RAGAM

ADV

AHF Meninjau Komitmen dan Tantangan Implementasi Keadilan dalam Perjanjian Pandemi Global

Analisis Pandemic Agreement: tantangan implementasi keadilan dalam distribusi produk kesehatan, dengan fokus pada perdebatan Pasal 12.

DIPERSEMBAHKAN OLEH Aids Healthcare Foundation (AHF) / Auzan Farhansyah

EDITOR / Paul M Nuh

AHF Meninjau Komitmen dan Tantangan Implementasi Keadilan dalam Perjanjian Pandemi Global
Asep Eka Hidayat dalam Conferensi Pers Save Our Society AHF.

KBR, Jakarta - Sejak 30 Maret 2021, banyak perubahan terjadi sehubungan dengan pandemi COVID-19, di mana para pemimpin negara-negara Eropa dan berkembang menyatakan komitmen pada sebuah perjanjian berdasarkan nilai-nilai seperti solidaritas, kejujuran, dan inklusi. Namun, implementasi keadilan dalam perjanjian tersebut menjadi klise dan tidak berarti, dengan banyak negara tidak serius menjalankannya. 

Pandemic Access and Benefit Sharing System (PABS), terutama Pasal 12, dianggap sebagai cara utama untuk mengatasi ketidakadilan kesehatan global. Di bawah PABS, peserta diminta untuk berbagi produk kesehatan terkait pandemi secara adil. Namun, perdebatan antara negara-negara maju dan berkembang mengenai Pasal 12 semakin memburuk, dengan usulan saat ini dinilai tidak mencukupi dan tidak adil oleh banyak pihak, termasuk organisasi seperti AHF. Indonesia, sebagai salah satu negara yang berperan dalam perjanjian ini, didorong untuk mengambil keputusan yang lebih adil dan mengedepankan kebutuhan masyarakat terdampak pandemi. Organisasi sipil seperti AHF terus mengadvokasi agar keputusan mengenai perjanjian pandemi dilakukan secara bijaksana dan transparan, dengan fokus pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

“Pada segala tingkatan pandemi COVID-19, negara-negara berkembang berjuang untuk mendapatkan keadilan akses ke semua produk-produk kesehatan terkait pandemi. Pertama terbatasnya masker, diagnotisk, ventilator, dan oksigen, kemudian vaksin, dan selanjutnya efektif terapeutik” tukas Dr. Jorge Saavedra, Executive Director of the AHF Global Public Health Institute. “Sementara itu, negara-negara maju bisa mendapatkan dan menyimpan banyak pasokan dunia ketika mayoritas dunia menantinya di garis belakang.” tandasnya.

Di bawah PABS, para pihak dibutuhkan untuk membagikan meteri-materi biologis dan rangkain data genetis secara cepat, ini sangat diperlukan dalam pengembangan diagnostik, vaksin, dan terapeutik secara tepat waktu. Partisipasi dalam sistem ini mensyaratkan persetujuan peserta untuk berbagi prosentase tertentu dari produk-produk kesehatan terkait pandemi guna memastikan mereka dapat mendistribusikannya secara seimbang, diperuntukan bagi kebutuhan darurat di semua negara dan menjaga keamanan kesehatan global. 

Saat ini, perdebatan sengit antara negara-negara maju dan negara-negara lain mengenai ketentuan Pasal 12 semakin memburuk saat negosiasi mendekati akhir. Skenario terbaik saat ini dalam teks terbaru akan mengharuskan 20% (10% sebagai sumbangan dan 10% dengan harga nirlaba) produk kesehatan terkait pandemi “disediakan untuk digunakan berdasarkan risiko kesehatan masyarakat dan kebutuhan”. Secara umum, ini sangat tidak mencukupi karena akan membebankan 80% vaksin, pengobatan, dan diagnostik penting tidak dapat diakses oleh negara-negara berpenghasilan rendah (LMIC) yang mencakup sekitar 85% populasi dunia. Jurnal ilmiah terkemuka dunia, The Lancet, menggambarkan usulan ini sebagai “memalukan dan tidak adil.”

“AHF adalah salah satu organisasi pertama yang mempromosikan dan menerbitkan proposal untuk konvensi kesehatan masyarakat global yang baru, namun proposal perjanjian pandemi yang ada saat ini bisa lebih merugikan daripada menguntungkan bila tetap mempertahankan ketidakadilan. Oleh karena itu, kami menganggap instrumen tersebut tidak bermoral, dan kami menyerukan kepada negara-negara anggota untuk menolak perjanjian ini kecuali ada ketentuan yang mengikat yang ditambahkan untuk menjamin kesetaraan,” kata Presiden AHF Michael Weinstein.

Indonesia sebagai bagian negara yang berperan aktif dalam menyusun dan menyetujui pandemi agreement ini hendaknya bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang lebih adil dan mengedepankan kebutuhan masyarakat yang belum usai terdampak pandemi, khususnya di Indonesia dan negara berkembang lainnya. Sebagai bagian dari organisasi masyarakat sipil “Kami mendorong pemerintah Indonesia untuk bijaksana dan transparan terhadap pengambilan keputusan pandemic agreement, berlandaskan pada keadilan dan mengedapankan kebutuhan masyarakat terdampak pandemi”. “Kampanye S.O,S akan kami terus gaungkan untuk mendapatkan keadilan dan tidak menguntungkan negara maju semata akibat pandemic agreement, tidak akan satupun yang aman hingga semuanya aman” tutup Asep Eka Nur Hidayat, Country Program Manager, AHF Indonesia.

Baca juga: Percepat Penanggulangan HIV AIDS untuk Akhiri Epidemi HIV AIDS di Indonesia tahun 2030

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!