Article Image

SAGA

Pemberdayaan Berdampak dan Bermakna untuk Perempuan Akar Rumput

"Perkumpulan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) sudah dua dekade melakukan pemberdayaan perempuan di berbagai daerah "

Pertemuan bulanan rutin Koperasi Doa Bunda yang dikelola anggota PEKKA Tangerang, Banten. (Foto: KBR/Ninik)

KBR, Tangerang - Sekitar Jam 10 pagi, Zainab tiba di PAUD Pekka Al Ihsan di Lontar, Kecamatan Kemiri, Tangerang, Banten. Ia mengendarai motor dari desanya di Tanjakan, Kecamatan Rajeg.

“Jauh banget, 30 menit, kita lewat sini yang dekat, (jalan) alternatif,” kata Zainab.

Cuaca terik tak melemahkan semangat perempuan 54 tahun ini untuk datang ke pertemuan bulanan Koperasi Pekka Doa Bunda Tangerang.

Pekka adalah singkatan dari Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, lembaga nonprofit yang diinisiasi sejak akhir 2000.

Zainab merupakan anggota Pekka murni, karena berstatus sebagai pencari nafkah utama keluarga. Suaminya tak mampu lagi bekerja sejak terkena stroke pada 2020, hingga akhirnya meninggal sekitar lima bulan lalu.

“Jualan beras, kadang-kadang ada yang suruh, nasi boks itu ya bikin, kadang disuruh masak-masak, (kerja) apa aja lah,” tutur Zainab.

Di masa-masa sulit itulah, Zainab berkenalan dengan Pekka. Ia seperti menemukan keluarga baru.

“Teman-teman di Pekka itu orangnya enak-enak banget, enggak ada sifat sirik, di Pekka nge-rangkul banget, apapun bersatu di Pekka, enggak ada sifat sombong-sombong. Di sini mah ngampar, bareng-bareng. Kadang kalau kita menjauh, ‘Bu, sini merapat sama saya’, jadi kita ditarik, kita merasa nyaman,” Zainab bercerita.

Zainab ikut pelatihan jahit dan make up. Ia pun berharap bisa mendapat peluang pekerjaan dengan berkomunitas di Pekka.

“Bisa nge-jahit, kalau ada tetangga yang (bajunya) sobek, kita bisa. Berharap sih di Pekka itu ada tindak lanjut, setelah pelatihan kita punya keahlian. Ada program kita jasanya lah, bikin apa, jadi ada yang meng-kover atau memasarkan ke mana,” harapnya.

Baca juga: Gaung Perempuan SETARA dari Pedalaman Kayong Utara

Zainab (54), menjadi kepala keluarga sejak suaminya sakit pada 2020. Ia bergabung dengan Pekka melalui pelatihan jahit. Di Koperasi Pekka Doa Bunda, ia rutin menabung , tapi tak pernah meminjam, karena belum punya usaha. (Foto: KBR/Ninik)

Zainab membentuk dan mengetuai kelompok Pekka di desanya. Beranggotakan 10 orang yang mayoritas perempuan kepala keluarga. Mereka juga menjadi anggota Koperasi Pekka Doa Bunda.

“Disuruh nabung, cuma Rp10 ribu per bulan. Sebenarnya kita pengin (menabung) gede, cuma enggak punya gimana. Jadi ini mah itung-itung ngisi kegiatan,” tutur Zainab.

Di Pekka, Zainab belajar mengelola keuangan, menekan pola pikir konsumtif. Edukasi ini penting karena di lingkungan sekitar Zainab, banyak yang terjerat rentenir.

“Tujuan kita, kan, mengubah mindset, jangan minjem dong, jadi gimana caranya kita ada seperti kegiatan rias, jahit, biar dia menggali ilmu dari situ,” ucapnya.

Buka pasar

Zahra, rekan Zainab sesama anggota Koperasi Pekka Doa Bunda, juga menikmati manfaat sejak bergabung di Pekka pada 2019. Warga Kecamatan Mekar Baru, Tangerang, Banten ini sehari-hari bekerja sebagai petani.

“Kita posisinya lagi di sawah, lagi nanam, dipanggil, ‘yuk ikut kursus, ada dari Pekka’. ‘Apa tuh?’, ‘udah ikut aja dulu, jadi kita ikut tuh,” ungkap perempuan 43 tahun ini.

Awalnya, ia mengikuti pelatihan jahit dan rias.

Setahun berjalan, datanglah badai Covid-19. Suami Zahra menganggur karena di-PHK. Ekonomi keluarga bergantung hanya pada hasil bertani di sawah.

Tercetuslah ide membangun unit usaha di Pekka Tangerang, untuk memasarkan hasil produksi anggota, yang dinamai Pekka Produksi.

Di sana, Zahra bisa menjual beras dengan harga lebih menarik ketimbang di tengkulak.

“Di saudagar, paling (harga jual) Rp14 ribu, jauh banget. Kalau (di Pekka) paling dikurangi Rp1.000, (misal), kalau di pasar, Rp20 ribu, kita Rp19 ribu. Tapi lebih hasil daripada kita jual ke saudagar,” kata Zahra.

Baca juga: Dakwah Inklusif Melalui Pemberdayaan Pengusaha Mikro Perempuan

Zahra (43), petani di Mekar Baru, Tangerang, Banten. Pekka membantunya memperluas pasar untuk padi hasil produksinya. (Foto: KBR/Ninik).

Pekka Produksi dikelola Zahra dan dua rekannya sesama petani di Mekar Baru. Beras mereka selalu ludes terjual di Pekka Mart, toko sembako grosir yang dikelola Koperasi Pekka. Mereka juga merambah produk olahan.

“Terus enggak sekedar beras, kita bikin tape uli, kayak rengginang, kita olah sendiri. Tadinya sih jualan biasa aja, nanti setiap pertemuan, saya bawa produk-produknya, tape uli, saya sambil dagang,” tutur dia.

Zahra pernah meminjam di koperasi untuk modal memperluas usaha Pekka Produksi. Koperasi Pekka memberikan akses pinjaman dengan cicilan ringan.

“Awalnya kita minjam Rp5 juta dari koperasi, alhamdulillah sudah ke-bayar sekarang,” ucapnya.

Sempat didemo

Koperasi simpan pinjam Doa Bunda punya sekitar 500 anggota sejak Pekka Tangerang terbentuk pada 2012. Uang yang dikelola sudah menyentuh sekitar Rp1 miliar. Capaian ini diraih bukan tanpa kendala, kata Ketua Koperasi Pekka Doa Bunda, Hatijah.

“Yang namanya kita mengelola sistem keuangan itu enggak semuanya lancar. Utang sekian, buru-buru bayar, ada juga yang susah. Ada juga kelompoknya enggak aktif, terus enggak bayar, enggak banyak sih, ada 5 persen. Karena memang risiko keuangan, pasti ada aja,” kata Hatijah.

Bahkan, oleh sebagian warga, kegiatan simpan pinjam di koperasi sempat dicurigai sebagai modus rentenir.

“Bahasanya kasar, dagang duit, keren, kan, saya punya duit seberapa sampai bisa dagang duit. Saya pernah malam-malam dikunjungi orang, ‘Jah, nyilih (pinjam) duit sih, ora (tidak) apa-apa, misalnya utangnya Rp1 juta nanti dibayar 1,3 juta’,” Hatijah bercerita.

Tak cuma itu, beberapa tahun lalu, sejumlah orang yang mengaku diri dari LSM meminta plang nama koperasi diturunkan. Mereka keberatan dengan istilah perempuan kepala keluarga.

“Dia enggak terima, bukannya kepala keluarga itu laki-laki. Nanti kalau tidak diturunin, mau diperpanjang urusannya,” Hatijah menirukan.

Baca juga: Ikhtiar Memperkuat Kader Posyandu, Ujung Tombak Layanan Kesehatan Masyarakat

Hatijah, Ketua Koperasi Doa Bunda. Rumahnya dijadikan lokasi Pekka Mart, yang menyediakan berbagai kebutuhan pokok, termasuk menyerap hasil produksi anggota. Hatijah juga pendiri PAUD Al Ihsan. (Foto: KBR/Ninik)

Pada akhirnya, plang tetap terpasang, karena Pekka Tangerang didukung aparat pemerintah dan tokoh agama.

Plang tersebut adalah bantuan dari desa karena Pekka memang sudah lama bermitra dengan pemerintah daerah.

Dukungan penuh pemerintah merupakan bentuk pengakuan terhadap kiprah Pekka. Para kader Pekka terkenal loyal karena mendapatkan manfaat nyata. Tak terkecuali di Pekka Tangerang, Banten, yang sudah berusia lebih dari satu dekade.

Pengembangan pendidikan usia dini

Hatijah termasuk inisiator sekaligus penggerak awal Pekka Tangerang. Dulu, guru 41 tahun ini, nyaris putus asa saat membentuk kelompok Pekka pertama di Desa Lontar, Kecamatan Kemiri. Hampir semua perempuan kepala keluarga yang ia ajak, menolak bergabung.

“Waktu itu musim rambutan sama duku, namanya kita ngundang, ya saya beli tuh. Rambutannya mah digondolin (dibawa pulang), terus (mereka) keluar, satu, satu. Dikira mau dapat bantuan, enggak tahunya suruh bikin kelompok. Disuruh nabung seminggu seribu. Ada yang nyeletuk nyeleneh, ‘janda itu bukannya disuruh nabung, harusnya dikasih duit’, enggak jadi, saya sampai nangis di situ,” ujar Hatijah.

Hatijah bersama Nani Suryani, sahabatnya dari kecil, kemudian mengubah strategi, dengan mengajak lingkaran terdekat, yakni keluarga dan kerabat, untuk menjadi kelompok Pekka pertama di Tangerang.

“Misalnya bibi, uwak (paman) , keponakan. Jadi lah kelompok itu yang dari pinjaman cuma Rp50 ribu, sekarang sudah nyampe Rp10 juta,” tutur dia.

Hatijah juga merasakan langsung manfaat bergabung di Pekka. Ia difasilitasi untuk mewujudkan impiannya, mendirikan sekolah PAUD Al Ihsan.

“Ada (anak-anak) yang ditinggal (ibunya) jadi TKW (tenaga kerja wanita), ada yang emaknya ke sawah, ada yang ke pabrik. Anak-anak itu kalau pagi-pagi, enggak pada mandi. Miris banget itu di 2012. Kata saya, ‘saya mau bikin sekolah’,” ucap Hatijah.

Baca juga: Perjuangan Ulama-Ulama Perempuan Banten Hapus Sunat Perempuan

Tampak depan kantor Koperasi Pekka Doa Bunda di Kemiri, Tangerang, Banten. Plang koperasi pernah diminta diturunkan karena ada yang keberatan dengan istilah perempuan kepala keluarga. (Foto: KBR/Ninik)

Kesempatan belajar

Bagi Nani Suryani, sahabat Hatijah, Pekka memberinya kesempatan untuk meningkatkan kapasitas dan aktualisasi diri. Hal yang tak pernah terbayangkan oleh lulusan SMP berusia 42 tahun ini.

Dulu, Nani menganggap peluangnya sudah tertutup begitu ia memutuskan menjadi pekerja migran. Nani adalah sulung dari 11 bersaudara. Ia nekat berangkat ke Arab Saudi menggantikan ibunya.

“Pas ibu saya mau berangkat, udah bawa-bawa tas, packing-packing, enggak jadi. Saya seret-seret (tasnya), kayak di sinetron, duh rame, nangis, ‘enggak mau saya, nanti nungguin saya. kalau udah ada kabar dari sekolah, udah selesai aja ujiannya, saya yang berangkat’,” kenang Nani.

“Saya mikir, adiknya segini banyak, nanti ditinggal orang tua kayak gimana? Mending saya aja deh yang berangkat,” imbuhnya.

Tak kurang dari 9 tahun Nani bekerja di Saudi, hingga mampu menafkahi keluarga dan membiayai sekolah adik-adiknya.

“Bapak saya beli perahu untuk berangkat nelayan itu dari hasil Saudi, Rp25 juta mahal banget waktu itu,” tutur Nani.

Selepas dari Saudi, Nani menikah dan menjalani keseharian sebagai ibu rumah tangga. Pada 2012, ia mengenal Pekka dan aktif berkegiatan sampai sekarang. Berbagai pelatihan Nani jalani, seperti paralegal, perlindungan sosial, hingga kewirausahaan.

“Awalnya kayak ngisi kekosongan (waktu), sambil nunggu suami kerja, biar jangan jenuh. Lama kelamaan, ternyata di dalamnya itu enggak cuma iseng-iseng, ternyata di situ ada kegiatan-kegiatan yang lebih penting bagi saya selain diam di rumah. Jadi ada perkumpulan yang bermanfaatlah,” ungkapnya.

Nani kini mentor di Akademi Paradigta, wadah pendidikan dan pelatihan terstruktur bagi anggota Pekka maupun umum. Banyak dari peserta yang lulusan sarjana.

“Pertamanya gemetaran (jadi mentor), orang enggak pernah ya, takut enggak bisa, grogi banget lah. Banyak yang S1 gimana nih? nanti kalau nanyanya dia lebih pinter dari kita, gimana? kan kita enggak sekolah kayak dia, anak kuliahan,” kisah Nani.

“Ternyata apa yang kita ketahui, tidak diketahui oleh mereka. Artinya pengalaman mereka walaupun saya S1, tapi saya belum merasakan materi yang ada di kelas kewirausahaan ini,” tambahnya.

Selain menjadi mentor, Nani juga menjabat sebagai pengawas koperasi, dan penanggung jawab kegiatan Pekka di Tangerang.

“Saya tuh enggak punya pengalaman apa-apa. Tapi di Pekka ini kayak ngangkat banget. Jadi (saya) sekolahnya di Pekka,” ucap Nani.

Baca juga: Jamu Ngatiyem, Potret Pergumulan Perempuan di Tengah Krisis

Nani (42) menjadi mentor di Akademi Paradigta yang dikelola Pekka. Lulusan SMP ini mendapat berbagai peningkatan kapasitas sejak menjadi bagian dari Pekka. (Foto: KBR/Ninik)

Berkelanjutan

Pekka Tangerang sudah berjalan belasan tahun. Zainab, Zahra, Hatijah, dan Nani hanya beberapa dari banyak kader yang mengalami peningkatan kapasitas. Mereka kini bisa mengelola sendiri sebagian besar kegiatan di Pekka Tangerang.

Hal itu merupakan bukti pentingnya dampak dari pemberdayaan berkelanjutan, kata co-Direktur untuk Penguatan Gerakan Ekonomi Pekka, Romlawati.

“Pendekatan pemberdayaan dalam 20 tahun atau 2 dekade ini, kalau sebelumnya proses pengorganisasian itu bertumpu pada kami Yayasan Pekka, nah, dalam 5 tahun terakhir ini banyak dilakukan oleh para pengurus serikat Pekka atau kader-kader Pekka,” kata Romlawati.

Proses penguatan para kader akan terus dilakukan dengan memperluas kapasitas dan jejaring.

“Ke depan, Pekka akan fokus memfasilitasi para pengurus koperasi, serikat, untuk membangun ekosistem ekonomi di tingkat lokal, agar berkontribusi pada penguatan ekonomi lokal yang lebih kuat dan lebih mandiri. Sehingga tidak terlalu tergantung dengan perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat nasional maupun global, sehingga upaya-upaya ini bisa berjalan dengan lancar,” pungkasnya.

Penulis: Ninik Yuniati