SAGA
"Sejak 2004, LBH Apik Jakarta melatih paralegal dari berbagai kelompok rentan. Salah satu tujuannya untuk menjawab persoalan sedikitnya jumlah pengacara"
Acara asistensi paralegal yang digelar LBH APIK pada September 2024. (Foto: dok LBH APIK)
KBR, Bogor - Caca (32) tak lagi panik bila berpapasan dengan polisi atau Satpol PP. Berbeda dengan beberapa tahun lalu, tepatnya sebelum 2019.
“Polisi, kan, lampunya selalu nyala, selalu bunyi. Jadi setiap kali aku nge-lihat lampu yang nyala dan bunyi, aku pasti ngumpet, walaupun itu mobil ambulans,” kata Caca.
Di masa itu, Caca sering mangkal atau mejeng di jalanan sebagai pekerja seks. Sosok yang selalu ia takuti dan hindari adalah polisi.
“Di belakang pohon (bersembunyi), kalau enggak di bawah kali. Karena saking takutnya. Di pemikiran aku, kan, kayak di TV-TV, ‘oh polisi mau ngejar kita tuh, mau razia, dsb,” Caca bercerita.
Beberapa kali, Caca dan banyak pekerja seks lain terpaksa masuk ke gorong-gorong, begitu melihat polisi.
“Ada polisi berhenti, padahal cuma nanya, ke tamunya, atau ke si cowoknya, ‘sedang apa di sini, lagi ngapain?’, tapi kita lari, karena udah takut duluan. Kabur, nyebur” imbuhnya.
Mereka berjalan merunduk, berkubang air limbah hingga seleher.
“Basah, dan semua baju tuh basah, sampai mindik-mindik, awas-awas biar enggak ketahuan. Bisa setengah jam (di gorong-gorong). Kadang tiba-tiba tembus, di Pasar Induk Kramat Jati, (jaraknya) sekitar 2-3 km, soalnya kalau di air enggak berasa,” ungkap Caca.
Tak terpikir risiko sakit atau celaka.
“Sampai rumah gatal-gatal, terus kita mikir, ‘duh, kita tadi kena apaan ya? kena kotoran, kena apa?, yang penting udah di rumah, udah tenang', ada teman yang kena beling, karena sepatunya tipis, mungkin belingnya tinggi atau gimana, tembus,” tutur dia.
Baca juga: Perempuan Korban KBGO Mencari Keadilan
Salah satu sesi di pelatihan lanjutan bagi paralegal komunitas yang diadakan LBH APIK Jakarta pada 2024. (Foto: dok LBH APIK).
Dulu, Caca berpikir, jika polisi datang, berarti mereka digerebek, dirazia, atau bakal ditangkapi. Anggapan ini muncul karena Caca sudah kenyang dengan pengalaman kekerasan dan intimidasi oleh aparat hingga ormas.
Pada 2016, ia dan rekan-rekannya pernah diusir dari rumah kontrakan.
“Tiba-tiba dapat surat dari RT. Di surat itu, ada ormas yang menyatakan bahwa kita harus pindah dalam 1x24 jam. Kalau tidak mereka akan bergerak dengan ormasnya, untuk mengusir kita secara massal,” terang Caca.
Mereka pasrah.
“Aku saking paniknya, sama teman-teman aku, ‘udah kita angkut-in barang dulu, kita taruh di rumah si A dulu aja deh, di kontrakannya si B. Atau kamu cari di teman kamu atau saudara kamu dulu sementara’. Kita berpencar tuh, naruh-in barang. Kita enggak mikir tidur di mana pada saat itu,” lanjutnya.
Setahun kemudian, giliran kontrakan baru, digerebek polisi.
“Tiba-tiba mereka datang, dobrak pintu kata teman aku, langsung kayak ngacak-ngacak gitu. Kita semua dikumpul-in, terus aku datang. Aku tanya ‘sebenarnya, ada apa ya, Pak?’, ‘Saya cuma mau nge-data, saya tunggu, yang punya KTP harus ikut ke kantor RT. Yang enggak, kita akan pulangkan,’” kata Caca menirukan.
Dibantu pemilik rumah, Caca melobi aparat agar mereka tak diusir. Upaya ini berhasil.
Caca ketika itu bekerja sebagai pendidik sebaya (peer educator) di isu HIV/AIDS. Ia kerap mengadvokasi transpuan dan pekerja seks mengakses layanan kesehatan.
Pengetahuannya meningkat, juga kemampuan berkomunikasi. Namun, pemahamannya tentang hukum, masih sangat terbatas. Padahal, transpuan butuh pendampingan hukum karena rentan didiskriminasi dan dikriminalisasi.
“Dulu mah manut aja, ‘oh silakan’, segala macam, terus kita dipukul-in, diapain, ya kita pasrah, karena enggak tahu, mau melawan, melawan pakai apa?,” ucap Caca.
Baca juga: Ainun Murwani dan Cerita Perjuangan dari Bantaran Kalijawi
Salah satu pelatihan paralegal muda LBH APIK Jakarta pada 2023. Program ini diluncurkan pertama kali di 2021, karena aduan tertinggi adalah dari kelompok muda usia 18-40 tahun. (Foto: dok LBH APIK).
Pada 2019, Caca ikut pelatihan paralegal di Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta. Ia jadi tahu prosedur hukum, pengetahuan yang sangat berguna untuk menangkis upaya kriminalisasi.
“Aku pengin tahu alurnya, misalnya ada penggerebekan, penangkapan. Kita, kan, berhak menanyakan kayak, surat tugasnya atau segala macam. Setelah tahu, berarti orang ini enggak bisa semena-mena, tiba-tiba menggerebek, apalagi menggeledah kamar begitu saja,” ungkap Caca.
Keterampilan paralegal juga membuatnya makin percaya diri dalam tugas pendampingan.
“Teman-teman ketika mengalami diskriminasi di layanan kesehatan, karena statusnya ataupun karena gendernya, itu kenapa bisa terjadi, dan hal apa yang bisa kita lakukan?,” tutur dia.
Misalnya, ketika transpuan mengalami perlakuan tidak nyaman di fasilitas kesehatan. Petugas layanan sering memanggil mereka sesuai nama di KTP.
“Kita, kan, enggak nyaman, apalagi misalkan pakai toa, jadi semua orang melihat, kita penampilan seperti ini, tiba-tiba dipanggilnya nama di identitas,” ujar Caca.
Caca melobi dokter agar mengubah kebijakan ini. Usahanya berhasil, layanan di faskes lebih ramah transpuan.
“Akhirnya (petugas) layanan itu, ‘ya udah sini, digarismiring-in di datanya, coba kamu ke depan lagi bilang ini dari poli, jadi mereka enggak bakalan manggil-in lagi, kalau ada apa-apa kabar-in aja’. Akhirnya tiap kali kita ke situ, (namanya) pakai garis miring,” kata Caca.
Caca juga punya strategi jika bertemu petugas yang merundung transpuan.
“Misalkan ketika ada security yang dengan sengaja kayak ‘mau ke mana, Mas?’ terus kayak ngeledekin. Hal pertama yang kulakukan adalah ingat namanya, baru aku lapor ke poli, bapak security atas nama ini, tadi telah melakukan hal ini,”
“Itu membuat kami tidak nyaman, sehingga kami berpikir beberapa kali untuk ke layanan, mohon ditindaklanjuti. Kalau misalkan tidak ditindaklanjuti, maka, kami akan bergerak dengan komunitas,” Caca menjelaskan.
Caca menularkan keberanian ini ke transpuan lain.
“Jangan pernah takut melaporkan tindakan kekerasan dalam bentuk apapun, kita enggak usah mikir-in, karena kita transpuan, atau kita tuh kelompok yang didiskriminasi atau apa, tapi kita sama-sama mempunyai hak di mata hukum,” tegas Caca.
Baca juga: Asa Tak Lekang Muharyati, Politisi Difabel dari Partai "Gurem"
Beberapa dokumentasi sejarah awal berdirinya LBH APIK Jakarta. (FOTO: lbhapik.or.id)
Banyak kelompok rentan
Selain transpuan, kalangan Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) juga rentan terjerat masalah hukum. LSL termasuk populasi kunci di pencegahan HIV/AIDS.
Sadar akan kerentanan ini, Adrian (42), pendamping komunitas LSL, ikut pelatihan paralegal LBH APIK Jakarta, satu angkatan dengan Caca.
Sejak dilatih menjadi paralegal, Adrian makin paham bagaimana bersikap, misalnya, ketika terjadi penggerebekan.
“Kita mulai ngasih tahu informasi, ‘ketika kamu digerebek kamu tidak berbuat (salah) apa-apa, kamu harus tanyakan, misalnya, surat penggeledahan, enggak usah panik. Dia kalau mau geledah, harus ada RT, RW’,”
“Selama ini saking paniknya teman-teman itu, akhirnya enggak mikir, udah digeledah aja. Ternyata itu harus ada prosedurnya,” ujar Adrian.
Kepada para LSL yang ia dampingi, Adrian selalu mengingatkan agar berhati-hati saat menggunakan aplikasi kencan online.
“Kayak ketemu di sosmed, ternyata itu adalah jebakan, akhirnya berujung pada pemerasan. Kalau mau di online, harus benar-benar di-make sure, sebelum ketemu. Atau misalnya ketemunya di tempat keramaian, jangan ujag-ujug disuruh datang ke rumah, menghindari misalnya penipuan-penipuan, dikuraslah rekeningnya,” tutur dia.
Pemahaman tentang keamanan digital didapat Adrian dan Caca saat pelatihan paralegal lanjutan di LBH APIK Jakarta.
“Misalkan ada yang video call, jangan langsung diangkat, apalagi enggak kita kenal. Bisa saja dia pas kita angkat, dia nge-rekam sambil menunjukkan alat vital, disangkanya kita melakukan video call sex. Kita bisa aja diperas, disebarluaskan,” ujar Caca.
Selain Caca dan Adrian, ada lebih dari 180 paralegal LBH APIK di Jabodetabek.
Menurut Koordinator Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat LBH APIK Jakarta, Liya Yuliana, program paralegal dimulai sejak 2004.
Komunitas pertama yang didampingi adalah para istri tukang becak di Jakarta. Banyak dari mereka yang tak sadar menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Mereka belum paham apa itu KDRT, memang sih, disahkannya dulu 2004, UU PKDRT. Jadi belum banyak orang mengetahui isu ini, bahwa mereka masih menganggap KDRT aib yang harus ditutupi, bukan masalah umum, itu masih masalah private,” kata Liya.
Sejak itu, kian bertambah komunitas di Jakarta dan sekitarnya yang dilatih menjadi paralegal. Keberadaan mereka sangat membantu proses penanganan kasus, karena terbatasnya jumlah pengacara di LBH APIK Jakarta.
“Misalnya di 2023, pengacaranya cuma ada 4, yang ditangani kasusnya 1141. Berarti 1 orang itu bisa nanganin berapa ratus?” ujar dia.
“Mereka (paralegal) bisa nantinya menjadi pionir di komunitasnya. Jadi mereka nanti yang mendampingi kasus, melakukan advokasi kebijakan di wilayahnya,” imbuh Liya.
Koordinator Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat LBH APIK Jakarta, Liya Yuliana. (FOTO: dok pribadi)
Terus diperluas
Program paralegal sinkron dengan visi misi LBH APIK Jakarta, yakni mewujudkan masyarakat yang inklusif, setara, adil, dan berkelanjutan.
Makin banyaknya paralegal dari kelompok rentan diharapkan mampu mengubah kultur patriarkis dalam sistem hukum Indonesia.
Belakangan, program paralegal LBH APIK Jakarta juga menyasar anak muda. Total ada 50 paralegal muda di Jabodetabek yang sudah dilatih sejak 2021 dan mendapat asistensi lanjutan.
“Keterlibatan orang muda ini sangat penting. Karena melihat kasus kami sendiri, usia korban banyak di usia-usia itu, yang muda, antara 18-40 tahun. Kayaknya kalau kita melakukan pemberdayaan ke orang muda, kemudian mereka yang melakukan pendekatan sebaya, lebih mengena,” tutur Liya.
Bahkan sejumlah paralegal muda dari Tangerang menginisiasi lembaga yang diberi nama Lingkar Studi Feminis (LSF). Mereka banyak mendampingi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Ke depan, LBH APIK Jakarta akan melanjutkan program paralegal komunitas dan paralegal muda. Paralegal komunitas dibuka khusus di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat.
Selain itu ada rencana untuk melatih paralegal dari kalangan tokoh agama. Alasannya, tokoh agama punya pengaruh di masyarakat sehingga bisa memantik perubahan lebih cepat dan masif.
“Supaya mereka punya perspektif yang clear, karena salah satu tantangan penanganan kasus, karena perspektif, stigma-stigma yang melekat ke perempuan yang didukung tafsir-tafsir agama yang keliru. Mereka, kan, lebih didengar, nanti pengaduannya ke mereka,” ucap Liya.
Penulis: Ninik Yuniati