"Karena masalah itu nggak bisa ditolak, nggak usah diundang juga datang. Yang sering terjadi, mereka tak mampu navigating pada saat konflik" kata Alissa Wahid
Penulis: Astri Septiani, Wydia Angga
Editor: Ninik Yuniati

KBR, Jakarta - Psikolog keluarga, Alissa Wahid meminta Menteri Agama Nasaruddin Umar berhati-hati dengan wacana revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Usulan penambahan bab khusus pelestarian perkawinan perlu dikaji serius, jika ingin dijadikan solusi atas kenaikan angka perceraian.
Data Kementerian Agama mencatat, pada 2024, jumlah pasangan yang bercerai mencapai lebih dari 250 ribu kasus. Alissa bahkan menyebut angka lebih besar, dua kali lipat, yakni 500 ribu per tahun.
"Yang mencoba bertahan di ‘neraka dunia’, kan, jauh lebih banyak pasti, hanya saja tidak ada datanya,” ujar Alissa. Frase "neraka dunia" merujuk pada kondisi relasi perkawinan yang tak lagi sehat.
Sebelumnya, Menteri Agama Nasaruddin merespons tingginya angka perceraian dengan mengusulkan ada bab khusus tentang pelestarian perkawinan di UU Perkawinan. Ini sebagai upaya perlindungan keluarga dan investasi masa depan bangsa.
Di bab khusus itu, negara bakal hadir sebagai mediator, melalui Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) bentukan Kemenag.

Foto: Menteri Agama Nasaruddin Umar. Sumber: kemenag.go.id
Sebanyak 11 strategi mediasi disiapkan, antara lain, mendorong pasangan muda untuk menikah, menjadi perantara jodoh atau "mak comblang", memediasi konflik menantu-mertua, dan bekerja sama dengan peradilan agama agar tidak mudah memutus perkara cerai.
Alissa mengingatkan, upaya melestarikan perkawinan jangan diarahkan ke pemaksaan agar pasangan urung bercerai, padahal kondisi relasi mereka bak neraka.
Kesehatan mental pasangan yang menjalani juga harus diperhatikan. Karenanya, apabila BP4 harus melakukan intervensi, maka mesti sampai ke akar masalahnya.
Kenali Diri, Kenali Pasangan
Alissa menyarankan, bagi pasangan yang merasa tak mampu mengelola konflik, segeralah melakukan konseling. Bisa juga memanfaatkan bimbingan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Putri sulung Presiden Gus Dur ini berpendapat, konflik dalam rumah tangga kerap bermula dari harapan tak realistis yang disematkan pada pasangan. Begitu konflik pecah, mereka gagal mengelolanya.
"Ketika berantem, gimana cara berantem yang baik dan benar? Karena masalah itu nggak bisa ditolak, nggak usah diundang juga datang, kita nggak bisa menghindari. Yang sering terjadi, mereka tak mampu navigating pada saat konflik itu. Jadi tereskalasi," kata Alissa.
Baca juga:
- Mengapa Gen Z Dijuluki Generasi Paling Toleran?
- Jurus Gen Z Lawan Intoleransi
Dia menyinggung konsep three voices yang kerap merusak hubungan: voice of judgment (suara menghakimi), voice of cynicism (suara sinis dan stereotip), dan voice of fear (suara ketakutan). Ketika ketiga suara itu mendominasi, maka muncullah konflik dalam relasi.
Alissa bilang, salah satu cara membangun hubungan rumah tangga yang sehat dimulai dari mengenali diri dan pasangan dengan prinsip yang sama. Selain itu, saling memahami love language masing-masing juga bisa merekatkan perkawinan.
Apa lagi tips dari Alissa Wahid agar tangki cinta bisa penuh dan hubungan perkawinan bisa terjaga? Saksikan obrolan lengkapnya di Podcast Disko (Diskusi Psikologi) berikut: