Article Image

SAGA

Petani Langensari Vs PTPN: Potret Kegagalan Reforma Agraria

"Sengketa lahan berlarut di Langensari, Sukabumi, Jawa Barat, menjadi cermin kegagalan janji manis reforma agraria."

Petani Suryakenana di Langensari, Sukabumi, memperjuangan lahan mereka atas klaim kepemilikan dari PTPN 1 Regional II. (KBR/Resky)

KBR, Jakarta - Saban pagi, Nuraeni pergi ke sawah garapannya yang berada di kaki Gunung Gede Pangrango, Sukabumi, Jawa Barat. Jalanannya menanjak, butuh sekitar setengah jam untuk mencapainya.

Itu semua ia lakoni bersama suami selama sembilan tahun, demi menghidupi anak-anaknya.

“Ada masih sekolah anak saya tiga, yang pertama SMP kelas 2, yang kedua SD kelas 2, yang kecil enam tahun,” kata dia saat ditemui KBR di Sukabumi, beberapa waktu lalu.

Nuraeni hanya satu dari 230-an keluarga di Desa Langensari, Sukabumi, yang menggantungkan hidup dari bertani sayur-mayur seperti cabai, tomat, dan sawi putih.

Meski hasil panen tak menentu, tergantung cuaca.

“Mudah-mudahan anak-anak enggak seperti saya. Meskipun jadi petani, tapi enggak seperti saya. Harus bisa jadi bos,” doanya.

“Anak saya jangan seperti saya. Susah-susah,” imbuh perempuan 30 tahun tersebut.

Doa itu makin sering ia panjatkan. Sebab, sawah Nuraeni terancam digusur PT Perkebunan Nusantara PTPN VIII (kini PTPN 1 Regional II).

PTPN VIII mengklaim hak pengelolaan 150 hektare lahan di Langensari. Padahal, selama puluhan tahun, lahan itu telantar dan warga dibiarkan menggarapnya.

Bahkan, izin Hak Guna Usaha (HGU) anak perusahaan BUMN tersebut, sudah habis pada 2013 silam.

red
PTPN VIII (sekarang PTPN 1 Regional II) memasang plang betuliskan aset negara di Langensari, Sukabumi, Jawa Barat. (KBR/Resky)

Namun, pada Oktober 2024, polisi datang dan memasang plang bertuliskan pengamanan aset BUMN.

Sejak itu, pihak PTPN kerap mengintimidasi petani. Salah satunya Sunandi.

“Ada pro-kontra dari pemerintah dengan intimidasi, dia (PTPN) menurunkan kepolisian dan TNI, untuk mengusir kami dan sebetulnya itu mengusirnya secara halus dengan teori-teori perkebunan, kami itu disuruh sewa ke perkebunan,” ungkapnya.

Bapak tiga anak ini berulang kali diiming-imingi menjadi karyawan PTPN dengan janji menggiurkan. Namun, ia tolak.

“Dan dengan teori-teori mereka atau katakan PTPN perkebunan, masyarakat perkebunan itu dibikin bodoh, enggak diperbolehkan untuk mandiri, punya usaha sendiri. Kepenginnya mereka itu PTPN, masyarakat itu masyarakat jadi karyawan semua,” keluhnya.

Warga ditawari program Pemberdayaan Masyarakat Desa sekitar Kebun (PMDK) oleh PTPN. Menurut skema ini, warga harus menyewa lahan PTPN, jika ingin tetap bertani. 

Warga bergeming. Sempat diajak mediasi, tetapi selalu buntu.

Seorang petani di Langensari, Sukabumi, mengenakan pakaian PPSS. (KBR/Resky)

Warga Langensari berembuk. Terbentuklah Persaudaraan Petani Suryakencana Sukabumi (PPSS) pada 2018 sebagai wadah perjuangan melawan penggusuran.

Ketua PPSS Herlan Suryadih bilang, petani ingin hak mereka atas lahan itu diakui.

“Ketentuan aturan di sini kan, menggarap lebih dari 20 tahun itu sudah bisa dan layak untuk menjadikan tanah tersebut jadi hak milik. Inilah mungkin kami juga PPSS ingin seperti warga negara yang lain, kami ingin taat aturan taat hukum,” ujarnya.

”Sampai saat ini, kami menggarap sudah kurang lebih usia 40 tahun lah, saya sudah menggarap tapi kayaknya belum dapat kepastian hukum persoalan tanah,” tuturnya.

Herlan berharap Presiden Prabowo Subianto memihak rakyat kecil.

“Jadi sekali lagi saya berharap kepada pemerintahan Pak Prabowo ini, mudah-mudahan di lahan yang sudah dikelola dan dimanfaatkan oleh rakyat di tanah PTPN kebun Goalpara ini, supaya segera mendapatkan kepastian hukum,” pintanya.

Langensari diusulkan menjadi salah satu Lokasi Prioritas Reformasi Agraria (LPRA) oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA Benni Wijaya mengatakan konsep yang digagas sejak 2016 itu, bertujuan menyelesaikan konflik agraria dan memastikan keberpihakan kepada warga.

“Artinya masyarakat diakui hak atas tanahnya, dipenuhi hak atas tanahnya, dilepaskan dari konsesi perkebunan, dilepaskan dari klaim-klaim perusahaan swasta,” kata Benny saat dihubungi KBR.

Salah satu lahan petani di Langensari, Sukabumi, ditandai sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). (KBR/Resky)

Langensari masuk kriteria LPRA karena sudah dikelola warga selama puluhan tahun. Warga juga mendapat dukungan pemerintah daerah.

“Nah ini yang kami anggap sudah memenuhi syarat dalam konteks reforma. Yang pertama dia memang merupakan kantong-kantong kemiskinan atau kantong-kantong ketimpangan tadi. Yang kedua berstatus konflik, baik itu antara masyarakat dengan perusahaan swasta atau masyarakat dengan BUMN atau dengan pemerintah sendiri, tetapi ini sudah digarap oleh masyarakat, sudah digarap sampai puluhan tahun,” kata Benni.

Pada 2020, KPA bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara. Jokowi berjanji akan menyelesaikan 50 persen usulan LPRA.

Baca juga:

Komitmen tersebut ditindaklanjuti Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto pada 2022. Eks panglima TNI itu membentuk Satuan Tugas Percepatan Redistribusi Tanah pada LPRA dan Penyelesaian Konflik Agraria.

“Lambat laun karena kami terus melakukan advokasi, akhirnya ATR/BPN juga terbuka secara positif menyatakan bahwa LPRA ini sudah diakui mereka sebagai salah satu pendekatan yang harus dilakukan dengan tidak meninggalkan Tora juga.”

“Nah, sebenarnya kerja sama kita di era awal-awal Pak Hadi Tjahjanto, Menteri ATR, itu kami pernah membentuk Satgas Percepatan, yang ada 30 target lokasi yang kami dorong, kami prioritaskan untuk dipercepat penyelesaiannya,” kata Benni.

Namun, hingga kini, baru 21 LPRA yang berhasil diperjuangkan.

Sedangkan, Langensari bersama 800-an usulan LPRA lain, prosesnya mandek. Banyak sebab, salah satunya ego sektoral.

“Misalkan dalam konteks konflik di BUMN atau di PTPN, itu kan tidak bisa langsung ATR/BPN yang mengeksekusi. Harus ada pelepasan dulu dari BUMN-nya, pelepasan aset dari Kementerian Keuangan, dan baru setelah itu ATR/BPN yang mengeksekusinya dalam arti kata meredistribusikan kepada masyarakat. Nah, ini sering tidak ketemu, sering terjadi ego-sektoral,” ujarnya.

red
Data penyelesaian LPRA. (Dok KPA 2024)

Ganti pimpinan, ganti kebijakan. Itu juga berlaku di reforma agraria.

Baca juga:

Sejak pucuk pimpinan Kementerian Agraria berpindah dari Hadi ke Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di awal 2024, LPRA tak lagi terdengar.

“Karena memang ini kan terjadi di berdekatan dengan tahun-tahun politik. Dan kami lihat di era AHY pun justru lebih parah sebenarnya. Justru tidak ada sama sekali proses dialog dengan ATR-BPN. Jadi satgas yang dibentuk di era Hadi Tjahjanto itu tidak ada kabarnya lagi,” ungkapnya.

Benni bilang, cara kerja Hadi berbeda dengan AHY. Putra sulung SBY ini minim dialog. Pemerintah dan petani jadi makin berjarak.

“AHY justru lebih banyak kerja-kerjanya ke pencitraan, bikin pertemuan di Bali, yang semacam itu. Tapi secara praktik di lapangan, saya kira justru lebih mundur dari era Hadi sebelumnya.”

Di Langensari, petani kini kerap diintimidasi polisi. Mereka dianggap menyerobot lahan PTPN.

Menurut KPA, ada beberapa nota kesepahaman MoU antara beberapa perusahaan perkebunan negara seperti PTPN dengan kepolisian. Tujuannya untuk pengamanan aset.

Apapun yang diklaim sebagai aset oleh PTPN, polisi akan turun menjaga, sekalipun harus melawan warga.

“Ya kalau kita lihat dari beberapa MOU kita temukan intinya memang PTPN minta mengajak dua instansi kerja sama ya untuk pengamanan aset mereka. Misalkan PTPN punya data, PTPN VIII Jawa Barat, mereka punya data wilayah mereka ada di mana saja. Nah itu yang diminta kerja sama oleh misalkan sama Polda Jabar,” kata Benni.

KPA mengendus aroma kejanggalan dari perjanjian tersebut.

“Jadi logikanya, logika pengamanan artinya ketika mereka menemukan ada masyarakat yang berada di sana kan artinya mereka akan menganggap itu apa misalkan penyerobotan, pendudukan liar dan lain-lain. Intinya memang kalau kami lihat soal poinnya pengamanan aset PTPN, si PTPN-nya ini. Jadi mereka mengajak instansi keamanan kayak semangat polisi atau TNI gitu,” ucapnya.

Ekskalasi konflik agraria antara petani dengan perusahaan di berbagai daerah terus memanas. Petani bentrok dengan aparat, korban pun berjatuhan.

“Maka tidak mengherankan, di setiap luar konflik itu sangat tinggi angka kriminalisasinya. Bahkan banyak yang tewas. Itu pasti selalu ada yang tewas, selalu banyak yang dikriminalisasi. Bahkan sampai ratusan di luar-luar konflik tadi karena pendekatannya sangat represif,” katanya.

red
Grafis korban konflik agraria. (Catatan Akhir Tahun KPA 2024)

KBR mencoba menghubungi PTPN 1 Regional II dan Polda Jawa Barat. Pihak PTPN belum memberi tanggapan atas sengketa lahan di Langensari dan dugaan intimidasi terhadap petani.

Asisten Humas Protokoler dan TJSL PTPN I Regional 2 Nisa Siti Zakiah beralasan, sedang berkoordinasi dengan pimpinan di tingkat pusat.

“Terkait hal tersebut, kami sedang berkoordinasi intensif dengan head office kami untuk mendapatkan arahan dan informasi yang komprehensif. Mengingat kewenangan kami di tingkat regional terbatas,” kata Nisa kepada KBR, Kamis (5/6/2025).

Sedangkan, Juru Bicara Polda Jawa Barat Hendra Rochmawan tak merespons panggilan telepon KBR.

Sementara itu, di era Presiden Prabowo, belum ada komitmen jelas tentang arah kebijakan reforma agraria.

Baca juga:

Nusron Wahid yang saat ini menjabat Menteri Agraria dan Tata Ruang, juga enggan menjawab pertanyaan seputar LPRA.

Ia hanya melempar pernyataan singkat proses redistribusi lahan LPRA bakal tuntas.

“Ya nanti juga pada saatnya kan akan terdistribusi,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, belum lama ini.

Nusron mengklaim masih ada satuan tugas yang bekerja melakukan redistribusi lahan LPRA.

“Satgasnya kan ada yang namanya GTRA ya, Gugus Tugas Reforma Agraria itu masih lah,” tuturnya.

Bagi KPA, akar masalah mandeknya penyelesaian LPRA adalah komitmen politik negara yang rendah. Pemerintah mengabaikan hak maupun perjuangan petani, kata Sekjen KPA Dewi Kartika

“Jadi kebijakannya sudah ada, tapi mesin birokrasinya enggak jalan untuk menjalankan rencana tersebut, rencana reforma agraria. Jadi kebijakannya sudah ada, tapi mesin birokrasi tidak berjalan,” tutur Dewi.

Pada akhirnya, selalu rakyat kecil yang menjadi korban.

“Konflik-konflik agraria yang terjadi perampasan tanah yang terjadi di belakang itu adalah memang itu adalah ego sektoralnya menguat. Reforma agraria itu tidak mungkin tidak melibatkan geraknya rakyat dari bawah sehingga tadi disampaikan petani yang berhadap-hadapan dengan perhutani, dengan PTPN, dengan proyek-proyek strategis nasional seperti kasus sebenarnya kalau ada political will yang kuat maka bisa diselesaikan,” tutupnya.

Penulis: Resky Novianto, Heru Haetami

Editor: Wahyu Setiawan, Ninik Yuniati