RAGAM

Survei YLKI: Minuman Berpemanis Dalam Kemasan Mengancam Kesehatan Anak & Remaja Indonesia

Gempuran iklan dan promosi makin meneguhkan bahwa minuman manis menjadi ikon dalam berkonsumsi dan pergaulan sosial.

DIPERSEMBAHKAN OLEH Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) / Paul M Nuh

Survei YLKI: Minuman Berpemanis Dalam Kemasan Mengancam Kesehatan Anak & Remaja Indonesia
Tulus Abadi (YLKI) saat memberikan keterangan.

KBR, Jakarta - Fenomena minuman manis makin kuat bahkan menjadi kegandrungan masyarakat Indonesia. Minuman manis merupakan sebuah kemewahan dari pada air putih, atau sekadar teh tawar, khususnya bagi anak-anak, remaja dan generasi muda. Gempuran iklan dan promosi makin meneguhkan bahwa minuman manis menjadi ikon dalam berkonsumsi dan pergaulan sosial.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) telah melakukan survei "Konsumsi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di 10 Kota" untuk menggambarkan dan memotret lebih gamblang fenomena yang kian mengkhawatirkan ini. Survei meliputi Kota Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Balikpapan, Makassar, dan Kupang. Total responden yang terjaring adalah 800 responden, dan masing masing RT dijaring 10 responden. Berikut beberapa temuan penting survai YLKI tersebut:

  1. Anak dan remaja Indonesia gemar mengkonsumsi minuman berpemanis dalamkemasan. Terbukti 1 dari 4 (25,9 persen) anak usia kurang dari 17 tahun mengkonsumsiMBDK setiap hari, bahkan 1 dari 3 (31,6 persen) anak mengkonsumsi MBDK 2-6 kalidalam seminggu. Tentu ini fenomena yang sangat mengkhawatirkan.
  2. Mudahnya akses pembelian MBDK menjadi salah satu pemicu utama anak dan remajamengkonsumsi MBDK. MBDK sangat mudah diakses dan bisa dibeli dalam jarak 2 sampai 10 menit. Responden membeli MBDK via warung (38 persen), minimarket (28persen), supermarket (17 persen), dan akses lainnya (termasuk fasilitas kesehatanseperti rumah sakit, lalu fasilitas umum lainnya seperti sekolah) sebesar 18 persen.
  3. Selain akses pembelian yang sangat mudah, aspek motivasi menjadi faktor penentu bagi anak dan remaja dalam mengkonsumsi MBDK. Hasil survei menunjukkan, rasa penasaran menjadi faktor yang paling tinggi sebesar 32,4 persen, kemudian disusul faktor enak rasanya sebesar 27,1 persen, dan faktor ketiga adalah aspek harga sebesar 14,4 persen. Sedangkan aspek aspek lainnya meliputi, influencer (6,4 persen), pengaruh anggota rumah tangga (5,8 persen), iklan di media massa (3,8 persen), aspek teman (3,6 persen), media sosial (3,4 persen), dan ada juga pengaruh tetangga, sebesar 3,3 persen.
  4. Atas tingginya anak dan remaja mengkonsumsi MBDK tersebut, persepsi mereka terhadap kesehatan sebetulnya seperti apa.
  5. Relevan dengan poin ke-4, apakah responden memahami dampak jangka panjangnya? Ternyata mereka memahami risikonya, karena 78 persen memahami konsumsi MBDK akan berdampak terhadap peningkatan obesitas. Bahkan, sebanyak 81 persen memahami bahwa mengkonsumsi MBDK mempunyai dampak jangka panjang terhadap kesehatan secara keseluruhan.
  6. Lalu bagaimana respon responden terhadap wacana pemerintah yang akan mengenakan cukai MBDK? Ternyata jawabannya positif, terbukti 58 persen responden mendukung terhadap wacana pengenaan cukai pada MBDK. Sekitar 18% responden menjawab mereka akan mengurangi konsumsi MBDK jika terjadi kenaikan harga sebesar 25%.


Kesimpulan dan Rekomendasi:

  1. Pemerintah harus segera menindaklanjuti penerapan cukai MBDK di tahun 2024 sebagai langkah untuk mengontrol pola konsumsi dan mencegah prevalensi diabetes pada anak dan remaja. Menurut Laporan Global Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang implementasi cukai MBDK yang baru dirilis bulan ini, setidaknya per Juli 2022, sudah ada 108 negara di dunia yang memberlakukan cukai MBDK.
  2. Dukungan publik terhadap wacana pengenaan cukai MBDK cukup signifikan. Dan dari sisi perilaku, 1 dari 5 konsumen yang disurvei mengatakan bahwa dirinya akan mengurangi konsumsi MBDK, bahkan meninggalkan konsumsi MBDK. Dengan kata lain, pengenaan cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi MBDK cukup efektif. Pengenaan cukai pada MBDK sudah sangat urgen untuk melindungi konsumen Indonesia. Supaya efektif, penerapan cukai MBDK perlu tanpa pengecualian, dan diberlakukan secara komprehensif.
  3. Pemerintah seharusnya tidak ambigu untuk mengenakan cukai MBDK, sebagai bentukkebijakan untuk melindungi masyarakat dari tingginya prevalensi penyakit tidak menular, khususnya diabetes melitus. Pemerintah pun seharusnya tidak bergeming dengan upaya intervensi oleh pihak industri, tersebab pengenaan cukai pada MBDK tidak akan menggerus produksi MBDK. Berdasarkan hasil studi di negara lain yang sudah menerapkan cukai MBDK seperti Meksiko dan Peru, cukai MBDK tidak menimbulkan pengangguran.
  4. Mendesak pada industri MBDK agar melakukan pemasaran yang bertanggung jawabd alam melakukan pemasaran, distribusi, iklan, promosi dan sponsorship, khususnya pada kelompok rentan yakni anak-anak dan remaja. Tidak hanya itu, Pemerintah harus membuat peraturan dan kebijakan yang mengatur pembatasan MBDK kepada anak-anak dan remaja yang dapat membantu mengurangi dampak pemasaran agresif, termasuk informasi label yang tidak menyesatkan.

Baca juga: Bersinergi Guna Wujudkan Kualitas Udara Bersih di Indonesia! - kbr.id

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!