Article Image

SAGA

Yang Tak Pernah Hilang dari Petrus Bima Anugrah

"Merawat ingatan tentang kasus penghilangan paksa yang hingga kini belum tuntas"

Utomo Rahardjo (kedua dari kiri) dan Dandik Katjasungkana (tengah) di konpers sehari sebelum pemutaran film

KBR, Jakarta - Utomo Rahardjo (79) punya cara sederhana untuk mengenang putranya, Petrus Bima Anugrah. Saban tahun, tepat 24 September, ia mengirimkan pesan WhatsApp ke tiga anaknya dan kerabat.

“Kalau tiap ulang tahu, ntar WA ulang tahun Bima, dihilangkan sekian tahun, (Bapak) masih ingat,” kata Utomo.

Tahun ini, 2024, mestinya Bimo berusia 51 tahun. Tak terbayang seperti apa wajah anak keduanya itu, jika sekarang masih bernyawa.

“Kita berdoa semoga di mana pun Bima berada, Tuhan bersama Bima,” ucapnya.

Bimo adalah salah satu dari 13 aktivis yang diculik di masa Orde Baru dan masih belum ditemukan sampai sekarang. Usianya belum genap 25 tahun saat dinyatakan hilang.

Momen terakhir bersama Bimo adalah saat putranya berpamitan untuk pergi ke Jakarta. Ketika itu, Bimo kuliah di Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.

Ia terpanggil melanjutkan perjuangan rekan-rekannya di Partai Rakyat Demokratik (PRD), seperti Budiman Sudjatmiko, yang ditangkap aparat.

“Kami bertiga di kamar kami, Bima menyampaikan bahwa ia harus berangkat ke Jakarta. Sementara ibunya melarang, ‘jangan sekarang, kamu selesaikan dulu kuliahmu di Surabaya di Unair. Kalau sudah kuliah, mau ke mana saja kamu silakan’,” ucap Utomo menirukan.

Bimo bergeming, meski ibunya, Genoveva Misiati tak merestui.

“Bima bilang ‘sekarang, Bu, waktunya sekarang harus menggantikan Budiman’. Pertanyaan Bapak pada Bima, ‘apakah kamu mampu untuk menjebol tembok yang tebal sekali, tembok cor beton tulangnya baja?’. Dia senyum menjawab 'ya paling tidak akulah yang menabrakkan diri'. Wah, ibunya nangis,” tutur Utomo mengenang.

Tak berdaya mencegah, Utomo ikhlas melepas Bimo menantang bahaya.

“Targetnya untuk anak-anak PRD waktu itu disampaikan kepada Bapak, ‘targetnya 4B, Pak: buru, bui, buang, bunuh. Itu sesuai dengan yang disampaikan pada Bapak Ibu, pada waktu (Bimo) pamit ke Jakarta,” imbuhnya.

Baca juga: Budiman Sudjatmiko soal Pemecatan, Penculikan, Prabowo, hingga Keputusan Bu Mega Menunjuk Ganjar

Foto Utomo Rahardjo, ayah Petrus Bima Anugrah hasil tangkapan layar dari trailer film 'Yang Tak Pernah Hilang'

Hanya iman yang menguatkan.

“Kalau memang itu pilihanmu baik dan benar berangkatlah kamu. Selagi masih jernih, setitik aja kamu masih diselamatkan,” ungkap pria 79 tahun ini.

Utomo tahu Bimo menjadi aktivis prodemokrasi sejak kuliah. Putranya itu banyak mengadvokasi kelompok marjinal seperti buruh, petani, dan nelayan.

“Dia kalau pulang (ke Malang) bawa majalah ‘Retorika’, majalahnya Unair, majalah mahasiswa. Itu senang sekali, karena ‘Retorika’ pada saat itu kritis sekali mengkritisi pemerintah,” lanjutnya.

Sejak Bimo pindah ke Jakarta, Utomo memasang telepon di rumah agar bisa berkomunikasi dengan putranya. Namun, peluang berbincang sangatlah jarang, karena Bimo selalu dalam pelarian.

“Hanya sekali-sekali mengabarkan. Aku baik-baik aja, doakan saya, ndak pernah menyampaikan tempatnya di mana, tempatnya berpindah-pindah, karena dia adalah target operasi dari aparat,” kata dia.

Hanya sekali Bimo minta dikirimi uang.

“Kalau enggak salah dikirimi ibunya Rp150 ribu, lewat rekening temannya. Dia tidak punya rekening sama sekali. Dia sejak kecil tidak pernah jadi anak yang cengeng, sambat atau mengeluh,” Utomo mengisahkan.

Pada akhir Maret 1998, telepon sering berdering, bukan dari Bimo, tetapi rekan-rekan sesama aktivis. Bimo diduga kuat ditangkap Tim Mawar bentukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI. Tak ada yang tahu keberadaannya.

“Tanggal 31 maret 1998, temannya telepon ke rumah, ‘Bima pulang, Bu? Bima pulang, Pak?’ Ternyata ndak, dan berkali-kali temannya juga menanyakan. Sejak itulah sudah putus hubungan dengan teman-temannya dan tidak pernah mengabari orangtua. Sejak 31 Maret 1998 itu adalah awal Bimo hilang,” ucapnya.

Pencarian

Utomo dan istri pantang berdiam diri. Mereka melakukan segala cara untuk menemukan keberadaan Bimo. Paranormal pun mereka datangi. Permintaan imbalan jutaan rupiah juga mereka sanggupi.

“Kalau enggak salah Rp5 juta, pada 1998, itu besar sekali. Ya diusahakan pinjam (uang), gadai kalung, gadai gelang. Paranormal beberapa kali baik yang lokal, yang di Malang atau yang dari Yogya atau Solo. Pernah itu saya datangi dengan ibunya. Namanya ikhtiar atau usaha seperti itu,” terang Utomo.

Mereka bahkan kena tipu.

“Bayangkan, (orang) datang ke rumah, (bilang) ‘Bimo ada di tempat ini, ditunggu di Sumbawa atau Sumba’. Akan menjemput Bimo, minta sangu (uang saku) orang itu. Dan saya beri sangu dengan memberi nomor rekening,” lanjutnya.

Utomo menyaksikan istrinya berpuasa Senin dan Kamis selama lima tahun, berharap Tuhan mendengar doanya.

“Saya bilang, ‘Bu, menyerahkan kepada Tuhan saja’. Akhirnya dia berhenti tahun yang ke-6 enggak puasa Senin-Kamis. Apapun yang terjadi, kehendak Tuhanlah yang terjadi. Itu lebih ringan, lebih nyaman perasaan kita daripada kita berharap lebih,” Utomo bercerita.

Perjuangan gigih ibu mencari putranya berakhir pada Senin pagi, 6 Agustus 2018. Genoveva Misiati, meninggal dunia dalam penantian.

“Itu (ibu) menghadap ke tembok, (Utomo) bangunin, ‘Bu ini tehnya udah datang, jam 6 pagi, tehnya anget diminum’. Satu sendok teh yang anget iku diminum, glek, dia melihat ke atas dan berangkat. ‘Selamat jalan, Bu’. Saya enggak tangisi, Bapak enggak nangis,” kata dia.

Tak sekalipun juga ia menangisi Bima, karena bangga dengan perjuangan putranya

“Aku sebenarnya menangis, tapi aku ndak pernah meneteskan air mata,” ujar Utomo.

Utomo merawat kenangan tentang Bima dengan menceritakan kisahnya ke para cucu.

“'Pakde Bimo itu gini lho, Le, waktu demonstrasi, aksi buruh, aksi mahasiswa, aksi petani di Surabaya dan ada videonya, iyo bakar ban, nyanyi-nyanyi, itu saya ceritakan pada cucu-cucu saya,”

Baca juga: Rindu pada Yadin Muhidin

Istri mendiang Munir, Suciwati melayat ke rumah duka Genoveva Misiati, ibu Petrus Bima Anugrah. (Foto: KBR/Zainul Arifin)

Merawat ingatan

Utomo juga mengapresiasi karya-karya yang mengangkat kisah Bimo, misalnya novel Leila S Chudori, “Laut Bercerita”. Teranyar, ada film dokumenter berjudul “Yang Tak Pernah Hilang”.

Film berdurasi 2 jam ini diproduseri oleh Dandik Katjasungkana.

“Itu (Bimo dan Herman) temanku ketika kuliah, juga teman satu organisasi ketika terlibat dalam gerakan mahasiswa, gerakan demokrasi,” kata Dandik.

Dandik adalah Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Surabaya. Sejak dulu, ia mendorong pembuatan monumen di kampus FISIP Universitas Airlangga, untuk mengenang Herman dan Bimo. Namun, usaha itu selalu terganjal.

Padahal, kampus lain seperti UI, Trisakti, dan Atmajaya, juga mendirikan monumen untuk mengingat para aktivis mahasiswanya yang diculik pada masa Orde Baru.

“Pada awalnya disetujui dekannya, itu belum terlaksana, terus berganti dengan (dekan) yang baru, kami negosiasi lanjutan, tapi pada intinya tidak disetujui. Sampai kemudian berganti-ganti dekan sampai sekarang ini tidak memberi lampu hijau untuk pembangunan monumen itu,” ujar Dandik.

Kebutuhan untuk merawat ingatan akan perjuangan Bimo dan Herman di Surabaya makin menguat di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pada 2019 tercetuslah ide untuk membuat film dokumenter.

“Gagasan awalnya di 2019 sesaat setelah Jokowi memilih Prabowo menjadi Menteri Pertahanannya. Salah seorang alumni Unair mengatakan kepada saya dan teman-teman di Surabaya bahwa Jokowi telah mengkhianati dukungan kita. Kami dulu kan sebagian besar mendukung Jokowi untuk jadi presiden di periode pertama maupun periode. Si teman ini mengatakan bahwa kita harus melawannya dalam bentuk pembuatan film,” Dandik bercerita.

Film ini juga bagian dari pelunasan utang sejarah kepada Bimo dan Herman yang sampai sekarang belum ditemukan.

“Advokasi yang kami lakukan tidak menemukan titik terangnya. Maka, utang sejarah itu harus kita bayar dalam bentuk apa? mengabadikan mereka, supaya nilai-nilai (yang) mereka Yakini, spirit perjuangan yang mereka pegang teguh sampai akhir hayatnya, bisa dipelajari oleh banyak orang khususnya generasi sekarang,” tutur Dandik.

Harapannya, film tersebut menjadi referensi sejarah bagi anak muda maupun generasi mendatang. Dandik ingin mereka paham bahwa ada tragedi berdarah di balik lahirnya era reformasi. Simpati publik yang menguat juga bisa menjadi bahan bakar untuk menuntut pengusutan kasus.

“Film ini hadir untuk mengisi kekosongan supaya para Gen Z punya alternatif untuk belajar tentang narasi sejarah, yang berkaitan langsung dengan hidup mereka. Reformasi kan tidak datang tiba-tiba, mewariskan banyak perubahan juga. Mereformasi atau perubahan sosial itu meninggalkan banyak luka sejarah yang harus diketahui generasi sekarang. Supaya mereka belajar tentang kesalahan-kesalahan sejarah di masa lalu,” jelasnya.

Dananya pembuatan film bersumber dari donasi publik. Film “Yang Tak Pernah Hilang” sudah diputar di berbagai daerah, seperti Surabaya, Malang, Jakarta, hingga Bangka Belitung.

“Kami memproduksi film ini dengan komitmen kemandirian, membiayai sendiri, para pekerjanya tidak dihonor. Kami memproduksi merchandise dalam bentuk t-shirt gambar Herman-Bimo, juga tas, itu kami jual sebagai fund raising. Kami juga menyiarkan di media sosial bahwa kami membutuhkan dukungan banyak pihak. Juga secara door-to-door datang ke teman-teman, sekiranya punya kelebihan rezeki untuk disumbangkan demi kelancaran film ini,” ungkap Dandik.

Baca juga: Menanti Pulang, Anakku yang Dihilangkan

Sejumlah kutipan berisi harapan para ibu korban penculikan aktivis 97/98, yang termuat dalam poster film 'Yang Tak Pernah Hilang'. (Foto: Heru/KBR)

Ayah Bimo turut hadir dalam pemutaran film “Yang Tak Pernah Hilang” di sejumlah daerah. Ia mengapresiasi upaya merawat ingatan tentang putranya. Meski, Utomo yakin Bimo sudah meninggal dunia.

“Saya serahkan jiwa raga Bima di hadapan Tuhan yang Maha Segala. Sudahlah pasrah, Tuhan akan memberikan tempat yang paling baik bagi Bimo,” ujar Utomo.

Utomo merujuk pada pernyataan beberapa kalangan. Misalnya eks Danjen Kopassus Agum Gumelar yang pernah menjabat anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP) 1998. Agum turut mengusut kasus penculikan aktivis yang diduga melibatkan Tim Mawar Kopassus dan Prabowo Subianto.

Utomo juga berpegangan pada keterangan Hermawan Sulistyo alias Kiki yang menjadi anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998.

“Seperti yang dikatakan mantan Danjen Kopasus Agum Gumelar, Mas Kiki Hermawan Sulistyo dan Leila S Khudori, benar adanya, (Bimo) sudah tiada, dihabisi. Hanya Agum Gumelar, anak buahnya mengaku (Bimo) sudah dihabisi di suatu tempat. Kalau yang Hermawan Sulistyo sama “Laut Bercerita” (Bimo) ditenggelamkan di laut,” ungkap Utomo.

Pria 79 tahun ini pasrah dengan nasib pengungkapan kebenaran kasus penculikan Bimo. Sudah enggan berharap pada negara. Apalagi nahkoda barunya adalah Prabowo Subianto, yang diduga kuat terlibat dalam penghilangan paksa. Namun, di hati paling dalam, Utomo yakin Tuhan tidak tidur.

“Tuhan sendiri yang akan memberikan pelajaran dan pengajaran kepada mereka. Catat dan ingat! Ini omongan Pak Utomo. Sudah, kita lihat saja, sampai di mana Tuhan memberi kesempatan pada mereka,” tegas Utomo.

Penulis: Heru Haetami

Editor: Ninik Yuniati