RAGAM

ADV

Kelompok Masyarakat Sipil Serukan Isu Kesehatan Jadi Arus Utama Kebijakan

Seruan tersebut disampaikan sebab selama ini isu kebijakan kesehatan sering terpinggirkan dengan isu sektor lainnya seperti sektor ekonomi, industri, dan lainnya.

DIPERSEMBAHKAN OLEH KBR Media / Debora Tanya

EDITOR / Paul M Nuh

Kelompok Masyarakat Sipil Serukan Isu Kesehatan Jadi Arus Utama Kebijakan

Jakarta, 17 Mei 2024 - Sejumlah kelompok masyarakat sipil menyerukan agar isu kesehatan dapat diarusutamakan dalam pembahasan kebijakan di pemerintah dan DPR.

Seruan tersebut disampaikan sebab selama ini isu kebijakan kesehatan sering terpinggirkan dengan isu sektor lainnya seperti sektor ekonomi, industri, dan lainnya.

Direktur Eksekutif Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), Manik Marganamahendra, menilai saat ini penyampaian aspirasi dari masyarakat ke pemangku kebijakan masih berjarak. Ini menjadi sumber penyebab masalah kebijakan yang kurang tepat.

"Butuh pelibatan yang bermakna bagi masyarakat sipil khususnya orang muda yang tidak hanya dianggap sebagai objek politik tapi entitas yang berdaya," katanya dalam Sarasehan Kesehatan: Mengarusutamakan Kesehatan dalam Kebijakan untuk Kebajikan di Jakarta, Jumat (17/5/2024).

Program Manager Komnas Pengendalian Tembakau, Nina Samidi, menerangkan masalah rokok di Indonesia telah berdampak pada secara ekonomi, kesehatan dan kesejahteraan.

“Karena itu perlu mengimplementasikan perda/perkada yang dapat dimonitoring. Selain itu, salah satu yang harus diperkuat saat ini juga pengendalian zat adiktif berupa produk tembakau pada rancangan peraturan pemerintah turunan UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, termasuk mengawal RPJMN 2025-2029," ujarnya.

Adapun dalam hal pengawasan dan monitoring, menurutnya dapat dilakukan pemerintah di level kabupaten/kota setiap dua tahun sekali.

"Jika monitoring berjalan baik maka akan diberikan penghargaan oleh Kemendagri dan Kemenkes," terangnya.

Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Risky Kusuma Hartono, mengatakan berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan tren penurunan prevalensi perokok anak. Namun, bukan berarti kebijakan pengendalian rokok jadi lengah, salah satunya ke depan perlu kembali menaikkan cukai rokok minimal 25 persen.

Di sisi lain, saat ini masih terjadi jarak yang lebar cukai antara Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Ke depan, menurutnya perlu memperkecil lebarnya jarak cukai keduanya.

"Kebijakan multiyear dipertimbangkan kembali. PKJS UI merekomendasikan agar multiyear ini tinggi di tahun pertama. Kemudian stabil di tahun-tahun selanjutnya. Seperti yang dilakukan di Australia. Ini bisa menjadi solusi untuk meminimalisir hal-hal tak terduga," ujarnya.

Advocacy Officer for Food Policy, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Gisela Tellys, menyampaikan sudah saatnya Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) diberikan cukai dengan menaikkan sebesar 20 persen. Kendalanya, untuk makanan saat ini belum ada penerapan cukai.

Jika cukai MBDK dinaikkan, imbuh Gisela, maka akan menurunkan rata-rata konsumen sebesar 17,5 persen. Dengan begitu, menurutnya akan terjadi perubahan perilaku konsumen mengenai MBDK.

"Berdasarkan proyeksi studi perubahan perilaku konsumsi MBDK dapat mencegah kematian," jelasnya.

Program Manager Stop TB Partnership Indonesia, Nurliyanti menilai perlunya mengawal Perpres No.67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Di antaranya dengan perlunya diimplementasikan hingga ke kabupaten/kota.

Selain itu, kata Nurliyanti, juga diperlukan perlindungan sosial untuk pasien-pasien TBC. Dengan begitu dapat memastikan perlindungan sosial kepada pasien.

"Memastikan adanya tagging untuk perlindungan pada pasien TBC," jelasnya.

Policy Expert 1000 Days Fund, Nahla Jovial Nisa, menilai persoalan stunting tidak bisa dilepaskan dari persoalan kondisi puskesmas. Kendalanya, saat ini jumlah kader puskesmas melimpah karena berasal dari kelurahan dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sedangkan kader di puskesmas pembantu (pustu) berada di bawah langsung Kementerian Kesehatan.

Persoalan lainnya, imbuh Nahla, tidak adanya tempat pengaduan. Ini disebabkan karena kondisi infrastruktur posyandu dan puskesmas yang masih belum layak. Termasuk kelengkapan alat-alat kesehatan di puskesmas. Lengkapnya fasilitas penunjang, menurutnya akan mendorong inisiatif masyarakat untuk melakukan pemeriksaan.

"Karena itu, perlunya mendudukan kementerian, lembaga, dan DPR di tingkat pusat untuk membuat skema juknis tim kerja di tingkat daerah tentang kader bertanggung jawab," jelasnya.

Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan, Benget Saragih, mengatakan ke depan perlu didorong Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR). Terlebih, saat ini sebanyak 89 persen daerah di Indonesia sudah memiliki KTR. Sedangkan sebanyak 45 daerah lainnya masih belum memiliki KTR.

Setelah penerapan Perda KTR, dilanjutkan monitoring yang dilakukan di masing-masing kabupaten/kota setiap dua tahun sekali. Jika selama monitoring berjalan baik, maka perlu diberikan penghargaan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

"Aturannya adalah akan dirancang dan diberlakukan sistem yang dapat mendeteksi perokok dan penjual rokok untuk menghalau," terangnya.

Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta, William Aditya Sarana, mengungkapkan sejak 2019 Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah mengajukan Perda KTR. Namun ia mengakui DPRD DKI Jakarta periode saat ini masih belum menjadi prioritas pembahasan.

Meski begitu, William meyakini Perda KTR akan dapat disahkan DPRD DKI Jakarta periode 2025-2029. Sebab, periode tersebut sebanyak 50 persen di antaranya merupakan anggota baru atau bukan petahana. Sebagian besar merupakan politisi muda yang memiliki kesadaran tinggi mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

"Termasuk tentunya perlu ada political will. Terutama fraksi yang memenangkan pemilihan legislatif di DKI Jakarta," jelasnya.

Adapun kelompok masyarakat sipil yang terlibat di antaranya Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Stop TB Partnership Indonesia (STPI), 1000 Days Fund, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Pimpinan Pusat Aisyiyah, Yayasan Lentera Anak, Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI), Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Gizi (Ilmagi), dan Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI).

Turut hadir perwakilan Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Bappenas, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), DPR RI, dan DPRD DKI Jakarta.

Baca juga: Gotong Royong Kesehatan Negeri Lewat BPJS Kesehatan

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!