminkan lemahnya sistem perlindungan anak di Indonesia.

“Memang pertama, anak menjadi kelompok rentan karena memang belum memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri. Kemudian untuk orang dewasanya, karena banyak faktor. Pertama, memang belum ada kesadaran masyarakat,” jelas Ai dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (24/7/2025).

Ai Rahmayanti menambahkan, masih banyak masyarakat yang tidak memahami prosedur adopsi legal, dan faktor ekonomi menjadi alasan kuat di balik kasus penjualan bayi. 

"Banyak orang tua dalam kondisi putus asa, memilih menyerahkan bayinya melalui jalur ilegal karena tidak sanggup membesarkannya," ucapnya.

Menurutnya, celah dalam sistem perlindungan anak juga menjadi pintu masuk bagi pelaku untuk menyelundupkan bayi secara lintas daerah bahkan negara.

“Artinya ini juga ada keterlibatan aparatur negara. Kita melihat beberapa tempat terjadinya perdagangan bayi ini seperti di klinik, kemudian di panti-panti, artinya kalau misalkan di klinik ini juga ada keterlibatan pemilik klinik, tenaga kesehatan, kemudian di panti pun seperti itu,” ungkap Rahmayanti.

red
Para tersangka saat rilis pengungkapan kasus perdagangan manusia dengan korban bayi di Mapolda Jawa Barat, Bandung, Kamis (17/7/2025). ANTARA FOTO/Novrian Arbi

Ai Rahmayanti juga menduga ada keterlibatan pihak imigrasi dalam kasus perdagangan bayi dari tanah air.

"Kenapa anak-anak bisa lolos di dalam hal dokumentasi ketika terjadi pelintasan ke luar negara. Ini menjadi catatan tersendiri untuk pihak imigrasi, kemungkinan ada keterlibatan oknum-oknum imigrasi di dalamnya," kata dia.

Ketiadaan Data dan Koordinasi Antar-Lembaga

Menurut Ai Rahmayanti, akar masalah dari lemahnya sistem perlindungan anak adalah ketiadaan data yang akurat dan kurangnya koordinasi lintas kementerian.

“Data anak sebagai basisnya juga memang belum ada dan belum ada yang konsen ke arah sana. Koordinasi lintas kementrian juga ini PR banget,” tegasnya.

Hal ini berdampak pada buruknya respons terhadap kasus, minimnya pencegahan, serta lemahnya sistem pengawasan terhadap lembaga pengasuhan anak seperti panti sosial dan klinik bersalin.

“Saya kemarin sudah melakukan pengawasan di panti yang sudah memiliki legalitas pun itu anak-anak itu luput dari asesmen, tidak ada identitas lengkapnya,” tambah Ai.

Kompleksitas Hukum Hambat Penindakan

Child Protection dan Child Rights Governance Technical Advisor dari Save the Children Indonesia, Bagus Wijaksono, menyoroti persoalan mendasar dari sisi hukum. Menurutnya, perbedaan definisi antara “penjualan anak” dan “perdagangan anak” membuat penindakan menjadi sulit.

“Penjualan itu cukup dari satu orang berpindah ke orang lain dengan tujuan ekonomi. Tapi kalau perdagangan itu harus melewati perekrutan, kekerasan, ujuk rayu, pemindahan dan eksploitasi,” jelas Bagus dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (24/7/2025).

Ia mengkritisi bahwa undang-undang nasional belum selaras dengan protokol internasional seperti Protokol Palermo. Alhasil, dalam banyak kasus, ibu kandung justru yang dikriminalisasi, sementara sindikat di baliknya sulit disentuh hukum.

red
Seorang tersangka (tengah) perdagangan bayi tiba di Mapolda Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Kamis (17/7/2025). ANTARA FOTO/Novrian Arbi

Peran Penting Masyarakat dan Edukasi

Bagus menceritakan pengalaman sukses komunitas PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) yang berhasil menggagalkan upaya perdagangan anak hanya karena kepekaan sosial warga desa.

“Anak-anak ini pertemanannya di desa itu sangat bagus. Suatu hari, dia tidak melihat temannya dua hari dan melaporkan kepada anggota PATBM. Ternyata anak itu sudah berada di tempat penampungan dan bisa diselamatkan,” ujar Bagus.

Ai juga menekankan pentingnya edukasi kepada orang tua, terutama terkait pengasuhan dan proses adopsi legal, serta penguatan pengawasan terhadap aktivitas jual-beli anak secara daring melalui media sosial.

“Kekerasan tidak hanya terjadi di dunia offline tapi di dunia online juga ini yang terjadi peningkatan ya... Ini perlu pengawasan baik yang terjadi di realitas offline maupun online-nya,” ujar Ai.

Pemerintah Harus Konsisten dan Didukung Anggaran

Bagus mengkritik lemahnya implementasi kebijakan perlindungan anak karena minimnya anggaran dan inkonsistensi program. Menurutnya, banyak program hanya bersifat seremonial dan tidak berkelanjutan.

“Aturan perundang-undangan itu tidak bisa berjalan tanpa ada program. Program tidak bisa berjalan tanpa ada anggaran,” tegasnya.

Bagus menyayangkan bahwa program pemantauan lembaga pengasuhan alternatif jarang dilakukan karena keterbatasan anggaran, meskipun secara regulasi harus dilakukan dua kali setahun.

“Padahal perdagangan anak ini bertarung dengan sindikat. Satu-satunya yang harus dilakukan adalah program monitoring yang ketat,” tambahnya.

Bagus mengajak seluruh elemen masyarakat turut terlibat dalam perlindungan anak.

“Negara sendiri tidak akan pernah bisa melakukan itu tanpa dukungan dari masyarakat. Keluarga, komunitas, dan anak itu sendiri menjadi pelindung terdepan,” tegasnya.

Jalan ke Depan: Prioritaskan Anak dalam Pembangunan

Komisioner KPAI Ai Rahmayanti menekankan pentingnya menjadikan anak sebagai subjek prioritas dalam pembangunan nasional. 

Ia turut berharap pada komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan efektivitas kebijakan dan memperbaiki sistem pengawasan serta koordinasi.

“Anak belum menjadi prioritas di dalam pembangunan nasional kita. Mudah-mudahan ke depan juga harus dijadikan anak menjadi sentral dalam bagian pembangunan Indonesia ke depan,” tuturnya.

red
(Dari kiri ke kanan) Wakil Ketua KPAI Ai Rahmayanti, Jasra Putra, dan Diyah Puspitarini, saat konferensi pers peringatan Hari Anak Nasional 2025 di Kantor KPAI, Jakarta, Rabu (23/7/2025). (KBR/Hoirunnisa)


Ai Rahmayanti berharap Hari Anak Nasional 2025 menjadi momentum refleksi dan evaluasi. 

"Perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab negara, tapi juga kewajiban kolektif seluruh masyarakat. Karena keselamatan dan masa depan anak adalah masa depan bangsa," jelasnya.

Enam Bayi Diselamatkan

Polisi menyelamatkan enam bayi yang hendak dikirim ke Singapura melalui Bandara Soekarno-Hatta. Lima bayi dari Pontianak, satu berasal dari sekitar Jakarta.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar Surawan mengatakan korban dijual seharga Rp11 juta hingga Rp16 juta per bayi.

"Keterangan dari tersangka, bayi-bayi itu dibawa di Singapura atau diadopsi oleh warga negara Singapura. Keterangan sementara seperti itu," kata dia, Selasa (15/7/2025), dikutip dari ANTARA.

Bayi-bayi itu kini dirawat di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) di Kota Bandung.

Polisi masih mendalami dugaan korban lain yang diperjualbelikan. Dari hasil pengembangan, sedikitnya ada 24 bayi menjadi korban penjualan ke Singapura.

"Kami mendapatkan keterangan bahwa tersangka sudah pernah mengambil sebanyak 24 bayi," kata Surawan.

Dia mengklaim telah menggandeng Interpol untuk menelusuri keberadaan korban lain di luar negeri.

Lewat Facebook, Dipesan sejak dalam Kandungan

Praktik jual beli anak ini berawal dari media sosial Facebook. Salah satu tersangka berinisial AF, menyamar sebagai calon pengadopsi anak. Tersangka kemudian menjalin komunikasi dengan ibu bayi hingga mendekati waktu persalinan.

"Karena korban ini merasa bayinya nanti akan dijadikan anak dari pengadopsi. Dan pelaku yang melakukan aksinya itu menyatakan bahwa dia ini sudah mempunyai suami, tetapi belum punya anak," kata Kabid Humas Polda Jabar Hendra Rochmawan, Rabu (16/7/2025).

Saat komunikasi awal, tersangka menjanjikan uang Rp10 juta kepada orang tua bayi. Namun, saat persalinan, dia hanya mengirim uang Rp600 ribu untuk biaya persalinan.

Merasa tertipu, orang tua bayi melapor ke polisi. Dari laporan itu, polisi menangkap AF dan menetapkannya sebagai tersangka. AF terungkap sebagai bagian dari sindikat perdagangan bayi yang telah beroperasi sejak 2023.

Hendra mengatakan para tersangka memiliki peran berbeda dalam sindikat tersebut, mulai dari perekrut awal, perawat bayi, pembuat dokumen palsu, hingga pengirim bayi ke luar negeri.

"Bahkan penjualan sampai sebelum lahir, yaitu dari kandungan kemudian ada penampungnya, dan juga ada pembuat surat-suratnya, dan juga pengirim," kata dia.

red
Polda Jabar saat rilis pengungkapan kasus perdagangan manusia dengan korban bayi di Mapolda Jawa Barat, Bandung, Kamis (17/7/2025). ANTARA FOTO/Novrian Arbi

Kasus Berulang, Modus Beragam

Dari catatan KPAI, dalam tiga tahun terakhir ada sekitar 40 kasus perdagangan anak. Modusnya beragam, mulai dari pengantin pesanan, migrasi ke negara pekerja migran dengan membawa anak, hingga adopsi ilegal.

Kasus ini makin menjadi sorotan dalam setahun terakhir.

Pada November 2024 lalu, Polres Kulon Progo, Yogyakarta, menangkap empat tersangka perdagangan bayi. Dari hasil pemeriksaan, mereka telah menjual belasan bayi dalam setahun terakhir. Tersangka dijerat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.

Kasus serupa kemudian terungkap di Bandung. Berdasarkan data KPAI, sedikitnya 35 bayi dijual ke Singapura melalui peran sindikat rekrutmen.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media

Baca juga: 

Kasus Perdagangan Bayi Diduga Libatkan Sindikat Internasional

perdagangan bayi
kejahatan anak
anak
perdagangan anak
KPAI

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...