Article Image

SAGA

Usaha Lestari di Sigi yang Menghidupi Diri dan Bumi

"Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) menginisiasi Gampiri, komunitas muda di Sigi, Sulawesi Tengah, kembangkan usaha lestari"

Suasana bootcamp Gampiri Inkubasi Usaha Lestari (GIAT) angkatan kedua 2024 di Sigi. Sulawesi Tengah. (Foto: dok Gampiri).

KBR, Sigi - Tangis Syalfiah selalu pecah tiap kali ditanya tentang kabar usahanya setengah tahun terakhir.

Selama periode itu, ia mengikuti program Gampiri Inkubasi Usaha Lestari (GIAT), Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

“Dari GIAT ini, saya merasa, saya tuh lahir kembali. GIAT ini bikin saya bangkit dari keterpurukan. Di GIAT inkubasi ini, semua hal baru buat saya, ketemu teman-teman UMKM, ketemu orang banyak,” kata Syalfiah sesenggukan.

Syalfiah punya usaha keripik pisang “Qyata”, yang dirintis sejak awal 2022. Merek "Qyata" diambil dari gabungan nama putrinya, Aqilah, namanya sendiri, Syalfiah, dan lokata yang berarti pisang dalam bahasa suku Kaili, salah satu suku di Sigi.

“Awalnya, keripik pisang ini camilan favorit anak saya, waktu itu umur 3 tahun. Camilan yang aman tanpa ada bahan pengawet. Dari camilan favorit itu, saya jadikan sebagai usaha, menopang perekonomian saya, untuk menghidupi anak saya,” lanjut Syalfiah dengan mata sembab.

Syalfiah menjadi orang tua tunggal pascaberpisah dari suaminya pada 2020. Perempuan 39 tahun ini mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Dari Tarakan, Kalimantan Utara, ia balik ke rumah orang tuanya di Palu, kemudian pindah ke Sigi, tinggal berdua dengan putrinya. Bekerja serabutan demi menyambung hidup, mulai dari jadi tukang masak di sekolah, jualan online kala pandemi, hingga akhirnya merintis usaha keripik pisang.

Awalnya, hanya keluarga dan tetangga sekitar yang memesan. Suatu hari, saat Lebaran, ada tamu yang berkunjung ke rumah keluarganya, kemudian mencicipi keripik pisang Syalfiah. Sang tamu yang ternyata pelaku UMKM memuji keripik bikinannya.

“Dia menawarkan keripik saya, mau dijadikan pakai nama brand-nya dia. Tapi saya bilang, saya sudah punya brand,” ujar Syalfiah.

Dari pertemuan itu, Syalfiah mendapat informasi bagaimana mengurus legalitas usaha. Ia lantas mendaftarkan "Qyata" sebagai UMKM.

Namun, mengantongi izin resmi ternyata bukan jaminan bisnis bakal lancar. Sekitar setahun, omset keripik pisang "Qyata" stagnan.

“Pemasarannya cuma nanti ada yang pesan, paling sering Lebaran. Kalau untuk hari-hari, masih macet, karena belum ada ilmunya. Kasih masuk sih di kios, tapi (seret) karena belum dapat ilmunya,” ungkapnya.

Baca juga: Paralegal Komunitas, Memampukan Kelompok Rentan Mengakses Keadilan

Syalfiah memamerkan keripik pisang buatannya. Usaha ini mendapat dampingan dari program inkubasi Gampiri. Lewat pelatihan di Gampiri, ia bisa mengembangkan bisnis dan kapasitas diri. (Foto: KBR/Ninik)

Di awal 2024, Syalfiah mendaftar menjadi peserta Gampiri Inkubasi Usaha Lestari (GIAT), program kelolaan Gampiri Interaksi Lestari, yang diketuai, Nedya Sinintha Maulaning.

“Inkubasi ini sebenarnya salah satu bentuk kami mau jaga-in Sigi, biar tetap hijau, biar tetap terlindungi. Karena siapa lagi kalau bukan kami? siapa lagi kalau bukan kita anak daerah yang sadar? Makanya, kesadaran itu harapannya bisa kami bagikan juga ke orang lain,” kata Nedya.

Gampiri adalah wadah berkreasi orang-orang muda Sigi, hasil inisiasi Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), untuk membantu pemda mewujudkan pembangunan hijau. Sigi yang dimekarkan pada 2008 ini, sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan.

“Untuk menjaga 70 persen hutan di Sigi melalui pendampingan produktivitas untuk pelaku usaha, yang mengolah hasil hutan bukan kayu, menjadi produk bernilai tambah. Dan juga bisa membantu menjaga keseimbangan antara nilai ekonomi dan perlindungan (hutan). Perbedaan kita sama inkubator lain, kita melihat keseimbangan antara ekonomi, sosial, sama lingkungan,” terang perempuan 27 tahun ini.

Program inkubasi sudah dua kali dihelat Gampiri. Total ada 44 usaha yang didampingi, 25 di antaranya di tahun kedua. Tiap pelaku usaha dibantu dari awal sampai akhir memoles bisnisnya agar naik kelas dan berkelanjutan.

Nedya bilang, selama ini, banyak peserta inkubasi terlalu fokus menyalahkan faktor modal dan pasar sebagai hambatan utama.

“Saat dibedah, ternyata perencanaannya yang kurang. Mereka tidak tahu, nilai dari produknya itu apa, pemetaan kebutuhan bahan baku, setelah kita temukan pasar, ternyata mereka enggak bisa memenuhi kuantitasnya. Jadi kualitas, kuantitas, sampai dengan legalitas dan izin edar, itu yang jadi fokus kami dalam proses inkubasi ini. Supaya mereka ketika ketemu dengan pasar, benar-benar siap dalam memenuhi kebutuhan pasar,” ujar Nedya.

Syalfiah, peserta inkubasi angkatan kedua, antusias dengan pengetahuan dan keterampilan baru yang dimilikinya. Ia dibimbing untuk membuat desain kemasan yang menarik dan meningkatkan kualitas produk.

“Intinya produknya harus konsisten, kita harus nimbang (keripik), sedangkan selama ini saya tidak pernah menimbang. Pengemasan, keripik saya itu sangat renyah, gampang hancur. Jadi bagaimana caranya saya packing supaya tidak hancur dibawa ke mana-mana,” tutur Syalfiah.

Baca juga: Ikhtiar Memperkuat Kader Posyandu, Ujung Tombak Layanan Kesehatan Masyarakat

Tim Gampiri Interaksi Lestari saat mengunjungi salah satu UMKM dampingan. Ini merupakan program inkubasi angkatan kedua dengan total peserta 25 usaha mikro lokal. (Foto: dok tim Gampiri).

Syalfiah bahkan mampu mempromosikan sendiri keripik dagangannya ke calon konsumen. Ia berubah dari sosok yang tertutup dan sulit bergaul, kini jadi lebih percaya diri.

“Dengan gagap-gagap saya berusaha menjual ke orang-orang. Saya jalan, menawarkan produk (ke) pengunjung. Awalnya mereka tolak karena saya bicaranya tidak bagus, saya kasih tester, akhirnya mereka mau beli,” Syalfiah bercerita.

Syalfiah juga kian berani menjelajahi potensi-potensi pasar baru. Omset penjualan per pekan pun bertambah lima kali lipat.

“Setiap Sabtu-Minggu, saya berjualan di lapangan, di (kantor) walikota, itu tiap sore, rame. Ada juga teman-teman yang beli untuk (di) jual kembali. Kalau mereka butuh, saya antarkan. Pokoknya prosesnya semua pelan-pelan. Saya syukuri kecil, besar, rezeki yang saya dapat, saya syukuri,” ujar Syalfiah.

“Sekarang saya sudah bisa cicil motor, insya Allah ke depannya saya bisa usahakan punya rumah sendiri sama anak saya,” harapnya.

Proses belajar di inkubasi tak hanya bermanfaat bagi usaha Syalfiah, tetapi juga pengembangan dirinya. Ibu satu anak ini jadi sadar akan trauma yang menderanya akibat KDRT bertahun-tahun.

“KDRT itu bikin saya, seperti hilang harga diri, hilang martabat. Jadi, keluar itu suatu yang wow buat saya. Bicara di depan umum itu wow sekali buat saya. Sampai saya konsultasi ke psikolog, bagaimana cara saya supaya bisa keluar dari fobia sosial ini. Jadi biarpun saya gemetar-gemetar bicara, saya tetap lawan," jelas Syalfiah.

“Saya mencoba keluar dari zona nyaman. Mungkin saya dikasih petunjuk lewat Gampiri, dikasih jalan untuk bisa berkembang, bisa keluar dari keterpurukan. Saya bilang sama Kak Ney, ‘inkubasi ini, dari GIAT, saya seperti terlahir kembali’,” lanjutnya.

Tak putus-putus Salfiah berterima kasih kepada tim Gampiri Interaksi Lestari yang mengelola program inkubasi. Tiap kali pula, Nedya, sang ketua, menyambutnya dengan penuh haru.

“Padahal, kami enggak butuh kayak mereka sadar sama itu, mereka cukup bisa lanjut saja usahanya, itu udah berarti banget sama kami. Jadi terharu, kan. Aku kirim (pesan Syalfiah) ke teman-teman, ‘guys, alhamdulillah yang kita kerja-in, ternyata berdampak sama orang’. Ternyata ada orang lain yang benar-benar butuh sama program ini,” ucap Nedya sambil berurai air mata.

Baca juga: Petani Kopi Perempuan Jombang Bertahan di Tengah Krisis Iklim

Nolvie (kanan), pemilik Sou Kopi Dombu and Roastery menunjukkan beberapa produk kopi buatannya. Di Dombu, ia mendampingi 20 petani kopi dan menyerap hasil panen mereka. (Foto: KBR/Ninik)

Ada juga testimoni peserta inkubasi angkatan pertama yang selalu memompa semangat Nedya. Tak lagi ingat dengan rasa lelah yang kerap menyapa.

“Tahun kemarin, ibu yang (usaha) kelor. Ibunya orang tua tunggal, (usaha) buat kedua anaknya, mampu juga bantu-in teman-teman lainnya. Saat dia dapat orderan banyak, itu happy-nya luar biasa terbantu,” kisah Nedya.

“Mereka bilang, ‘aduh Nedya makasih banyak, kita udah diajar, gara-gara kamu semua kita so terbantu, so bisa dikenal, so bisa sampai di Jakarta. Dapat tambahan lagi biaya. Itu kayak, aduh padahal kita melakukan yang sebagaimana harus kita lakukan saja. Ternyata dampaknya sama mereka, luar biasa,” imbuhnya.

Usia Nedya sekitar 20 tahun lebih muda ketimbang sebagian peserta inkubasi. Meski begitu, ia terkesan dengan semangat belajar mereka, menimba ilmu dari para mentor yang layak dipanggil adik atau anak.

Salah satunya, Nolvie, pemilik Sou Kopi Dombu and Roastery.

“Memang wilayah kami (Dombu) agak jauh karena di pegunungan. Tetapi, kerja-kerja atau belajar-belajar selama ini, tidak mengkhianati hasil. Itu membuat saya tambah semangat, tidak kendor,” kata Nolvie.

Pria 54 tahun ini mengendarai sepeda motor dari rumahnya di Dombu dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam, saat ada pelatihan di inkubasi. Tak sekalipun Nolvie datang terlambat. Padahal, jaraknya 35 kilometer dengan kondisi jalan yang menantang.

Sikap Nolvie sangat diapresiasi Nedya dan tim Gampiri.

“Ya ampun, kami sendiri saja yang umurnya masih segini (muda), bolak-balik kayak udah mau rontok tulang, kan, apalagi jauh, dengan kendaraan beliau juga yang terbatas. Tapi itu enggak mematahkan semangat. Jadi kayak, ya ampun, jangan malas, jangan capek, Nedya, aku kasih tahu ke diriku sendiri, karena banyak yang butuh, sama apa yang kami lakukan,” ucap Nedya menyemangati diri. 

Di program inkubasi, Nolvie belajar mengelola bisnis kopi, mengurus perizinan, membuat profil perusahaan, hingga manajemen promosi di media sosial.

“Kami justru di sini diajar, bagaimana harus mampu membuat terobosan-terobosan supaya usaha kita lebih laku dan bisa diminati orang-orang di luar sana. Saya tidak malu bahwa orang yang mengajar saya lebih muda. Banyak hal baru yang justru didapat (dari) orang-orang muda untuk lebih menguatkan pelaku-pelaku usaha,” tutur Nolvie.

“Saya berterima kasih pada orang-orang muda yang energic, yang memberi semangat, dan saya tidak malu belajar dari mereka, kalau itu untuk hal-hal baik,” kata dia.

Nolvie makin berani berinovasi, menciptakan produk baru. Ia meluncurkan kopi saset pada September 2024. Ide ini muncul saat pelatihan inkubasi.

“Kopi saset seharga Rp3.500, Rp10 ribu (dapat) 3, itu sudah kopi plus gula, yang bisa untuk orang kantor-an, mahasiswa. Hanya dibawa di kantong, hanya butuh air panas, lantas, di tempat manapun dia seduh, karena sudah diukur, pas untuk kepentingan satu gelas,” jelas Nolvie.

Baca juga: Pupuk Subsidi Langka, Petani Juwiring Tak Lagi Pusing

Ketua Gampiri Interaksi Lestari, Nedya Sinintha Maulaning (berdiri) saat sesi coaching bersama peserta program inkubasi angkatan kedua. (Foto: dok tim Gampiri).

Gampiri membantu menghubungkan dengan pasar dan investor potensial.

“Dan sudah lumayan (omset). Sekarang lagi coba di-connect-kan dengan PHRI perhotelan. Karena mungkin hotel-hotel butuh yang saset, yang langsung satu gelas, ke kafe-kafe," ujar Nolvie.

“Kopi bubuk saya menjadi buah tangan dari dua dinas, Baprida (Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah) dan juga Disperindag (Dinas Perindustrian dan Perdagangan). Mereka kalau ada kegiatan di luar, membawa buah tangan kopi (Sou Kopi Dombu),” terang dia. 

Omset per bulannya pun melesat lima kali lipat. Selain dari kebun sendiri, Nolvie menyerap hasil produksi 20 petani Dombu. Ia mengedukasi mereka cara bertanam kopi yang berkelanjutan. Harapannya, makin banyak orang muda setempat yang bertani kopi.

“Saya mau generasi muda Desa Dombu atau di Kecamatan Marawola Barat tidak usah ramai-ramai turun ke Palu untuk mencari kerja, tetapi menciptakan pekerjaan. Contoh menanam kopi, menanam cokelat, karena siapa lagi yang akan mengurus daerah ini, kalau semua rame-rame turun ke Palu? Akhirnya tanah-tanah di sana, diperjualbelikan dengan urusan-urusan yang tidak pasti,” Nolvie menekankan.

Semangat Nolvie selaras dengan misi program Gampiri. Nedya, sang ketua, ingin UMKM peserta inkubasi mampu berkembang dengan model bisnis berkelanjutan. Ini sekaligus untuk menarik minat kalangan muda Sigi terjun ke usaha lestari.

“Kami ingin mendorong sekeren apa tenant-tenant hasil inkubasi, supaya ‘ah iya ya, mereka bisa mendapat peluang pasar, bisa sustainable, bisa sambil jaga hutan, sambil jaga Sigi. Sambil juga ber-income yang cukup untuk usahanya,” ucap Nedya.

Sigi punya komoditas unggulan seperti kopi, vanili, dan cokelat yang bisa dibudidayakan tanpa menebang hutan.

Ekonomi hijau akan membawa manfaat pengganda ke kesejahteraan dan lingkungan.

“Kalau mereka dapat nilai, kenapa mereka menebang? Karena mereka butuh hidup, butuh makan. Kalau mereka tahu, punya alternatif lain yang bisa mereka kelola, mereka enggak akan melakukan itu. Karena sebenarnya yang dirugikan mereka juga kalau nebang (hutan),” ujar dia.

Ke depan, Gampiri bakal terus meningkatkan kualitas program inkubasi, agar bisa mencetak usaha-usaha lestari demi Sigi dan bumi.

“Mungkin ini yang bisa aku berikan sebagai orang daerah, sebagai anak daerah, buat bisa nge-jaga-in daerahnya dari hal-hal yang bisa merugikan, karena ini membuat kami sadar, ternyata daerah kami itu kaya,” tegas Nedya.

Penulis: Ninik Yuniati