SAGA
"Kelompok rentan seperti bayi, anak, lansia, berisiko terdampak lebih berat jika antimikroba resistan (AMR) gagal dikendalikan "
Ilustrasi antimikroba resisten. (Freepic)
KBR, Jakarta - Desember, bulan yang punya arti tersendiri bagi Sri Wahyuni. Hatinya diliputi suka, karena Simfoni, putrinya berulang tahun. Pada 2024 ini, anak ketiganya itu berusia 2 tahun. Namun, kebahagiaan Yuni juga dilekati rasa getir, karena ia pasti teringat Harmoni, saudara kembar Simfoni, yang sudah tiada.
“Paling kalau dia ulang tahun, di rumah, ntar saya habis itu ke makam (Harmoni). Boleh (nanti) cerita ‘ini dek, tadi mami ke tempat kakak, (saya) lihat-in fotonya (ke Simfoni),” kata Yuni.
Harmoni dan Simfoni, terlahir prematur, lewat operasi caesar, saat usia kehamilan Yuni 32 minggu. Harmoni lahir lebih dulu dengan bobot 1,2 kg, sedangkan Simfoni 1,8 kg.
“Yang keluar dulu-an kakaknya, terus foto sama saya. Adiknya keluar beberapa detik kemudian tapi dua-duanya harus langsung bawa ke NICU, jadi enggak sempat foto dua-duanya. Malah Harmoni doang yang difoto, aku enggak punya foto kembar dua,” tutur perempuan 40 tahun ini.
Sepuluh hari di ruang perawatan intensif untuk bayi baru lahir (NICU), kondisi Simfoni stabil, sehingga boleh dibawa pulang. Namun, Harmoni tak kunjung membaik. Di hari ke-19, Yuni dipanggil ke rumah sakit.
“Diinfokan kalau kondisinya semakin melemah, dan sudah diupayakan untuk memberikan antibiotik yang terakhir yaitu yang paling tinggi, 'semoga anak ibu bisa menerimanya'. Nah, di sini yang saya bingung, ini ada apa sih sebenarnya?,” ucapnya.
Malam harinya, sang suami diminta ke rumah sakit, sedangkan Yuni menanti di rumah sembari menjaga Simphoni.
“Itu adiknya (Simfoni) enggak tidur sampai jam 3 pagi, nangis terus. Pas suami saya telepon (Harmoni) udah enggak ada (meninggal), dia (Simfoni) tidur nyenyak,” tutur dia.
Jenazah Harmoni langsung dibawa pulang.
"Suami saya bawa sendiri (Harmoni) naik mobil, digendong. Pas saya lihat, ya nangisnya sebatas ya udah gitu lho, enggak yang berlebihan. Bukannya enggak sedih, tapi saya sudah memperjuangkan, saya sudah lihat tangisannya (Harmoni), sampai akhirnya meninggal," kisahnya.
Baca juga: Jaminan Kesehatan bagi Pejuang Kebersihan
Sri Wahyuni kehilangan salah satu putrinya, yang terlahir prematur, karena terinfeksi bakteri resisten. (Foto: KBR/Heru).
Sedari awal kehamilan, Yuni sudah diwanti-wanti dokternya tentang risiko terburuk, setelah ada temuan masalah.
“Di usia kandungan lima bulan dokter bilang kalau saya operasi itu tidak 100% bisa selamat dua-duanya. Saya berserah diri lagi dong 'enggak apa-apa, Dok, jalani aja kita sudah ikhlas apa pun yang terjadi,” ujar Yuni.
Yang tak ia duga adalah putrinya meninggal karena infeksi bakteri yang kebal antibiotik. Bakteri itu tidak bisa dibasmi oleh antibiotik. Kejadian ini disebut resistansi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR). Yuni diberitahu oleh dokter yang menangani Harmoni, Windhi Kresnawati, beberapa waktu setelah putrinya meninggal.
Windhi bilang, kasus AMR sangat kompleks sehingga sulit menjelaskannya ke pasien atau keluarga.
“Kalau sebab akibatnya satu, itu sangat mudah menjelaskan tapi kalau multifaktorial, itu ribet ya. Kita paling berapa menit sih ketemu pasien di ruang praktik 10-15 menit, enggak mungkin kita cukup menjelaskan untuk AMR,” kata dia.
Sulit pula melacak dari mana asal bakteri tersebut, mengingat sifatnya yang mudah menyebar.
“Sangat mudah sekali (menular) dari kita bersalaman misalnya, dari kita merawat pasien, dari udara, tergantung, dari penyebaran kumannya ya,” terang Windhi.
Pada bayi baru lahir, apalagi prematur seperti Harmoni, risiko kematiannya tinggi jika terinfeksi bakteri resistan.
“Itu angka kematiannya bisa 80% ketika dia infeksi dan bakterinya tidak bisa dibunuh dengan antibiotik,” lanjutnya.
Menurutnya, tidak ada yang bisa dituding sebagai penyebab munculnya bakteri resistan. Sebagai makhluk hidup, bakteri bakal mencari celah untuk bertahan dari serangan. Caranya dengan bermutasi menjadi bakteri yang lebih kuat, sulit dimatikan dengan antibiotik. Alhasil, infeksi bakal lebih parah, butuh pengobatan lebih lama, membebani ekonomi, dan meningkatkan risiko kematian.
“Tidak seharusnya kita berkontribusi terhadap munculnya bakteri-bakteri ganas. Karena sebenarnya itu akibat dari perilaku kita, semuanya lah berkontribusi, perilaku manusia itu, dari nonmedis, medis sampai government,” ungkap Windhi.
Resistensi antimikroba (AMR) terjadi karena penggunaan berlebihan (overuse) dan penyalahgunaan (misuse) antibiotik.
Baca juga: Petani Perempuan Brebes Dikepung Racun Pestisida (Bagian 1)
Dokter anak, Windhi Kresnawati. (Foto: tangkapan layar Youtube WHO)
Mitigasi di rumah sakit
Rumah sakit bisa menjadi tempat munculnya bakteri resistan sekaligus transmisi.
“Kalau dirawat di rumah sakit pasti kemungkinan kita kena AMR. Karena kuman rumah sakit itu gila banget di mana pun, di ruang mana pun, ada penggunaan antibiotik, di situ ada risiko AMR,” ungkap Windhi.
Hal itu dibenarkan Harry Parathon, akademisi Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
“Bakteri resistan itu bertransmisi di rumah sakit. Jadi bisa pindah dari satu pasien ke pasien yang lain. Kebiasaan cuci tangan, menggunakan stetoskop, satu stetoskop untuk berpindah-pindah ke pasien, ini pindah bakteri resistan,” kata Harry.
“Bahkan boks bayi yang mestinya satu bayi, bisa diisi dua. Kalau satu boks diisi dua, risiko ketularannya tinggi,” imbuh Harry yang juga mengepalai Divisi Uroginekologi di Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya ini.
Temuan bakteri resistan di rumah sakit di Indonesia sudah dibuktikan sejak tahun 2000-an lewat penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN).
Studi ini melibatkan Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, RS Dr. Soetomo Surabaya, RSUP Dr. Kariadi, dan beberapa kampus dari Belanda. Harry terlibat di dalamnya.
Hasil studi ditindaklanjuti Kementerian Kesehatan dengan membentuk Program Pengendalian Resistansi Antimikroba (PPRA). Harry ditunjuk sebagai Ketua Komite PRA periode 2014-2021.
Riset AMR kemudian diperluas dari 2 ke 20 rumah sakit pada 2021. Hasilnya, berdasarkan data Ditjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes, prevalensi bakteri resistan mencapai 59,2 persen.
Menurut Harry, upaya pengendalian AMR di 20 rumah sakit tersebut tidak maksimal, karena keterbatasan fasilitas pengujian dan SDM.
Hanya 6 rumah sakit yang memiliki laboratorium mikrobiologi untuk pemeriksaan bakteri dan uji kepekaan antibiotik. Kendala lain adalah minimnya dokter spesialis yang kompeten melakukan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut.
“Dan yang sudah punya lab pun ternyata para dokter tidak punya kebiasaan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Mereka hanya kira-kira, enggak cocok, ganti lagi antibiotik. Nanti kalau sudah berkali-kali enggak sembuh, baru periksa ke laboratorium mikrobiologi,” ujar Harry.
Hasil riset KPRA menunjukkan penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan antibiotik di 6 rumah sakit itu sangat tinggi, sekitar 70-80 persen.
Alih-alih menurun, prevalensi bakteri resisten di rumah sakit setiap tahun cenderung naik. Pada 2023, angkanya mencapai 70,75 persen hasil riset di 24 rumah sakit.
Padahal, targetnya dipatok di kisaran 50 persen. Harry membandingkan dengan Malaysia dan Filipina yang masing-masing memiliki prevalensi 24 persen dan 42 persen.
“Tapi justru meningkat terus karena secara hukum alamnya di mana penggunaan antibiotiknya masih tinggi, prevalensi bakteri resistannya pasti tinggi,” tutur dia.
Baca juga: Petani Perempuan Brebes Dikepung Racun Pestisida (Bagian 2)
Harry Parathon, Kepala Divisi Uroginekologi di Rumah Sakit Dr. Soetomo. (Foto: tangkapan layar Youtube Tanya Apoteker).
Dirjen Mutu Pelayanan Kesehatan Kemenkes Yanti Herman menekankan, pengendalian AMR di rumah sakit sebenarnya sudah diatur sejak 2015 melalui Permenkes Nomor 8. Namun, implementasinya lambat, karena banyak rumah sakit belum siap. Problem kian kompleks dengan datangnya pandemi Covid-19.
“Apalagi pas kemarin Covid, kan, sembarangan ngasih antibiotik, karena, kan, kita enggak ngerti nih, ngobatinnya, artinya masih menyisakan PR AMR juga di sana,” kata Yanti.
Upaya mitigasi AMR kembali digencarkan dengan memasukkan kewajiban pengendalian AMR dalam syarat akreditasi rumah sakit. Selama ini, hanya 5 persen dari 3.197 rumah sakit yang melakukan pelaporan AMR.
“Itu harus 100% lulus. Kalau mau lulus akreditasi, itu harus dilakukan. Jadi kita ubah nih standar akreditasi rumah sakit, supaya Program Pengendalian Resistansi Antimikroba masuk dalam program nasional,” terang Yanti.
Skema pelaporan AMR pun diganti dari manual ke online, melalui SIRS Online, aplikasi data rumah sakit di Indonesia.
Rencananya, SIRS Online bakal diintegrasikan dengan dua aplikasi lain, yakni SISDMK yang mencakup informasi SDM-SDM di rumah sakit, dan Aspak, terkait sarana, prasarana serta alat kesehatan. Tujuannya agar pengendalian AMR di rumah sakit berjalan efektif.
“Maunya sih aplikasi sendiri yang akan mencari, ‘oh ini butuh rujukan, karena dia (RS) enggak mampu, butuh (RS) yang punya kemampuan mikrobiologi seperti apa, nanti aplikasi sendiri yang mencari, yang terdekat, dan mampu, itu diarahkan rujukannya ke sana,” tutur Yanti.
Rumah sakit wajib menjalankan Penatagunaan Antimikroba (PGA) dan Pengendalian Penyakit Infeksi (PPI), guna menekan penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan antibiotik, serta mencegah transmisi bakteri resistan.
Syarat akreditasi rumah sakit juga masuk dalam Strategi Nasional (Stranas) Pengendalian Resistansi Antimikroba 2025-2029 yang dirilis Kemenkes pada 19 Agustus 2024. Stranas mengadopsi pendekatan berorientasi pada manusia (people centered approach) dari WHO.
“Tujuannya bikin Stranas apa sih? nurunin angka kematian sampai angka kesakitan akibat AMR. Nah, kan, udah ada tuh yang sakit dan itu (dirawat) di rumah sakit. Dan itu paling kompleks, duitnya paling gede di rumah sakit, kebuang,” kata Yanti.
Yanti menekankan urgensi pengendalian AMR, mengingat fatalitas dampaknya yang kian mengkhawatirkan. Di tingkat global, ada 1,27 juta kematian akibat AMR pada 2019 menurut WHO. Angka ini bakal membengkak menjadi 10 juta kematian pada 2050.
Kasus kematian akibat AMR bahkan lebih besar daripada Covid-19.
Hingga 2023 WHO mencatat Covid-19 menyebabkan 161 ribu kematian atau 2,8 persen dari total 6,8 juta kasus. Bandingkan dengan kematian akibat AMR yang mencapai 7,8 persen atau hampir 35 ribu dari total 302 ribu kasus kematian karena infeksi bakteri.
Baca juga: Petani Perempuan Brebes Dikepung Racun Pestisida (Bagian 3)
Direktur Mutu Layanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Yanti Herman (kanan). (Foto: KBR/Heru)
Meningkatkan kapasitas, mengubah perilaku
Di masyarakat, penyalahgunaan antibiotik juga masih marak terjadi. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 memperlihatkan sebanyak 40 persen masyarakat yang menggunakan antibiotik, mendapatkannya tanpa resep dokter.
Baru sedikit warga yang paham bahaya AMR, salah satunya Sri Wahyuni. Warga Tebet, Jakarta Selatan ini meminimalkan konsumsi obat-obatan pada anak-anaknya.
“Dari pengalaman, dengan kejadian yang membuat semua dunia runtuh ibaratnya, di situ saya belajar bahwa enggak semua obat-obatan itu mampu menyembuhkan kita. Jadi ya senggak perlunya, enggak usahlah minum antibiotik,” tutur Yuni.
Ibu 40 tahun ini, kehilangan salah satu anak kembarnya, Harmoni, karena terinfeksi bakteri yang resistan antibiotik.
Padahal, Yuni sedari muda hingga berkeluarga menghindari konsumsi obat jika tidak perlu. Ketika ke dokter, Yuni juga aktif bertanya soal obat-obatan yang diresepkan.
“Waktu itu kalau enggak salah, (anak) diare atau apa, dokter kasih antibiotik. Menurut saya dia (anak) masih mau makan, masih kuat. Itu antibiotik enggak saya kasih sama sekali,” ujar Yuni.
“Kita (mesti) lebih aware pada diri sendiri, lingkungan, lebih cari tahu ajalah, jangan apa-apa diam, apa-apa kata dokter kita ikuti,” imbuhnya.
Direktur Mutu Layanan Kesehatan Kemenkes Yanti Herman mengakui penggunaan antibiotik yang tidak bijak juga masih terjadi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti di puskesmas dan klinik. Karenanya, sangat penting mengedukasi warga sebagai pengguna layanan, soal bahaya antibiotik.
“Ibu-ibu jangan stres ya kalau anaknya panas. Jangan cepat-cepat beli antibiotik! Karena enggak semuanya disebabkan oleh bakteri. Siapa tahu virus. Virus mah makan banyak, istirahat cukup, hilang,” Yanti mengingatkan.
Data 2023, penggunaan antibiotik untuk ISPA non-pneumonia mencapai lebih dari 22 persen, padahal targetnya maksimal di 20 persen. Sedangkan untuk diare non-spesifik, angkanya sekitar 19 persen, jauh melampaui target 8 persen. Dua penyakit itu mestinya tidak perlu diberikan antibiotik.
Di Stranas Pengendalian Antimikroba 2025-2029, ada ketentuan bahwa FKTP harus menjalankan pedoman penggunaan antibiotik yang bijak dan pengendalian penyakit infeksi.
Adapun, terkait kasus AMR pada anak, Yanti menyebut belum ada data spesifik tentang itu. Namun, sudah terdeteksi beberapa bakteri resistan yang banyak menyerang anak-anak.
Di antaranya, (1) Klebsiella pneumoniae yang resistan cephalosporin generasi ketiga, penyebab pneumonia dan ISPA; (2) E.Coli yang resistan cephalosporin generasi ketiga, penyebab infeksi kandung kemih; dan (3) Methicillin-resistant staphylococcus aureus (MRSA) penyebab infeksi kulit dan jaringan lunak pada anak.
Baca juga: Demi Eliminasi Kanker Serviks 2030
Sektor peternakan dan pertanian juga kerap menggunakan antibiotik sehingga berisiko memicu bakteri resisten. (Foto:Antara)
Menurut dokter anak, Windhi Kresnawati, situasi AMR seperti benang kusut. Banyak dokter masih meresepkan antibiotik yang tidak perlu. Selain itu, ada juga faktor kapasitas dokter dan kurangnya ketajaman klinis.
“Kita (dokter), kan, wawancara medis, kita periksa pasiennya, kalau enggak yakin dengan diagnosisnya, (biasanya) daripada pasien yang enggak sembuh, mending dikasih antibiotik,” ujar Windhi.
Selain itu, dari sisi pasien, tak sedikit yang malah menuntut dokter meresepkan antiobiotik. Mereka percaya dengan kemanjurannya, tanpa berpikir panjang soal efek samping. Karenanya, publik butuh edukasi komprehensif dengan bahasa yang mudah dipahami.
“Sebenarnya kalau pasien sih pengin cepat gejalanya hilang, cepat sembuh. Apalagi kalau sudah menjadi mitos di masyarakat bahwa antibiotik obat dewa, susah banget diberantasnya, harus pelan-pelan sekali, masuk ke dalam filosofi, sosiologi masyarakat," ujar Windhi.
Pemerintah mestinya mencontoh negara lain yang sangat ketat mengatur dan mengawasi peredaran antibiotik.
“Di luar negeri, dokter sendiri enggak bisa beli antibiotik. Dokter spesialis, dia sakit, dia tetap harus melalui prosedur di rumah sakit itu untuk dapat antibiotik,” jelasnya.
Menurut Harry Parathon, Kepala Divisi Uroginekologi di Rumah Sakit Dr. Soetomo, AMR tidak bisa dihilangkan, sebab penggunaan antibiotik yang tepat saja, berpotensi memicu bakteri resistan. Apalagi, AMR tak hanya terjadi di sektor kesehatan, tetapi juga pertanian dan peternakan.
Karenanya, semua pihak harus mau berkontribusi mengerem penggunaan antibiotik.
“Gunakan antibiotik secara bijak supaya enggak berlebihan! Nanti prevalensinya akan turun dengan sendirinya, itu sudah diteliti di mana-mana,” Harry menekankan.
“Jangan beli antibiotik sembarangan, jangan menyimpan sisa antibiotik! enggak ada istilahnya antibiotik itu untuk jaga-jaga. Kalau berobat ke dokter, minta penjelasan sama dokternya, kenapa dapat antibiotik. Itu hak pasien, enggak boleh sungkan kenapa minum antibiotik, apakah harus minum antibiotik, dasarnya apa, dan sebagainya," pesan Harry.
Liputan ini mendapat dukungan dari ReAct Asia Pacific dan Yayasan Orang Tua Peduli.
Penulis: Heru Haetami
Editor: Ninik Yuniati