Article Image

SAGA

Kebhinekaan yang Dihidupi di Sekolah Global Mandiri

"Sekolah Global Mandiri berkomitmen merawat nilai pluralisme dan kebhinekaan dimulai dari ruang-ruang kelas untuk bekal siswa terjun ke masyarakat"

Murid SMP Global Mandiri menyaksikan upacara Fangshen, upacara pelepasan makhluk hidup ke alam yang bagian dari Hari Raya Waisak. (Foto: Valda/KBR)

KBR, Jakarta – Merawat kebhinekaan merupakan komitmen yang dipegang Sekolah Global Mandiri sejak awal keberadaannya pada 2003. Nilai pluralisme memang pilar yang ingin dihidupkan oleh pendiri Sekolah Global Mandiri, Rifa Ariani.

“Sekolah memberikan ruang untuk mengadakan perayaan hari besar. Bukan hanya perayaan saja, tetapi juga menghias sekolah. Dan yang terlibat di sana bukan hanya siswa atau guru yang sedang merayakan, tetapi semua guru dan siswa," kata Kepala Sekolah SMP Global Mandiri, Ade Irawan.

SMP Global Mandiri yang berada di Cakung, Jakarta, bagian dari jaringan Sekolah Global Mandiri, yang menyelenggarakan pendidikan jenjang SD hingga SMA.  Tenaga pendidik maupun siswanya berasal dari beragam latar belakang.

Kebhinekaan diajarkan di kelas dan dirawat serta dihidupi lewat berbagai kegiatan sekolah.

“Tujuan jangka pendek adalah memberikan pemahaman kepada anak-anak, bahwa hidup di Indonesia itu beragam. Teman-teman di sekitar dia berada itu beragam. Dan mereka punya kepercayaan yang perlu dihargai, penting untuk dimengerti juga,” kata Ade.

Baca juga: Tur Rumah Ibadah: Pupuk Toleransi, Perkuat Kontribusi Hadapi Krisis Ekologi

Kepala SMP Global Mandiri menyebut nilai kebhinekaan perlu diajarkan agar anak memahami kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk. (Foto: Valda/ KBR)

Perayaan hari besar keagamaan rutin digelar di lingkungan sekolah selama dua tahun terakhir. Misalnya, pada Mei 2024, diselenggarakan kegiatan untuk memperingati Waisak di lantai 2 SMP Global Mandiri.  

Pembacaan doa dipimpin bante atau rohaniawan Budha yang diikuti oleh puluhan siswa SD, SMP, dan SMA Global Mandiri.

Ricardo, siswa kelas 7 SMP Global Mandiri yang beragama Budha, terlihat antusias sepanjang acara.

“Biasanya aku di vihara sendiri, sama keluarga, dan orang buddhist lain yang merayakan Waisak, so amazing, karena aku enggak pernah lihat Bante datang selain ke vihara, new experience for me,” ujar Richardo.

“Biasanya cuma hari Jumat (di sekolah) kita berdoa kepada Buddha,” tuturnya.

Usai doa bersama, mereka berkumpul di lapangan, menyaksikan Fangshen, upacara melepaskan burung-burung dari sangkar. Ini adalah tradisi Budha untuk mengembalikan makhluk hidup ke habitatnya.

“Aku rasanya kayak, wow, so interesting, fascinating, menurut saya so emotional, karena kita juga bisa show off apa yang ada di agama kita, kalau di buddhist, gini, gini, gini gitu loh,” katanya.

Baca juga: SEKA Pontianak: Semai Kerukunan, Lestarikan Lingkungan

Bagi siswa SMP Global Mandiri, Richardo, peringatan Waisak di sekolah adalah cara mempromosikan nilai kebhinekaan. (Foto: Valda/ KBR)

Sekolah juga menggelar acara bersama tiap ada hari besar keagamaan, seperti pentas seni jelang Natal dan halal bihalal usai Lebaran.

Di luar itu, Sekolah Global Mandiri memiliki agenda rutin tahunan, misalnya religion camp, yang diikuti siswa kelas 7. Oriza salah satunya.

“Aku SD kebetulan di sini juga, cuma memang ada sedikit perbedaan. Waktu SD, yang Isam belum pernah diperlihatkan ke aku. Acara keagamaan waktu itu [kami] bareng-bareng. Waktunya makan, kita makan, waktunya kita tidur, tidur, enggak membeda-bedakan, karena kita semua Global Mandiri,” cerita Oriza.

Oriza yang beragama Islam ini mengaku lebih mudah memahami arti toleransi lewat kegiatan bersama seperti religion camp. Nilai-nilai itu langsung diaplikasikannya ke lingkungan terdekat.

“Apalagi tetangga-tetangga aku agamanya beda-beda, kita menyapa aja untuk mempererat tali persaudaraan,” ujarnya.

Respons yang ditunjukkan Ricardo dan Oriza inilah yang ingin terus dihidupkan sekolah, kata Ade Irawan, Kepala SMP Global Mandiri.

“Idenya adalah bahwa setiap peserta didik di sekolah Global Mandiri itu merasa dihargai dan juga dapat mengekspresikan keunikan dirinya termasuk keyakinan dan juga agamanya,” kata Ade.

Baca juga: Ring the Bell, Pendidikan Inklusif untuk Anak-Anak Tunanetra!

Menurut Siswi SMP Global Mandiri Oriza kebhinekaan lebih mudah dimengerti karena langsung dipraktikkan. (Foto: Valda/ KBR)

Kualitas pendidik tentu menjadi syarat utama keberhasilan visi misi sekolah. Karenanya, ada proses penyaringan ketat dalam rekrutmen guru di Sekolah Global Mandiri.

“Guru-guru ketika sesi wawancara sudah ditanya bagaimana mereka memahami keragaman. Kemudian juga komitmen dalam menjaga keragaman sekolah,” jelas Ade

Sekolah juga berkomitmen melibatkan siswa dan orangtua. Ade tak menampik terkadang masih didatangi wali murid, mempertanyakan kegiatan sekolah yang mempromosikan keberagaman.

“Dalam kegiatan halal bihalal kemarin, ada orangtua yang mempertanyakan kenapa anak-anak yang non-Islam dilibatkan dalam bernyanyi atau menari dalam memeriahkan acara,” katanya.

Ia kemudian menjelaskan keterlibatan anak-anak dalam acara tanpa paksaan dari sekolah, sifatnya sukarela.

“Itu kami betul-betul pegang bahwa dalam kegiatan tersebut siswa juga diberikan pilihan. Ketika anak-anak mau, kita akan beritahu orangtua,” terang Ade.

Bagi Ade, sekolah dan guru mesti ambil peran dalam merawat kebhinekaan. Apalagi, kasus-kasus intoleransi, termasuk di institusi pendidikan, berulang kali terjadi.

“Para pengajar di Indonesia (mestinya) tidak ragu-ragu dalam menerapkan pendidikan berwawasan keragaman. Kita memiliki undang-undang yang melindungi dan mendukung penerapan nilai-nilai toleransi dan juga keterbukaan di sekolah,” katanya.

Penulis: Valda

Editor: Ninik Yuniati