Article Image

SAGA

Masyarakat Adat Terusik Pasal Living Law KUHP Baru (Bagian 1)

"Masyarakat adat sudah ada lebih dulu dari negara. Eksistensi mereka terancam oleh keberadaan hukum negara, termasuk pasal living law KUHP baru"

Dua perempuan Toraja tengah membawakan Tari Pagellu saat acara pernikahan adat. (Foto: KBR/Ninik)

KBR, Toraja - Lima penari perempuan berlenggak-lenggok mengikuti irama gendang. Mereka mengayun-ayunkan kedua tangan selaras dengan iringan musik.

Kostum yang dikenakan meliputi atasan merah berumbai dan bawahan kain putih bercorak batik, lengkap dengan ikat kepala khas Toraja.

Ini adalah pentas tari Pagellu untuk menghibur para tamu undangan pernikahan adat Toraja, Sulawesi Selatan.

Perkawinan di Toraja merupakan tradisi yang diwariskan turun-temurun. Ajaran dari leluhur juga kental melekat saat upacara pemakaman. Ada ritual-ritual yang harus dijalankan dan diakui sebagai hukum adat.

Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa aspek mengalami penyesuaian, karena interaksi dengan tradisi lain.

Tokoh masyarakat adat Toraja, Saba' Sombolinggi mencontohkan penyesuaian itu terjadi di tradisi perkawinan.

“Sebelum ada agama, mereka kawin adat saja. Belum ada, kalau orang Kristen pencatatan sipil, kalau orang Islam kan KUA. Jadi, yang dipertemukan adalah dua kelompok keluarga yang besar. Keluarga laki-laki, datang ke tempat keluarga perempuan,” kata Saba'.

Baca juga:

Pejuang Lingkungan Dibayangi Overkriminalisasi KUHP Baru (Bagian 1)

Pejuang Lingkungan Dibayangi Overkriminalisasi KUHP Baru (Bagian 2)

Saba' Sombolinggi berpengalaman belasan tahun menjadi kepala desa sebelum ditunjuk sebagai hakim adat Desa Madandan, Tana Toraja. (Foto: dok pribadi).

Dinamis

Tarian Pagellu dulu hanya boleh dipentaskan di kalangan berkasta bangsawan. Namun, kini menjadi tarian populer yang bisa dinikmati siapa saja.

Penyesuaian-penyesuaian ini mencerminkan karakter hukum adat yang dinamis.

“Hukum adat ada acuannya, tentang kehidupan bersosial masyarakat. Tapi hukum adat bukan firman Tuhan, bukan KUHP yang tertulis, hukum adat ini tidak tertulis. Hukum adat itu sangat menyesuaikan. Sampai hari ini, kalau di Toraja adat tidak terjaga, mungkin kacau-balau daerah ini," ujar dia.

Saba' adalah ketua hakim adat Desa (lembang) Madandan, Rantepao, Tana Toraja.

Pria 51 tahun ini menjadi penegak hukum adat yang menaungi wilayah berpenduduk sekitar 4 ribu jiwa.

Otoritasnya juga dilegitimasi pemerintah lewat Surat Keputusan Bupati Tana Toraja. Sejak menjabat 7 tahun terakhir, banyak perkara yang sudah diselesaikan Saba' secara adat.

“Perkara tanah, perkawinan, perkelahian, perkara dalam proses upacara kematian. Toraja memang unik. Jadi hakim adat itu pendekatan pertama, adalah perdamaian, kita tidak menyelesaikan masalah untuk memunculkan satu pemenang, tetapi kita ke depankan perdamaian," tutur Saba'.

Umumnya, penyelesaian perkara adat di Toraja ditandai dengan potong ternak.

"Perdamaian itu harus ada pengakuan dari kedua belah pihak dalam bentuk upacara adat. Misalnya, kita berdoa bersama, duduk bersama, yang berperkara membiayai semua kebutuhan, ada beras, ayam, babi," jelasnya.

Potong ternak, terutama kerbau dan babi memang tradisi penting di Toraja, termasuk sebagai syarat dalam upacara perkawinan maupun kematian.

Namun, teknis pelaksanaannya kini sedikit berubah. Sebagian ternak bisa disalurkan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat.

“Dulu kerbau dipotong dan dibagi-bagi. Tapi sekarang karena kita lihat kebutuhan, ada lagi ditambah, ya mungkin kalau cukup, bisa terpenuhi ya jangan kita sembelih. Kita kasih hidup kepada kelompok masyarakat, buat apa? terserah mereka, jadi mereka bisa jual,” lanjut Saba'.

Baca juga: Komunitas Biboki Lestarian Tenun Ikat Tradisional

Hermina Pasolang, perempuan Toraja yang menjadi hakim adat. Hermina juga pernah menjabat sebagai anggota DPRD. (Foto: KBR/Ninik).

Perempuan punya tempat

Hukum adat Toraja juga memberi ruang bagi perempuan. Ada tokoh perempuan adat, Hermina Pasolang yang diangkat sebagai hakim adat di Kecamatan Sesean dan Tallunglipu, Toraja Utara. Jabatan ini diembannya sejak 1983.

“Sebenarnya dulu wanita tidak dibolehkan, tapi karena situasi yang saya bilang, kenapa kita terlalu ditekan? kapan wanita bisa berkembang kalau begini, jadi itu saya bangkit,” kata Hermina.

Hermina pernah memprotes tradisi yang melarang perempuan duduk bersama laki-laki saat proses lamaran. Kondisi ini bisa merugikan calon pengantin perempuan

“Saya tidak mau, bagaimana saya mau memberikan jawaban, penjelasan, kalau tidak lihat, kalau saya sama-sama dengan wanita. Lari ini orang (calon mempelai pria), siapa yang tanggung jawab? Siapa yang mau proses kalau tidak ada pengurus adat? Tapi kalau saya di sini, saya tahu jalannya persoalan," ujar Hermina yang juga pernah menjabat sebagai kepala desa ini.

Bagi perempuan 81 tahun ini, hukum adat Toraja itu luwes, tidak saklek.

Ia mencontohkan, ada larangan jalan yang dilalui untuk mengantar jenazah, dilewati dua kali.

Ketika ada kasus bahwa jalan itu adalah jalan buntu, maka melunakkan tafsir adalah solusinya.

“Kalau misalnya cuma satu jalan, kita mengatakan bahwa kita jalan ke kiri, kalau balik nanti, ini orang mati, dibilang saja, kita jalan ke kanan. Berarti bukan jalanan yang kita jalani tadi tho? karena kita tadi bilang kiri, sekarang kanan,” terang Hermina.

Baca juga: Masyarakat Adat Anggai di Tengah Konsesi Sawit

Simon Batara, sejak tahun 90-an dipercaya sebagai hakim adat Kelurahan Tengan, Toraja Utara. Hakim adat di sana hanya menangani perkara perdata, sedangkan kasus pidana menjadi ranah polisi. (Foto: KBR/Ninik).

Perluas akses keadilan

Hakim adat Toraja berorientasi pada perdamaian, harmoni, bukan menghukum.

Itu sebab, masyarakat lebih memilih mencari penyelesaian konflik secara adat ketimbang lewat jalur hukum, kata hakim adat Kelurahan Tengan, Tana Toraja, Simon Batara.

“Soal yang kamu sengketakan ini, katakanlah nilainya mungkin Rp50 juta saja atau Rp100 juta saja. Kalau kamu ke pengadilan mungkin sampai Rp500 juta biayanya, sampai di MA,” ungkap Simon.

Aparat pemerintah pun terbantu karena mengurangi tumpukan perkara. Penyelesaian adat juga mencegah konflik horizontal.

“Yang tidak bisa dinilai adalah karena sengketa perdata, itu pasti orang berkeluarga. Pada saat kamu sudah melalui pengadilan nanti ya, kamu merasa siapa kau siapa saya, itu sudah putus hubungan," imbuhnya.

Menurut Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, keberadaan peradilan adat bisa mempermudah warga mengakses keadilan.

Pengadilan negeri tidak bisa ditemukan di kampung-kampung, sehingga butuh ongkos besar jika hendak mengurus perkara lewat jalur hukum.

"Ada tempat yang ke kabupaten harus naik ojek, satu hari satu malam. Kalau harus mengakses pengadilan negeri, itu bisa memiskinkan mereka. Biar lepas dari penjara, ya terpaksa jual tanah, kadang gadaikan kebun, kadang kalah hanya karena tidak punya ongkos ke pengadilan. Sementara, peradilan adat itu di sebelah rumah, di kampung," kata Rukka saat peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) di Toraja, Senin (7/8/2023).

Namun, belakangan KUHP baru disahkan dan memuat pasal living law. Pasal ini berpotensi menggusur peran sentral hukum dan perangkat adat.

Penulis: Ninik Yuniati