SAGA
"Menjadi caregiver bukanlah hal mudah. Harus bergulat dengan emosi yang naik turun, juga merelakan impian di masa muda."
Mayang (kanan) tengah berbincang dengan ayahnya yang mengidap demensia. (KBR/Heru)
KBR, Jakarta - Peristiwa di malam awal tahun 2020 itu mengubah hidup Nurmayang Sari.
“Ibu aku udah teriak-teriak. Mayang, ini ayah. Mayang, ini ayah. Kencingnya, ke mana-mana, mohon maaf ya. Pipisnya sembarangan. Tiba-tiba, tengah malem itu,” ujar Mayang mengenang kejadian tersebut.
Dia tersentak melihat ayahnya, Dasman, mendadak sulit bergerak.
“Ayah aku tuh tiba-tiba malem-malem itu, enggak bisa jalan. Kayak, ini tempat tidur nih. Ini tempat tidur. Cuman jarak 3 meter ke kamar mandi. Itu saja sejam loh. Buat masuk kamar mandi,” tuturnya.
Mayang yang kala itu berusia 25 tahun, terpaku, mencerna apa yang terjadi. Perasaan, kemarin ayah masih baik-baik saja, pikirnya.
“Aku mikir, oh ini bukan karena enggak bisa jalan, berdiri bisa. Tapi, oh ini nih, motorik ininya, perintah otak untuk memerintahkan, eh kaki ayo jalan gitu ke kamar mandi. Enggak bisa, tiba-tiba. Terus dia kayak ngeliatin aku, ha, ha, kayak gitu-gitu,” katanya.
Mayang merasa tak karuan. Di depan pintu kamar, tangisnya pecah.
“Terus aku kayak, aku nangis sih, maksudnya nangis, tapi enggak yang, gitu, enggak kayak gitu. Karena aku kayak, aduh ini udah jam 2. Pagi jam 2 malam, aku belum istirahat loh, dari jam 12, aku belum istirahat,” cerita Mayang.
Dengan seluruh tenaga yang tersisa, Mayang mengangkat tubuh ayahnya dan membawanya ke rumah sakit seorang diri.
“Aku gendong. Terus habis itu pada akhirnya, aku bawa ke rumah sakit ya. Aku gimana ya, mungkin aku tuh tipenya enggak mau ngerepotin orang. Jadi kalau misalkan aku masih bisa tanganin sendiri, aku sendiri,” ungkapnya.
Sepanjang perjalanan, Mayang berusaha menenangkan diri.
Dia yakin tak ada hal buruk menimpa ayahnya yang berusia 75 tahun itu.
Namun..
“Di hari pertama, jadi enggak ada respons. Pas di ini ya, di iniin, ininya, tangannya, kakinya, ini gelitik-gelitikin, itu tuh nggak ada respons. Enggak ada respons. Terus kayak disuruh ini siapa? Enggak kenal, tiba-tiba. Itu aku nangis sih. Aku kayak, ya Allah, ini apa?,” tanyanya.
Dokter memvonis ayah Mayang mengidap demensia parkinson. Penyakit yang menyebabkan kemampuan berpikir dan nalar seseorang menurun.
“Nah, aku tadinya mikirnya, aku enggak tahu demensia itu apa. Dan Alzheimer itu aku buta banget, enggak tahu apa-apa tentang itu. Yang aku tahu, pikun, yang jelas,”
Di Indonesia, prevalensi penyakit demensia Alzheimer sekitar 27 persen atau 4,2 juta penduduk. Penyakit ini merupakan penyebab kematian terbanyak kelima bagi orang berusia 65 tahun ke atas.
Mayang bimbang, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Akhirnya, dia memutuskan membawa sang ayah pulang, tapi bukan ke rumahnya di Bekasi.
“Aku telepon abang aku yang kedua ini gimana nih? Ayah udah parah banget nih. Gimana? Gimana? Udah, boyong aja ke Depok gitu. Akhirnya, dirawat deh ayah aku di sini,” kata dia.
Sejak kejadian malam itu, Mayang lebih banyak di rumah.
Menemani ayah ke kamar kecil atau sekedar duduk bareng nonton televisi.
Aktivitas itu terasa asing baginya.
Mayang bergulat dengan emosi yang kerap naik-turun, sementara ingatan sang ayah menurun drastis dari hari ke hari.
Hingga tak lagi mengenali keluarga.
“Kamu siapa katanya. Udah lama kerja di sini? Disangkanya aku ART,” ujarnya.
“Soalnya aku lusuh kalau di rumah. Pakai daster. Pokoknya pakai rumah aja. Aku di rumah terus. Nyiapin makan. Masak apa gimana. Nyuci baju ini segala macem. Nyapu. Ya ART banget ya. Udah lah yaudah jadinya ART,” ucap dia sembari tersenyum.
Beban Mayang bertambah ketika ibu sambungnya yang berusia 68 tahun, terkena stroke.
Mayang tengah membantu ibunya mengenakan jilbab. (KBR/Heru)
Merawat dua orang lansia yang sakit, apa aku bisa? Gumam Mayang dalam hati.
“Kadang istilahnya posisi aku tuh krusial banget gitu loh. Iya, jadi kayak enggak ada yang bisa gantiin posisi aku. Walaupun gimana pun ada sama abang aku. Tapi ibu tuh tetap nyariin tuh aku. Jadi kadang aku ke mana? Kayak induk kehilangan anak itiknya,” cerita dia.
Situasi ini mengharuskan Mayang cermat memilah prioritas. Jelas, keluarga tak bisa dinomorduakan.
“Setelah lulus yang fesyen desainer ini, kan aku kan bikin lini brand kan, aku konveksi, gitu. Aku tadinya, aku udah punya brand sebenernya, tapi kalau kayak gitu kan harus fokus ya,” ujarnya.
Mayang tak ingin banyak bermimpi soal cita-cita.
Meski dalam hati, merelakan pekerjaan impian adalah keputusan sulit.
“Buat ketenangan akunya juga nyaman. Akunya nggak, under pressure aku enggak bisa soalnya. Enggak bisa under pressure. Gimana, karena aku pernah kayak under pressure, aku masuk RSJ,” katanya.
Tidak mudah berada di posisi Mayang. Terlebih karena gangguan kesehatan mental yang dimilikinya.
“Aku bipolar duluan. 2017. Aku diagnosa aku duluan. Jadi pas waktu aku sakit, ayah aku masih nganterin aku. Ibu juga nganterin. Sampai ke rumah sakit,” ungkapnya.
Hidup dengan bipolar adalah perjuangan menghadapi perubahan suasana hati yang ekstrem.
Ketika berada di episode manik, emosi Mayang bisa meledak-ledak. Meluap tak terkendali.
“Aku pernah ada satu posisi aku jadinya marah-marah mulu. Ya maaf ya, sama ibu jadinya kadang jadi agak ngebentak apa gimana. Tapi kan itu di luar kontrol aku ya kayak gitu. Tapi Alhamdulillah ibunya enggak pernah sakit hati atau ngebenci gimana gitu. Maksudnya ibu tetap sayang sama aku. Karena tau kondisi aku juga kayak gini,” ujarnya.
Jika situasi itu terjadi, Mayang memilih mengurung diri, bersembunyi.
Cara itu kadang berhasil membuatnya tenang kembali.
“Cuma yang bikin aku kadang suka ini kan. Misalnya aku udah di kamar nih ngurung diri gitu kan. Aku kunci kamar,” kata dia.
Dia lalu teringat mendiang ibunya. Coba ada ibu di sini?
“Pernah sih kabur dari rumah semalem doang. Tapi aku itu... Pergi ke makam mami aku. Terus habis itu aku di sana. Tidur. Random banget.”
Ayah dan ibu Mayang tengah duduk bersama. (KBR/Heru)
Itu cerita Mayang bertahun-tahun lalu.
Kini, di usia 30 tahun, dia telah berdamai dengan situasi.
Baginya, kebahagian bisa datang dari hal-hal sederhana, seperti nongkrong di warung kopi.
“Nah aku kebutuhan jiwa aku itu ngumpul dengan teman-teman gitu. Kayak entah itu, maksudnya teman-teman aja. Kayak nongkrong, kayak ngobrol, kayak gini juga kan termasuk ini ya healing gitu juga. Aku enggak perlu tuh kayak mewah-mewah, kayak harus ke mana, harus ke mana. Cuman makan aja di bakso juga udah seneng aku. Sesimpel itu,” ujarnya.
Mayang juga lebih pandai membagi waktu.
Sembari merawat kedua orang tua, dia membuat konten make-up dan produk-produk kecantikan di akun TikTok dan Instagramnya @mamayy4.
Lumayan menghasilkan. Bisa untuk jajan, kata dia.
“Aku, ada istilahnya aku tuh, maksudnya kayak apa aja tuh aku suka gitu. Yang berbau kreatif, kayak gitu. Nah makanya pada ujungnya, ya sekarang jadi content creator aja, gitu,” kata dia.
“Aku memutuskan untuk yaudah aku freelance di rumah aja. Content creator aja kayak gitu yang bisa, emang aku bisa kerja sekalian aku ngurus yang di rumah gitu kan,” imbuhnya.
Dia juga berbagi cerita kesehariannya bersama ayah.
“Yang sama ayah itu, konten. Awalnya karena apa ya? Karena aku tuh orangnya pengin sharing doang. Aku bukan mau dipandang menjadi anak yang berbakti,” kata dia.
“Maksud aku tuh, aku lempar, lempar inian istilah umpan. Biar ngumpul nih yang sesama caregiver. Jadi kita bisa saling bertukar informasi.”
Mayang kini belajar, daya tahan bisa muncul dari semangat yang dia bangun sendiri.
“Kita berkorban, berkorban. Cuman, kita harus tahu kapasitas kita juga dong. Masa jadinya kita jadi pasien juga? Jangan dong. Harus jaga diri juga,” tekannya.
Pakar psikologi dari Universitas Negeri Jakarta Zarina Akbar bilang, mengatur emosi dan hati adalah kunci untuk bertahan.
“Jadi semua aspek dalam diri si caregiver ini benar-benar jadi terpengaruh, akan sangat mempengaruhi banyak aspek dalam dirinya. Sehingga memang pengelolaan diri di sini menjadi sangat penting bagi caregiver. Jadi fokus selain pada pasien di sini, selain kepada pasien, orang terkasihnya, juga kepada dirinya sendiri menjadi sangat penting concern-nya di sini,” kata Zarina kepada KBR, Rabu (28/5/2025).
Zarina berpandangan, keluh kesah yang diutarakan Mayang adalah hal yang wajar. Orang-orang seperti itu dan caregiver lainnya, perlu merawat diri dan mengenali emosi.
“Enggak apa-apa juga loh kita bilang kalau ada rasa capek dalam diri, ada rasa bingung, ada rasa jenuh. Artinya itu kan upaya untuk meregulasi emosi nih. Karena kalau tidak di-declare, tidak dia kenali emosinya, tidak dia ekspresikan emosinya, yang ada nantinya stresnya itu stres emosional,” kata dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
“Jadi dia akan melawan-melawan dirinya terus bahwa harus terlihat lebih kuat, harus terlihat strong, harus terlihat tangguh. Yang padahal mungkin dalam dirinya juga rapuh, dalam dirinya juga banyak kelelahan secara emosional. Jadi dia harus kenali dulu emosi apa yang dia rasakan,” imbuhnya.
Dukungan sosial juga menjadi penting.
Membangun interaksi dengan orang lain, sadar kita tidak hidup sendiri.
“Kalau dia tidak bergabung dalam support group terapi tadi itu, dia bisa misalnya membangun support system dalam keluarganya. Jadi selain dari pasien tadi, misalnya dia membangun support system-nya dengan anggota-anggota keluarganya yang lain, selain keluarga intinya, itu juga upaya untuk saling support, upaya untuk mencari bantuan. Jadi bingungnya tuh enggak dia pendam sendiri, bingungnya nggak dia simpan sendiri, tapi dia bisa saling berbagi dan di situ bisa lebih menenangkan.”
Namun, tak semua caregiver mampu menjadi Mayang. Minimnya akses informasi dan layanan kesehatan, juga dukungan keluarga, bisa jadi pedang yang menghancurkan asa.
“Secara mentalnya dia harus kenali dulu emosi yang dia rasakan. Dan dia belajar untuk mengenali dan mengekspresikan emosinya. Nah cara, the way untuk mengekspresikan emosi ini beda-beda. Ada yang lebih senang untuk cerita dengan lisan, curhat gitu, dia menyampaikan keluh kesahnya. Ada yang dia tidak suka bercerita tapi dia mengekspresikannya misalnya dalam bentuk dia menulis, dalam bentuk dia menggambar. Tapi ada upaya-upaya yang dia ekspresikan, dia keluarkan,” ujarnya.
Merawat orang tercinta di usia senja memang bukan tugas yang mudah. Seperti Mayang, dengan kesadaran untuk merawat diri sendiri, caregiver dapat menjalani proses ini bukan sebagai beban, melainkan sebagai wujud kasih dan perhatian.
Penulis: Heru Haetami
Editor: Wahyu Setiawan