
Hari ini sekitar 25 ribu petani bakal turun ke jalan, memeringati Hari Tani Nasional. Aksi yang melibatkan elemen buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil ini digelar serentak di berbagai wilayah, seperti Jakarta, Aceh, Medan, Palembang, Jambi, Lampung, Semarang, Makassar, Manado, hingga Kupang. Mereka menuntut penuntasan 24 permasalahan struktural agraria dan 9 langkah perbaikan.
Petani juga menuntut pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional yang lebih otoritatif. Pasalnya, Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang digadang-gadang sejak era Jokowi dinilai gagal karena terbukti memperparah ketimpangan penguasaan tanah seiring meningkatnya petani yang kehilangan lahan.
Janji reforma agraria kembali muncul di era Presiden Prabowo, bahkan menjadi agenda prioritas Asta Cita. Namun, hingga kini belum ada kebijakan dan program yang mendukung implementasinya. Yang terjadi adalah berbagai letupan konflik agraria, perampasan lahan, ketimpangan penguasaan tanah, kriminalisasi petani, serta tumpang tindih kebijakan.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2015–2024, terjadi 3.234 konflik agraria dengan luas mencapai 7,4 juta hektar. Konflik ini berdampak pada 1,8 juta keluarga yang kehilangan tanah dan mata pencaharian.
Bagaimana situasi reforma agraria di era Prabowo? Bagaimana mendesak komitmen serius Prabowo dalam membenahi tata kelola agraria yang adil dan berkelanjutan?
Di Ruang Publik KBR kita akan bahas topik ini bersama Wakil Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah, Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PKS Slamet, dan Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika.
Komentar
Loading...

