Septia

SAGA

Daya Hidup Septia Berjuang Lepas dari Jerat UU ITE

"Vonis bebas buruh Septia diapresiasi sebagai preseden baik bagi penegakan hukum, khususnya terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)"

Septia divonis bebas Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atas dugaan pencemaran nama baik oleh eks atasannya pengusaha Jhon LBF. (FOTO:KBR/Aika)

KBR, Jakarta- Septia Dwi Pertiwi kini bisa sedikit bernapas lega. Setidaknya, ia tak perlu lagi wajib lapor ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, saban Senin.

Sekitar 4 bulan, kegiatan ini dilakoninya karena berstatus tahanan kota sejak September 2024. Status itu berakhir pada Rabu, 22 Januari 2025, ditandai ketukan palu hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Perempuan 27 tahun ini divonis bebas dari dakwaan mencemarkan nama baik bekas bosnya, Jhon LBF.

Septia dikriminalisasi dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), usai bercerita di media sosial tentang hak-haknya yang dilanggar saat bekerja di perusahaan milik Jhon, PT Hive Five.

Untunglah, putusan hakim sesuai harapannya.

“Dilihat dari beberapa korban UU ITE yang juga dibebaskan dan selama persidangan aku bisa membuktikan semuanya, jadi dari awal aku sudah optimis, ini akan menang. Hakim vonis aku bebas, dan memang seharusnya seperti itu menurutku,” kata Septia.

Usai vonis, Septia bergegas ke kejaksaan untuk melepas gelang detektor. Gelang itu yang membatasi pergerakannya selaku tahanan kota. Ia dilarang bepergian keluar Jakarta.

“Dilepas pas kemarin aja, jadi mandi juga tetap pakai gelangnya. Risih, terus berat, kena lantai kalau jalan. Kalau aku mau ke mana-mana, misalkan mau pergi, aku harus pakai legging lagi, buat ngeganjel tuh gelang tetap ke atas, jadi enggak turun-turun,” tutur Septia.

Hari itu, Septia merayakan kebebasan dengan rehat di rumah, melepas penat yang menggelayuti selama dua tahun berperkara.

“Energi sosial aku tuh habis, kayak lelah. Ada ucapan selamat dari WhatsApp dan Instagram, jadi dari situ tuh kayak udah capek, jadi energi aku lelah banget,” lanjutnya.

Septia ingin berlibur ke Purwokerto bersama sang suami.

“Maunya ke Purwokerto, Dieng, Yogya, Solo. Ke Purwokerto, aku memang suka bolak-balik ke sana, karena teman aku ada rumah di sana. Aku sama suami ke Dieng, karena kalau mau ke Dieng lewat Purwokerto dulu,” Septia bercerita.

Mereka menikah pada 21 September 2024, di hari ketiga Septia berstatus tahanan kota. 

Statusnya berubah menjadi tahanan kota setelah permohonan penangguhan penahanan dikabulkan.

Baca juga: Pemberdayaan Berdampak dan Bermakna untuk Perempuan Akar Rumput

Septia

Septia didampingi kuasa hukum usai vonis di PN Jakarta Pusat bersama massa buruh pendukung pembebasan Septia. (FOTO:KBR/Aika)

Septia mendekam selama 25 hari di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Ia ditahan pada 26 Agustus 2024, tanpa persiapan apapun.

“Aku enggak bawa baju ganti, bener-bener baju yang aku pakai aja gitu. Bawa uang cuma Rp50 ribu doang. Aku, kan, enggak tahu kalau di sana (rutan) harus punya uang. Aku titip-in semua, HP, ke kuasa hukum, aku bilang 'tolong bilang-in ke mamaku ya kalau aku ditahan'. Akhirnya aku berangkat tanpa ketemu mamaku,” kenang Septia.

Septia sempat khawatir pernikahannya batal.

“Pas masuk ke rutan, yang aku pikirkan, aduh nanti gimana nikahnya, jadi atau enggak? Aku udah proses pernikahan dari jauh hari, udah dibicarakan dari Oktober 2023. Juni 2024 pertemuan keluarga, udah proses semuanya, tinggal beres, tinggal pelunasan WO (wedding organizer)," tuturnya.

"Karena sudah selesai semua, tinggal dilangsungkan pernikahannya, mungkin hakim juga berbaik hati untuk jadikan aku tahanan kota,” imbuhnya.

Momen bahagia itu akhirnya terlaksana, walau sederhana.

“Pas aku udah ditetapkan sebagai tahanan kota, malamnya aku bilang, ini jadi nikah, masih bisa tetap dibantu enggak? Untung WO-nya juga nge-bantu banget. Di Jumat pagi aku sebar undangan karena nikahnya, kan, Sabtu. Itu cuma (pakai) pasfoto, kayak mau bikin buku nikah doang. Jadi kita enggak ada foto pre-wed,” kata dia.

Pernikahan berjalan lancar, meski tanggal di buku nikah, tak sama.

“Dari keluarga sama pasanganku, yang tanpa aku tahu, ternyata mereka sudah info ke KUA  (bahwa) kayaknya bakal cancel (nikahnya) nih. Dari KUA-nya info ke adminnya, ini tanggal 21 (September) enggak jadi, gitu. Jadi (di) buku nikahnya, (tertulis) 23 September, enggak bisa balik lagi ke tanggal awal,” ucapnya.

Kendati merasakan pahitnya bui dan rentetan dampaknya, ada pelajaran berharga yang dipetik Septia.

“Ini pengalaman mahal banget, karena kalau kita masuk penjara, kita nge-rasa 'duh gue menderita banget ya, gue jahat banget', gitu. Tapi ternyata di dalam sana (rutan), banyak lho orang yang lebih kasihan dari kita. Vonisnya mungkin bisa bertahun-tahun, 5-6 tahun, yang mungkin habis lahir-an, harus masuk (penjara), anaknya masih bayi, segala macem. Aku kayak mau sedih-in diri sendiri, ternyata banyak yang lebih sedih dari kita,” ungkap Septia.

Baca juga: Paralegal Komunitas, Memampukan Kelompok Rentan Mengakses Keadilan

Septia

Septia (kanan) dan ibunya, Sumartini (kiri) sebelum ke Kejaksaan untuk melepas gelang detektor. (FOTO:KBR/Aika)

Sumartini, ibu Septia, sangat terpukul mendapati anaknya dipenjara.

“Aku udah gimana ya? kayak hati tuh di bawah banget. Ya udah lah, saya pasrah aja, pengin sama Allah aja. Kadang aku nangis. Ada teman sih dukung. Ya Allah, selama ini 2 tahun tuh kayak saya diaduk-aduk lah,” kata Sumartini.

Kondisi ekonomi keluarga pun limbung karena Septia tak lagi bekerja. Kakak Septia menjadi pencari nafkah satu-satunya.

“Septia juga masih ada uang-uang tabungan lah, ngasih juga dia,” kata Sumartini.

Vonis bebas Septia disambut haru Sumartini.

“Iya alhamdulillah ada keadilan, karena anakku enggak salah dizalimi sama bos. Yang terbaik aja untuk anak saya dan terbaik untuk bosnya. Doa terbaik untuk semuanya,” harap ibu dua anak ini.

Baca juga: Kriminalisasi di Dolok Parmonangan dan Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Septia

Para buruh perempuan se-Jabodetabek menggelar aksi di depan gedung PN Jakpus saat sidang vonis Septia. (FOTO:KBR/Aika)

Pengalaman dikriminalisasi tak bikin Septia ciut nyali. Ia justru makin berani karena lebih paham isu ketenagakerjaan.

“Ada ketakutan, bakal dapat kerja lagi enggak ya? Tapi satu sisi aku mikirnya, yang takut adalah perusahaan yang seperti itu juga (PT. Hive Five). Kalau perusahaan yang benar-benar sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan, enggak perlu takut kalau ternyata orangnya (karyawan) berani," tegas Septia.

"Yang idealnya itu, gaji sesuai UMP, dapat BPJS ketenagakerjaan, lembur ya dibayar, enggak ada peraturan-peraturan yang aneh-aneh, enggak ada potongan gaji yang enggak jelas,” lanjutnya.

Bagi Septia, tak perlu khawatir bersuara jika berada di pihak yang benar.

“Kalau punya keberanian, memang tidak bersalah, buat speak up, kan, tidak ada kesalahannya. Yang salah, kenapa UU ITE dibuat, itu jadi membungkam kita untuk bersuara,"

"Menurutku jangan pernah takut speak up karena kalau kita semuanya bersuara, aku yakin Intimidasi, kriminalisasi, tidak akan terjadi,” pungkasnya.

Penulis: Aika

Editor: Ninik Yuniati