SAGA
"Pembangkit listrik berbasis komunitas bisa jadi sumber energi bersih bagi warga di wilayah pelosok, seperti Batu Sanggan. Namun, ada kendala soal pendanaan"
Bendungan sungai untuk pembangkit listrik mikrohidro (PLTMH) Batu Sanggan, Kampar, Riau. (Foto: dok Trend Asia)
KBR, Jakarta - Baru beberapa hari di Jakarta, Roni Handri sudah rindu dengan kampung halamannya di Batu Sanggan, Kabupaten Kampar, Riau.
“Ini aja dua hari udah sumpek banget pasti pengin pulang, kalau enggak kemalaman ke Pekanbaru-nya, malam ini saya juga pulang, kalau enggak ada agenda,” kata Roni.
Padahal, kondisi desanya kontras dengan Jakarta. Di sana, masih sering gelap gulita karena pasokan listrik belum stabil. Beda dengan kota metropolitan yang serba gemerlap.
“Kalau saya menilainya, justru karena itulah orang-orang di Jakarta, enggak cinta dengan energi. Karena mereka tahu, asalkan bayar, nyala udah,” ujar pria 40 tahun ini.
Batu Sanggan merupakan wilayah adat yang berada di kawasan lindung Bukit Rimbang Baling.
Sungai Subayang menjadi jalur transportasi satu-satunya. Warga mengandalkan perahu sebagai sarana mobilitas. Kondisi ini menyulitkan pengembangan infrastruktur seperti pembangkit listrik.
Sekitar tahun 2000, mulai ada generator listrik alias genset.
Sebelum itu, selama puluhan tahun, warga Batu Sanggan mengandalkan lampu minyak tanah untuk penerangan.
“Ketika (saya) kecil, penerangannya dari lampu minyak tanah, dan itupun nge-dapat-in minyak tanahnya sangat susah sekali, karena kita jauh dari kota. Kita belinya dari pedagang kecil dan harga lumayan mahal," Roni bercerita.
"Paling satu rumah, lampu minyak tanah ada 3 biji, dan itu hanya sampai jam-jam tidur aja. Kalau udah sampai jam tidur, dipasang cuma satu aja, untuk ngirit biayanya. Asalkan ada sumber cahaya terang sikit, udah itu,” tambahnya.
Genset memang mampu menerangi rumah-rumah warga, tetapi terbatas dari jam 6 sore hingga 10 malam. Harga solar pun terlampau mahal bagi warga yang mayoritas bekerja sebagai petani karet.
“Kita enggak sanggup ngakalin solarnya, bahan bakarnya terlalu mahal dan jauh untuk beli solar, jauh dari kota. Satu-satunya transportasi yang bisa kita pakai adalah lewat sungai. Pakai sampan mesin itu melawan arus, lebih kurang 1 jam dari ibu kota kecamatan. Kalau kita beli di pedagang yang di kampung itu malahan lebih mahal lagi,” tutur dia.
Masyarakat adat Batu Sanggan kemudian mengetahui bahwa air sungai bisa menjadi sumber energi penghasil listrik.
Mereka mengajukan proposal pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) ke pemerintah daerah, dari tingkat kabupaten hingga provinsi. Prosesnya tak mulus, bahkan sempat berkonflik dengan pejabat setempat.
“Kita udah pernah, (di) PHP lah, nyatanya udah tertulis di dinas itu, ini (anggaran) untuk Batu Sanggan, tau-tau-nya pembangunannya dialihkan di desa lain. Kita sampaikan kekecewaan kita kepada pemerintah. Sampai ibu-ibunya, nge-lempar ibu kadisnya itu pakai sendal, saking kecewanya. Waktu itu kadisnya perempuan,” ungkap Roni.
Baca juga: Dilema Bangun PLTS, Berkaca dari Jakabaring
Tokoh masyarakat adat Batu Sanggan, Kabupaten Kampar, Riau, Roni Handri. (Foto: Firman/Trend Asia)
Akhirnya pada 2009, pembangunan PLTMH dimulai. Pengerjaannya melibatkan seluruh warga, karena lokasinya jauh dari permukiman. Mereka berjalan kaki, beramai-ramai mengangkat bahan-bahan material sampai ke lokasi.
“Sampai-sampai semen satu sak aja kadang kita bagi lima. Kalau ngangkat sendiri enggak kuat, karena jauh perjalanannya. Apalagi semennya dari ibu kota kecamatan belinya, nge-lawan arus satu jam lebih, baru nyampe di muara sungai kecil itu. Dari muaranya itu kita bagi lagi untuk dipikul ke lokasi. Jadi bisa dibayangkan, untuk ngangkat pasir atau satu kubik batu aja, berapa hari yang kita butuhkan, karena semua diangkat manual,” kisah Roni.
Tiap kali hujan turun di malam hari, esoknya semua warga bergotong-royong menggarap PLTMH, karena mereka tak bisa bekerja di kebun karet.
“Kita selalu bawa nasi dan makan bareng-bareng dan suka dukanya di situ, walaupun kita kerja berat tapi silaturahmi tetap terjaga, (kehujanan) udah biasa, ya (berteduh) di pohon-pohon. Material kayak semen yang enggak mungkin basah, kita kasih terpal plastik, kita bungkus,” lanjutnya.
Hujan dan panas sudah menjadi kawan setia.
Saban hari, asa warga kian menyala. Sumber listrik bersih dan murah sudah di depan mata. Hambatan dan kendala tak dirasa.
“Kecelakaan-kecelakaan kecil, ada. Kita angkat materialnya, kan, pakai perahu kecil. Ada yang karam, itu udah sering, udah terbiasa,” ungkapnya.
“Kita (jadi) punya histori, yang mungkin sampe anak cucu pun diceritain, itu enggak bisa lupa,” imbuh Roni.
Setelah sekitar setahun berjuang, tuntaslah pembangunan PLTMH. Tak kurang dari 80 rumah akhirnya menikmati listrik perdana.
“Girangnya bukan minta ampun, orang-orang pada keluar, si ini di teras rumahnya, lampu pada nyala, jadi sesak saya ini cerita, karena memang seperti itu. Lampu udah nyala sampai pagi, itu sangat luar biasa sekali,” ujar Roni.
“Kalau televisi, belum banyak sih, waktu itu, karena masih ini, lampunya kadang gelap, kadang terang, belum stabil lah ibaratnya, jadi masyarakat enggak berani untuk beli peralatan elektronik. Nunggu dulu,” ucapnya.
Baca juga: Ubah Sampah Jadi Energi, Sudah Sampai di Mana Kita?
Suasana masjid di Batu Sanggan, Kampar, Riau di malam hari. Penerangan disuplai energi bersih pembangkit listrik mikrohidro yang dibangun warga secara gotong-royong. (Foto: dok Trend Asia)
Sayangnya, kegembiraan itu hanya bertahan 1,5 bulan. Semua bolam lampu terbakar. Desa Batu Sanggan kembali gelap gulita karena mesin pembangkit rusak. Tak satupun yang sanggup memperbaiki.
“Bukan kecewa lagi, udah pada nangis ibaratnya semua baru ngerasain 1,5 bulan aja udah mati lagi,” ungkap Roni.
Warga terpaksa kembali memakai genset sembari melobi pemda agar mau turun tangan. Butuh lima tahun, aspirasi mereka baru didengar.
PLTMH Batu Sanggan menjadi sumber listrik utama hingga sekarang. Warga ditarik iuran Rp30 ribu per bulan untuk ongkos pengelolaan. Bandingkan dengan genset diesel yang biayanya bisa tembus Rp100 ribu saban bulan.
“Kita tanam dua orang untuk ngurusin (PLTMH) ini, karena jarak dari desa itu ke tempat PLTMH itu butuh waktu satu jam PP, bolak-balik. Jadi harus ada orang khusus yang kita tugaskan di sana. Nah, iuran yang kita pungut dari warga itu untuk operasional mereka,” jelas petani karet lulusan SMA ini.
Selama 10 tahun terakhir, belum ada kendala berarti. Namun, warga sejatinya ketar-ketir, bagaimana jika mesin kembali rusak parah? Sebab, belum ada yang mampu memperbaiki.
“Petugasnya itu kan belum dibekali dengan ilmu, ya paling mereka tahu cuma, ngidup matiin doang. Jadi ya, ke depannya kalau memang ada pelatihan peningkatan kapasitas, kita akan libatkan yang anak-anak mudanya, untuk regenerasinya,” terang Roni.
Ada lagi tantangan lain: masuknya jaringan PLN. Roni bilang, warga tidak menolak PLN, tetapi jangan sampai menggantikan PLTMH yang sudah dibangun susah payah. Mereka ingin listrik PLN berfungsi sebagai cadangan.
“PLN ini lebih kita masukkan ke cadangan listrik lah, ketika umpama ada kendala pada musim kemarau. Utama kita tetap di PLTMH. Kita mikirnya kalau bergabung dengan PLN, yang jelas ini (PLTMH) akan tersia-siakan,” jelas Roni.
“Yang kedua, kalau PLN, kita bayar iuran masuknya ke negara, kalau kita di PLTMH, masuknya ke kas kita sendiri, juga walaupun cuma dua orang, setidaknya akan sangat membantu,” imbuhnya.
Artinya ada PR besar agar PLTMH tetap beroperasi. Selain masalah pemeliharaan mesin, debit air sungai juga mesti dijaga. Semua itu tentunya butuh biaya.
“PLTMH yang kita bangun itu, kan, masih ada sekitar 400-an hektare yang alami, masih bagus. Kita inisiatif, ini jangan kita ganggu. Kita bikin ini sebagai hutan larangan adat, untuk keberlangsungan PLTMH. Biar airnya terus terjaga,” kata Roni.
“Kita ada rencana, skema pohon asuh, nanti kita akan tawarkan ke berbagai pihak, mana tahu ada yang pengin ngasuh pohon, setidaknya dapat duitnya untuk kita kumpul-in untuk perawatan ke depan,” tambahnya.
Ini adalah ujian kesekian kalinya bagi masyarakat adat Batu Sanggan. Namun tekad mereka sudah bulat: mempertahankan sumber energi bersih di kampung sendiri.
“Berdarah-darahlah perjuangannya, makanya di berbagai forum saya sampaikan, kalau masyarakat sangat itu mendapatkan mikrohidro, mendapatkan emas ibaratnya, saking berharganya,” ujar Roni.
Manajer Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyyra Triasdian. (Foto: dok pribadi)
Demokratisasi energi
Manajer Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyyra Triasdian pernah dua malam menginap di Batu Sanggan. Merasakan beratnya hidup di tengah keterbatasan akses listrik dan sinyal internet.
“Dari situ saya ngerasain, oh wow, energi terbarukan itu bukan hal keren. Mungkin orang kota, orang Jakarta, anak muda bilang itu hal keren, ini hal seksi, dibawa untuk komitmen-komitmen diplomatik, di seluruh dunia, ketika pertemuan-pertemuan internasional,” kata Beyyra.
“Sedangkan untuk masyarakat, apalagi di daerah-daerah terpencil, tertinggal, dan terluar, mereka akan bilang, ini bukan energi keren, ini hal yang kita butuhkan untuk hidup lebih layak,” imbuhnya.
Batu Sanggan hanya satu dari banyak daerah yang masih belum terpenuhi kebutuhan listriknya. Padahal, kemudahan akses listrik dapat meningkatkan perekonomian dan kualitas hidup warga.
“Saya yakin energi adalah hak warga negara untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahkan sebenarnya di banyak daerah, mereka tidak mengharapkan lebih, mereka tidak mengharapkan kulkas, tidak mengharapkan tv, simply, kita pengin terang, di malam hari,” tutur Beyyra.
Baca juga: Berkah Karbon Komunitas Penjaga Hutan Bujang Raba
Direktor Celios, Bhima Yudhistira. (Foto: KBR/Ninik)
Keberlanjutan energi terbarukan berbasis komunitas kerap terbentur anggaran dan pengetahuan. Sejatinya, banyak skema pendanaan dari level desa, daerah, pusat, bahkan internasional yang bisa dimanfaatkan. Namun, informasi sering tak sampai ke telinga warga, kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.
“Alokasi misalnya dari dana desa, itu pun bisa sebenarnya menjadikan investasi awal, untuk pembangunan mikrohidro ataupun solar panel yang budget-nya kira-kira di bawah Rp100 juta. Kedua, adalah dana hibah dari APBD. Itu banyak mengalir juga sebenarnya selain ke program-program sosial, pemberdayaan, juga bisa dialihkan ke energi skala komunitas,” ujar Bhima.
“Ketiga, pemanfaatan kredit usaha rakyat (KUR) yang bunganya relatif kecil. Belum corporate social responsilbity dari BUMN, perusahaan swasta, itu pun banyak. Sekarang memang sifatnya masih terfragmentasi,” lanjutnya.
Pembangkit listrik berbasis komunitas mestinya bukan dianggap ancaman oleh PLN. Keduanya bisa berkolaborasi untuk mewujudkan demokratisasi energi.
Listrik skala komunitas seharusnya dapat terhubung dengan jaringan PLN atau on-grid.
Hal-hal itu perlu dimasukkan dalam RUU Energi Baru Terbarukan, kemudian segera dibahas, dan disahkan.
“Di negara-negara lain, sifatnya juga on-grid. Yang artinya dia bisa terintegrasi dengan listrik negara. Nah, itu yang sekarang menjadi tantangan besar, sehingga dianggap, kalau di situ sudah ada listrik dari PLN, susah untuk beralih ke komunitas. Kalau di situ sudah ada energi terbarukan berbasis komunitas, kehadiran PLN jadi ancaman. Padahal harusnya enggak seperti itu,” Bhima menekankan.
Penulis: Ninik Yuniati